• Buku
  • BUKU BANDUNG (22): Basar Idjonati, Pelukis Mooi Indie yang Terlupakan

BUKU BANDUNG (22): Basar Idjonati, Pelukis Mooi Indie yang Terlupakan

Nama Basar Idjonati kalah populer dibandingkan deretan pelukis Mooi Indie lainnya. Dalam bukunya, Derrell John Kitchener mengangkat kisah pelukis asal Bandung ini.

Potret sampul buku Basar Idjonati: A Forgotten Indonesian Mooi Indie Painter karya Darrell John Kitchener yang diterbitkan oleh Partridge Publishing Singapura pada 2018. (Foto repro: Sarah Ashilah)

Penulis Sarah Ashilah14 November 2021


BandungBergerak.idHampir seluruh sekolah dasar di Indonesia era 1990-2000-an pasti pernah mengajarkan anak didiknya menggambar pemandangan. Salah satu gambar yang kerap kali dijadikan contoh dan menempel dalam benak anak-anak di masa itu adalah lanskap pegunungan, dengan jalan yang membentang menuju ke arah gunung dan hamparan sawah di kiri kanannya, lengkap dengan gambar Pak Tani di sana.

Gambar yang khas ini kerap kali dijadikan bahan candaan anak-anak milenial yang kini sudah dewasa: “Dulu kamu waktu kecil di sekolah, pasti gambar gunung dan sawah ya?” 

Usut punya usut, gambar yang terpatri dalam benak anak-anak Indonesia saat disuruh menggambar pemandangan ternyata menyimpan sejarahnya sendiri. Di kalangan seniman, lukisan yang menggambarkan keindahan alam Indonesia di masa lalu disebut dengan istilah “Mooi Indie”, Hindia Molek, atau Hindia Jelita, dengan subjek lukisannya didominasi oleh pemandangan alam, terutama pegunungan.

Di masa kolonial, para seniman Belanda dan Eropa mendominasi dunia seni rupa di Indonesia. Pameran-pameran lukisan yang digelar di masa itu secara eksklusif hanya memberikan ruang untuk karya seni lukis kaum ekspatriat.

Sementara itu, pelukis bumiputera yang tidak memiliki pendidikan formal melukis, belum mendapatkan panggungnya. Mereka yang menonjol kebanyakan berasal dari keluarga elite yang dipengaruhi budaya Belanda, sehingga aliran seni lukis mereka pun mirip dengan para pelukis Eropa.

Banyak seniman sebelum masa perang di kala itu, baik pelukis Eropa maupun bumiputera, menekuni aliran realistik dan naturalistik. Subjek lukisan-lukisan mereka berupa panorama pegunungan, pesisir, dan aktivitas masyarakat bumiputera. Pada perkembangannya, lukisan semacam ini pun dikenal dengan sebutan “Mooi Indie”, yang berarti Hindia Belanda nan jelita.

Lukisan Mooi Indie banyak digemari di Eropa. Pemandangan alam dan potret masyarakatnya yang mereka anggap ‘eksotis’, membuat hati orang Eropa terpikat. Pemerintah Belanda, bahkan pernah beberapa kali menggelar pameran lukisan Mooi Indie di negerinya demi menarik warga Eropa untuk berkunjung ke Hindia Belanda.

Sejak gaya melukis Mooi Indie semakin dikenal luas, berderetlah nama-nama pelukis Mooi Indie bumiputera, seperti Raden Saleh, Mas Pirngadie, Leonardus Eland, Basuki Abdullah, Wakidi, dan Abdullah Suriosubroto. Namun, ada satu nama yang amat jarang disebut, yakni Basar Idjonati, seorang pelukis Mooi Indie asal Kota Bandung.

Derrell John Kitchener, seorang biologis asal Australia yang banyak menghabiskan waktunya di Indonesia, menaruh minat pada lukisan-lukisan Basar Idjonati. Lukisan Basar pertama yang Ia lihat pada tahun 1993 di Jakarta, adalah lukisan pemandangan alam Gunung Slamet.

Menurut Kitchener, lukisan Basar terlihat memiliki perspektif yang menarik. Ia lalu dibuat keheranan, kenapa tidak banyak orang mengenal Basar? Sebagai seorang pelukis bumiputera beraliran naturalistik Mooi Indie, Basar jelas-jelas memiliki tempatnya sendiri. Namun, kenapa tidak banyak informasi mengenai diri Basar? 

Selama bertahun-tahun, Derrell John Kitchener hanya bisa menemukan dua lukisan karya Basar. Pada 1996, ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta dan tinggal di sana selama 15 bulan. Misinya adalah menyingkap misteri kehidupan Basar.

“Apakah Basar seorang seniman yang tidak produktif sehingga tidak cukup memiliki reputasi? Apakah ia produktif, namun terisolasi secara lokasi atau memang tidak punya keinginan untuk memamerkan karya seninya? Atau jangan-jangan gaya melukisnya tidak populer di Indonesia?” tulis Kitcener dalam bukunya Basar Idjonati: A Forgotten Indonesian Mooi Indie Painter (2018).

Buku yang diterbitkan oleh Partridge Publishing Singapura ini merupakan buah penelusuran Kitchener atas jejak-jejak Basar. Termasuk kunjungannya ke keluarga Basar di Kota Bandung.

Kehidupan Basar Idjonati

Basar lahir di Kota Bandung pada 22 Maret 1910. Di masa mudanya ia digambarkan sebagai sosok rupawan, kuat, dan memiliki perawakan kekar dengan tinggi 167 sentimeter.

Ayah Basar merupakan seorang pengusaha sukses di Kota Bandung. Keluarga Basar sempat memiliki toko pandai besi, sebelum akhirnya tutup pada tahun 1915. Setelah menutup toko pandai besi itu, sang ayah membuka toko furnitur dan barang-barang antik. Pelanggan toko ini kebanyakan adalah orang-orang Eropa yang tinggal di Kota Bandung. Itulah mengapa budaya keluarga Basar banyak dipengaruhi oleh budaya Eropa. Ayahnya gemar sekali merokok cerutu dan minum gin sehabis makan. 

Basar memiliki tujuh saudara. Salah satunya adalah Soewardja, kakak berbeda ibu. Basar muda dan saudara-saudaranya pada saat itu tinggal di Jalan Naripan Dalam, Kota Bandung.

Soewardja merupakan sahabat dari pelukis Mooi Indie terkenal, Abdullah Suriosubroto. Ketika mengetahui Basar gemar melukis di atas layangan menggunakan cat mahal, yang seharusnya digunakan untuk menghias pajangan-pajangan tanah liat di toko mereka, Soewardja tidak melarang. Ia malah mendukung Basar dan memberikannya keberanian untuk terus belajar melukis.

Bakat lukis Basar berkembang pesat. Pada usianya yang ke-18 Ia berhasil menjual lukisan pertamanya. Meskipun tidak pernah kaya, namun di tahun-tahun berikutnya, Basar mampu menafkahi keluarganya lewat karier melukisnya. Hal ini menandakan bahwa sebenarnya Basar lebih sukses ketimbang pelukis-pelukis lainnya di masa itu. 

Tidak lama setelah bercerai dengan istri pertama yang ia nikahi di umur 18, Basar pindah ke Yogyakarta. Di sana ia bertemu wanita Belanda yang memiliki toko seni. Tertarik akan karya Basar, wanita itu membeli seluruh lukisan Basar. Inilah momentum karier Basar sebagai pelukis meroket.

Di tahun 1930, Basar menikahi Djuhriah, istri keduanya. Dari Djuhriah, ia memiliki tujuh orang anak, yakni Elis, Darsih, Engkos, Neneng, Cecep, Etty, Agus, dan Itjeu. Bakat melukis Basar diturunkannya pada Engkos dan Itjeu. 

Di masa perang revolusi melawan Belanda, Basar bertemu dengan istri ketiganya yang merupakan perawat yang mengurusnya ketika sakit. Ia memiliki lima orang anak dari pernikahan ini, yaitu Robedi, Enkus, Elis, Arif, dan Arom.

Robedi merupakan satu-satunya anak Basar yang sukses sebagai maestro pelukis, dengan menggunakan nama Tony Rosar. Rosar populer di kalangan kolektor Indonesia maupun mancanegara. Kepopuleran Tony Rosar mengalahkan ayahnya sendiri, Basar. Tidak banyak orang tahu jika darah seni yang mengalir dalam tubuh Tony Rosar berasal dari pelukis Mooi Indie bertalenta asal Kota Bandung itu. 

Semasa hidupnya, Basar dikenal sebagai seorang dermawan, sopan, rajin, halus, dan lemah lembut. Menurut Jaffar, seorang kolektor lukisan asal Bogor, Basar amatlah adil dalam menentukan harga lukisannya. Ia tidak akan menjual lukisannya dengan harga yang terlalu rendah maupun terlalu tinggi.

Dalam buku Basar Idjonati: A Forgotten Indonesian Mooi Indie Painter juga tertulis bagaimana Neneng menggambarkan sosok ayahnya sebagai orang yang mementingkan orang lain sebelum dirinya. Neneng ingat, di suatu hari ayahnya pernah kedatangan seorang Belanda kaya raya. Orang Belanda itu datang dengan truk yang dipenuhi berkaleng-kaleng susu bubuk. Basar pun lalu membagi-bagikan susu bubuk ini pada tetangga-tetangganya yang miskin.

Seminggu sebelum kematiannya pada tahun 1991 di Rumah Sakit Rajawali, akibat komorbiditas asma, hipertensi, dan diabetes, Basar seolah mempunyai firasat. Ia mendatangi Ook, seorang rekan sesama pelukis yang memiliki galeri bernama Jatayu Art di Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan.

Basar memberikan karya terakhirnya yang belum selesai pada Ook, sebagai hadiah. Basar seolah meminta Ook untuk menjaga lukisan terakhirnya ini. Hingga Darrell John Kitchener menyelesaikan bukunya, Ook masih menyimpan lukisan terakhir Basar. Ia mengaku tidak akan pernah menjualnya karena lukisan ini adalah bagian dari kenangannya akan Basar.

Baca Juga: BUKU BANDUNG (21): Jurnalis Juga Manusia
BUKU BANDUNG (20): Pengalaman 25 Alumni Jurnalistik Fikom Unpad Menggeluti Dunia Pers
BUKU BANDUNG (19): Geotrek, Perjalanan Menafsir Bumi

Gaya Melukis Basar

Tidak diragukan lagi jika Basar adalah seorang pelukis bentang alam. Walau begitu, Basar juga pernah melukis potret dirinya, selain beberapa lukisan bergaya still-life. Hal itu menunjukkan, meski lukisan-lukisannya seringkali beraliran naturalistik, namun Basar juga mampu melukis dalam aliran lukis lainnya.

Dari tahun 1927 hingga berakhirnya perang dunia kedua, lukisan-lukisan Basar banyak bertemakan Mooi Indie. Salah satu ciri khas lukisan Mooi Indie adalah pilihan warna-warna terang yang lembut. Baru setelah tahun 1950, sapuan kuas pada lukisan Basar menjadi lebih tegas, dengan sprektum warna yang lebih kuat dan beragam.

Basar dikenal sebagai seorang master dalam permainan perspektif dan cahaya. Salah satu lukisan terbaiknya adalah Pelat 2 yang menggambarkan keindahan Gunung Slamet dan sawah di sekitarnya. Selain itu, Basar juga pintar memainkan lanskap berdasarkan waktu alam, seperti pemandangan pagi hingga subuh atau dini hari.

Kemampuan Basar dalam menginteraksikan cahaya di antara tumbuhan-tumbuhan bambu dan perah-perahu pancing kecil, adalah ciri khas karyanya yang tidak dapat disangkal. Basar juga sering melukis kegiatan wanita bumiputera, seperti mencuci di pinggir sungai, mengambil air, mengembala domba, atau tengah duduk di sekitaran desanya.

Basar diketahui juga mampu memainkan gaya lukisan surealis, seperti dalam lukisannya yang bertajuk “Layar-layar Perahu Nelayan”. Namun aliran lukis surealis bukanlah gaya Basar yang sesungguhnya, sehingga ia hanya sedikit memproduksi lukisan gaya ini.

Setelah banyak melihat karya lukis yang dihasilkan Basar di sepanjang hidupnya, juga setelah melakukan berbagai riset terkait kehidupan Basar Idjonati, Darrell John Kitchener menyimpulkan jika ketidakpopuleran Basar bukanlah karena ia tidak produktif. Menurut taksirannya, Basar telah menghasilkan sebanyak 1.200 lukisan.

Menurut Kitchener, ketidakpopuleran Basar sangat mungkin disebabkan oleh kepribadian sang pelukis yang tenang dan tidak suka memancing banyak perhatian. Basar kurang tertarik mempromosikan pameran karya seni lukisnya. Ia lebih memilih menjualnya langsung kepada orang-orang yang tertarik akan karya lukisnya, atau para kolektor lukisan yang sudah mengenal dirinya.

Bisa dikatakan, meski tidak populer, Basar tetap memiliki panggungnya sendiri.

Gerakan Kesenian di Kota Bandung

Selain bercerita tentang kehidupan dan sepak terjang seorang Basar Idjonati, dalam bukunya Basar Idjonati: A Forgotten Indonesian Mooi Indie Painter, Darrell John Kitchener juga mengulas tentang Kota Bandung sebagai pusat seni dan pengetahuan alam sejak masa kolonial. Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang didirikan di Kota Kembang ini tidak diragukan banyak berkontribusi dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Seniman-seniman lukis di Indonesia berkesempatan untuk menempuh jalur pendidikan seni rupa secara formal lewat institusi tersebut. 

Kota Bandung juga menjadi tempat bagi para seniman Belanda dan seniman asing lainnya, juga seniman Indonesia, berkumpul. Terutama para pelukis lanskap.

Di kota kelahirannya inilah, Basar bergaul di dalam sebuah lingkaran pertemanan sesama pelukis lanskap. Mereka yang tergabung adalah Adi Winata dan Soewardja, yang merupakan saudara dari Basar sendiri. Lalu ada Sukardji, Hasim. Omar Basalmah, Wahdi, Roedyat, Akuan, Abdul Abdurrachman, dan Adjat Supriatna. Dari kawan-kawannya itu, tampaknya Sukardji menjadi yang paling terkenal.

Buku Basar Idjonati: A Forgotten Indonesian Mooi Indie Painter juga sedikit membahas gaya lukis Mooi Indie yang menuai polemik. Gambaran kehidupan yang indah dan tenteram sangat bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat yang terjajah di kehidupan nyata. 

Meski begitu, banyak pelukis Mooi Indie yang angkat bicara bahwa mereka tidak melukis demi kepentingan propaganda pemerintah kolonial Belanda. Para pelukis Mooi Indie merasakan kesadaran spiritual yang dalam ketika mereka terhubung dengan alam yang menjadi subjek lukisan mereka.

Informasi Buku:

Judul Buku: Basar Idjonati: A Forgotten Indonesian Mooi Indie Painter

Penulis: Darrell John Kitchener

Penerbit: Partridge Publishing Singapore

Terbit: 27 November 2018

Tebal: 60 halaman

ISBN: 9781543748925

Editor: Redaksi

COMMENTS

//