• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (10): Perkumpulan Gabungan Kaum Ibu Indonesia

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (10): Perkumpulan Gabungan Kaum Ibu Indonesia

Kaum perempuan di Bandung saat itu telah bangun dari tidurnya dan mempunyai keinginan untuk membuat pergerakan sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan laki-laki.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Buruh perempuan pabrik pekebunan teh Kertasari, Bandung tahun 1929. (Dokumentasi Leiden University Libraries Digital Collections)

24 November 2021


BandungBergerak.idHampir 2.000 orang berkumpul di bioskop Oranje Casino, Bandung. Tepatnya, 900 perempuan dan 800 laki-laki. Massa didominasi oleh kaum hawa karena perkumpulan terbuka ini digelar oleh perkumpulan gabungan kaum ibu dari berbagai kalangan dan ogranisasi. Hadir juga beberapa perwakilan pers yang meliput. Banyak polisi yang berjaga-jaga.

Minggu 13 Oktober 1929 pukul 09.30 itu, acara dibuka oleh Soewarni sebagai pimpinan perkumpulan. Sambil mengetuk palu, Soewarni mengingatkan kepada para hadirin yang belum genap 18 tahun agar segera meninggalkan ruang pertemuan. Ia kemudian mengatakan, bahwa kaum perempuan di Bandung saat itu telah bangun dari tidurnya dan mempunyai keinginan untuk membuat pergerakan sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan laki-laki (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Setelah pembukaan itu, Soewarni menyerahkan forum kepada Emmah. Emmah lalu menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan. Menurut Emmah kaum perempuan mempunyai tiga kewajiban. Pertama, mendidik anak. Dalam hal ini seorang ibu harus memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya sebab ini akan menjadi dasar pikiran bagi sang anak.

Kedua, mengurus kerukunan di rumah agar tidak terjadi percekcokan. Dengan kata lain, keamanan harus dipelihara di dalam rumah tangga, agar menjadi penunjang bagi sang suami. Ketiga, menguatkan iman dalam menangani keistrian, supaya tidak timbul hinaan dari orang lain (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Emmah juga menyampaikan pendapatnya mengenai pergerakan perempuan di Amerika dan Eropa. Di masa lalu, antara laki-laki dan perempuan mempunyai kesamaan hak dalam kehidupan sehari-hari. Kaum laki-laki pergi mencari nafkah, sedangkan perempuan berdiam di rumah untuk mengurus rumah tangga, anak dan belajar ilmu pengobatan. Karena secara biologis perempuan melahirkan seorang anak, maka hak perempuan seolah menjadi berkurang.

Tak hanya itu, Emmah menerangkan tentang karakter perempuan di tanah Pua-Pua. Di sana, seorang perempuan dapat ditukar dengan sebilah pisau atau botol. Ia juga menceritakan tentang timbulnya revolusi Perancis sekaligus munculnya pergerakan perempuan. Lalu ia menjelaskan bahwa saat Amerika dijajah oleh Inggris, banyak kaum perempuan mengorbankan dirinya untuk membela tanah airnya (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Keterlibatan kaum laki-laki dalam pentas politik memang sering dianggap lebih menonjol daripada perempuan. Alasan perempuan ingin memiliki kesamaan hak yaitu, agar mendapatkan andil dalam mengelola negara. Emmah menekankan, bahwa hak penuh laki-laki dalam mengurus negara bukan hanya akan menimbulkan ketidakadilan bagi kaum perempuan, tetapi mengindikasikan juga hilangnya hak politik bagi kaum perempuan. Namun dengan memiliki hak yang sama dengan laki-laki bukan berarti kaum perempuan akan meninggalkan seluruh kewajibannya sebagai seorang istri.

Selain itu, salah satu tujuan munculnya pergerakan kaum perempuan antara lain untuk mencegah kembalinya perbudakan perempuan. “Dengan adanya prinsip kemerdekaan di tangan kita, maka kita harus menolak terhadap perbudakan itu,” ucap Emmah, di hadapan para hadirin (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Di samping itu, beragam rintangan yang dirasakan kaum perempuan sejak dulu telah ditunjukkan bukan saja dalam urusan politik dan rumah tangga. Emmah bercerita bahwa ketika kaum perempuan akan melanjutkan studinya, mereka selalu mendapatkan perlakuan buruk dari orang tuanya. Hal ini tentu sangat berpengaruh dalam kemajuan kaum perempuan.

Memang pada kenyataannya, banyak kaum perempuan yang kala itu mengalami sikap dilecehkan seperti barang. Misalnya kasus kawin cerai yang dilakukan 2 sampai 3 kali. Persoalan ini membuat Emmah cukup geram dan menilai bahwa kaum perempuan lebih baik hidup tanpa kehadiran laki-laki.

Meski kritik ini disampaikan untuk kalangan laki-laki, namun bagi Emmah pencapaian kemerdekaan tidak bisa dilakukan sendiri oleh kaum perempuan. Menurutnya pergerakan perempuan di Indonesia tidak cukup menitikberatkan pada urusan persamaan derajat semata, tapi juga harus berjuang bersama-sama dalam urusan politik sampai dapat memperoleh kehidupan yang sempurna (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (6): Pertemuan Terbuka PNI Afdeeling Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (7): Dua Pertemuan Terbuka PNI Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (8): Masalah Tonil dan Dukungan Mahasiswa di Belanda Menjadi Bahasan Utama PNI

Perempuan Pendidik Anak-anaknya

Setelah penjelasan dari Emmah, giliran Nyi Iyoh dari PNI untuk menjelaskan bab pendidikan dan pengajaran. Bagi Nyi Iyoh, kaum perempuan harus menjaga kesehatan badan dan keteguhan iman. Ia juga menekankan bahwa kaum perempuan mesti memberikan pendidikan kepada anak-anaknya sejak kecil, agar tunduk terhadap kesucian dan keadilan. Itulah kenapa dalam aspek sosial rakyat Indonesia belum bisa meraih kemerdekaan, karena belum bisa menunjukkan moral yang baik.

Iyoh juga menerangkan bahwa anak harus dididik untuk menjadi tidak penakut. Bahkan Nyi Iyoh menekankan bahwa seorang anak harus memiliki jiwa kemanusiaan yang kuat sebagaimana yang ditunjukkan oleh Pangeran Diponegoro (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Selain Nyi Iyoh, Siti Rogayah dari PNI juga menyampaikan hal yang sama terkait pendidikan. Rogayah menjelaskan bahwa seorang ibu seharusnya jangan terlalu menuruti keinginan sang anak. Tetapi sang ibu tidak boleh memberikan rasa takut kepada anak karena akan timbul sikap berbohong.

Suzanna dari Poetri Indonesia ikut berpendapat menyambung yang sebelumnya dijelaskan oleh Nyi Iyoh dan Siti Rogayah. Menurutnya mendidik dan mengajarkan anak sangatlah penting dilakukan. Lewat pengajaran, anak disiapkan untuk berguna dan memiliki pandangan luas. Sedangkan melalui pendidikan, anak diarahkan bahwa manusia harus selalu ingat terhadap sesama.

Setelah masing-masing tokoh perempuan menyampaikan pendapatnya, Nyi Soekardjo, Nyi Arah, Nyi Nawangsih, Nyi Soekapti dan Soemitro dari Pemoeda Indonesia besepakat dengan adanya pergerakan kaum ibu (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Perdebatan dan Perintah Bubar dari Polisi

Selain beberapa pendapat yang mufakat, terjadi perdebatan antara Moech. Tojib dari J.I.B. dengan Nji Soewarni. Mula-mula Moech Tojib berpendapat bahwa keinginan yang dicita-citakan oleh kaum perempuan tersebut terlalu jauh bila mengambil contoh dari bangsa lain. Pernyataan ini langsung dibantah oleh Soewarni bahwa menurutnya kaum perempuan bukan ingin merampas hak kaum laki-laki, tetapi ingin mendapatkan haknya kaum perempuan.

Soewarni mengklaim dirinya tidak ingin menjadi pemimpin seperti pergerakan perempuan di Eropa atau Sarojini Naidu. Tapi ia hanya ingin mengambil semangat kesucian yang ditunjukkan oleh kaum perempuan di negara-negara barat (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Sebelum pertemuan ini berakhir, dua pendapat muncul dari tokoh besar PNI. Mula-mula Gatot Mangkoepradja unjuk bicara. Ia menjelaskan bahwa perkumpulan ini sama dengan P.P.P.K.I. (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) yang digerakan oleh kaum perempuan. Menurutnya perkumpulan gabungan ini merupakan satu kekuatan yang sangat besar untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dengan usaha yang begitu cepat.

Gatot juga menegaskan perlunya memberikan pendidikan kepada anak supaya tidak menjadi bangsa pengkhianat yang menjual rakyat. Saat Gatot masih memberikan penjelasan, tiba-tiba polisi datang untuk menghentikan acara. Namun acara tetap berjalan.

Sukarno yang hadir dalam pertemuan itu, tidak menghiraukan permintaan aparat tersebut. Dalam kesempatan itu, ia menceritakan kisah Arjuna yang ditolong oleh Srikandi. Sukarno juga berpesan kepada utusan J.I.B. yang berbeda pendapat agar menguatkan persatuan dan menjalin kebersamaan. Pertemuan pun ditutup pada pukul 13.15, tanpa adanya intimidasi lebih lanjut dari pihak kepolisian (Banteng Priangan 15 Oktober 1929).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//