Mendiskusikan Arok Dedes, Kisah Kudeta Pertama di Tanah Jawa
Dalam sistem demokrasi sekalipun, praktik politik gaya Arok bisa dilihat terutama di saat suksesi kekuasaan.
Penulis Putra Wahyu Purnomo16 November 2021
BandungBergerak.id - Seorang pemuda jelata yang diasuh oleh para berandal, pemabuk, dan terlatih mencegat upeti kerajaan, mampu menembus lingkar kekuasaan politik kerajaan Tumapel yang dipimpin Tunggul Ametung. Kisah Ken Arok, pemuda dari kasta sudra itu, bersama Ken Dedes, disebut dalam kitab Pararaton sebagai kudeta pertama dalam sejarah nusantara.
Kolaborasi antara Arok Dedes tertuang secara apik dalam roman Pramoedya Ananta Toer. Arok dalam penggambaran Pram adalah karakter kharismatik, mampu menggabungkan kekuatan sipil dan militer, dan ia juga sudah mempelajari ilmu kebatinan sejak beranjak dewasa. Semua itu memuluskan langkahnya menjadi penguasa di Tumampel atau Singosari.
Namun, keberhasilan Arok tak lepas dari Dedes yang juga diberikan porsi vital oleh Pram dalam novel Arok Dedes.
"Sosok yang istimewa di zamannya. Jadi di awal abad ke-13 di tanah jawa gitu karena kan yang menguasai sebelumnya, yang jadi raja di tanah Jawa kan harus bangsawan," ujar Ojel Sansan Yunadi, seorang novelis dalam acara bedah buku Arok Dedes: "Budaya Politik dalam Kepahlawanan dan Nasionalisme" yang diselenggarakan Klab Belajar Merdeka di kedai HueMai, Baltos, Bandung Minggu (14/11/2021).
Kegiatan ini merupakan yang pertama dari rangkaian diskusi yang direncanakan berlangsung awet hingga beberapa bulan ke depan. Warga diundang untuk terlibat.
Menurut Ojel, Pramoedya mampu melakukan rekonstruksi apik cerita Arok Dedes yang terserat di kitab Pararaton. Pram tidak melewatkan satu detil kecil pun dalam pembentukkan cerita Arok Dedes. Sehingga Pram mampu menelanjangi jejaring-jejaring politik yang bekerja di Jawa pada saat itu.
Dari naskah Arok Dedes pula dapat dilihat bahwa sistem adu domba dalam politik di Jawa saat itu sudah terjadi. "Temen-temen pasti tahu bahwa tradisi adu domba itu tentu sudah ada sejak zaman dulu, bukan peninggalan VOC atau Belanda gitu," imbuh Ojel Sansan Yunadi, penulis novel Kala Murka.
Bersama Dedes, Arok diposisikan oleh Pramoedya Ananta Toer sebagai tokoh intelektual dalam pengambilalihan kekuasaan di Tumampel. Mereka mampu mengambil alih tahta Tumampel setelah memperdaya Kebo Ijo.
"Yang licin, yang picik, maksudnya lempar batu sembunyi tangan, sikut kanan sikut kiri tapi ya itulah kecerdasan Ken Arok dalam novel ini," ungkap Ojel.
Baca Juga: BUKU BANDUNG (22): Basar Idjonati, Pelukis Mooi Indie yang Terlupakan
Suka Duka Sidang Skripsi Mahasiswi Unpas di Kala Pagebluk
Kudeta yang Berulang
Kisah Ken Arok dan Ken Dedes pada naskah Pararaton mengungkap intrik politik pada lingkup kerajaan Jawa masa lalu. Meskipun naskah Pararaton yang ada saat ini bukanlah naskah aslinya, namun isinya kurang lebih serupa dengan naskah asli. Disinyalir naskah yang ada saat ini adalah naskah yang telah ditranslasikan dari naskah asli.
"Naskah asli Pararaton itu sudah nggak ada, sudah hilang, jadi yang ada hanya transliterasinya sama terjemahannya. Dan Pararaton itu ditulis pada tahun 1613 masehi, jadi tiga abad setelah peristiwa ini terjadi," ungkap Ojel.
Kitab Pararaton tak berisi puja-puji terhadap dewa maupun kepada sang maha raja, sebagaimana yang diungkap naskah-naskah lainnya. Seperti diungkap Pram dalam roman Arok Dedes, naskah Pararaton mengisah Ken Arok dan Ken Dedes sebagai permulaan bagi kerajaan-kerajaan besar di Jawa.
Namun Pram lebih merinci lagi peristiwa yang diulas naskah Pararaton. Pram menelanjangi budaya politik ala Jawa di awal abad ke-13 M melalui sepak terjang Ken Arok, seorang yang tak diketahui asal-usulnya namun tiba-tiba menojadi pendiri dinasti baru di tanah Jawa.
Kitab Pararaton juga menyebut bahwa kisah Ken Arok dan Ken Dedes sebagai peristiwa pengambilalihan kekuasaan atau kudeta pertama di tanah Jawa, seperti disampaikan narasumber disuksi lainnya, Sophan Aji.
Bahkan, kata Sophan Aji, kudeta ala Ken Arok dapat ditarik garis lurusnya dengan beberapa kudeta yang terjadi pada lingkup politik di Indonesia pada masa kemerdekaan. Hal itu senada dengan pernyataan salah satu tokoh kunci dalam novel Arok Dedes, yakni Mpu Gandring yang membuat keris sakti untuk Ken Arok. Ironisnya Arok pada akhirnya tewas karena keris tersebut.
"Di era-nya Arok Dedes, kudeta pertama yang terjadi di tanah nusantara ini ya ini, ini cerita kudeta pertama," ujar Sophan Aji, yang juga seorang dosen sekaligus pegiat teater di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
Bahkan menurutnya naskah atau cerita Arok Dedes bisa dijadikan salah satu rujukan untuk melakukan sebuah kudeta pada sebuah pemerintahan. Hal bisa diamati dari pola politik di nusantara, bahkan sampai era Indonesia setelah merdeka. Sehingga pada era Orde Baru, Pram dicurigai sebagai ‘provokator’ yang mampu menyulut perubahan pada masyarakat.
"Makanya Pram mungkin dianggap sebagai sastrawan yang tanda petik mengancam di era Orde Baru, dianggap ada kemiripan dengan bagaimana Pram menggambarkan konspirasi dari dua pihak tersebut," imbuh Aji.
Selain kudeta yang pertama, lewat Arok Dedes pula pola politik yang hari ini kita kenal tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Arok pada masa lalu. Masih banyak pemimpin yang menggunakan cara-cara Arok, meskipun dengan alat atau teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi hari ini.
Bahkan, dalam sistem demokrasi sekalipun praktik gaya Arok bisa dilihat terutama di saat suksesi kekuasaan.
"Setelah Pram atau Arok Dedes itu mulai ada pola-pola yang sama yang terjadi di nusantara, pemerintah Hindia-Belanda, sampai ke Indonesia, polanya hampir sama pelakunya tetap sama, hanya caranya ini yang disesuaikan dengan peradaban dengan teknologi," tuturnya.
Diskusi ini akhirnya mengajukan pertanyaan kritis, bahwa rupanya pola politik Ken Arok yang bergelimang darah dan penuh fitnah itu terus dipraktikkan oleh para penerusnya hingga zaman Republik ini, disadari atau tidak, kata Deni Rachman, salah satu penyelenggara Klab Belajar Merdeka.
"Bisakah budaya politik semacam ini disandingkan dengan nilai-nilai kepahlawanan dan nasionalisme yang sewajarnya? Haruskah kepahlawanan itu bersimbah darah lawan?" kata Deni.