• Berita
  • Pekerjaan Rumah Kota Bandung Menjangkau ODHA yang Terdampak Pagebluk

Pekerjaan Rumah Kota Bandung Menjangkau ODHA yang Terdampak Pagebluk

Tidak sedikit ODHA atau ODHIV yang mengalami putus obat karena paranoid ojleh Covid-19. Di Jawa Barat, ditemukan 2.080 orang putus dari pengobatan HIV.

Vaksinasi dosis pertama di Kantor Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kota Bandung, Jalan K.H. Ahmad Dahlan, Bandung, Rabu (8/9/2021). Vaksinasi Covid-19 ini ditujukan kepada ODHA, pegiat HIV, pendamping ODHA, dan umum. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki1 Desember 2021


BandungBergerak.idUntuk keduakalinya Hari AIDS Sedunia jatuh dalam suasana muram pandemi Covid-19. Dan pagebluk tentunya sangat berdampak pada para penyintas HIV/AIDS atau yang biasa disebut ODHA atau ODHIV. Komisi Penanggulangan AIDS Jawa Barat mengungkap sejak tahun 2020 hingga November 2021 telah melakukan pelacakan dan menemukan 2.080 ODHIV yang putus pengobatan

Temuan tersebut tentunya kabar “gembira” karena orang yang tadinya putus pengobatannya bisa dijangkau kembali. Di sisi lain, fenomena putus obat ini tak lepas dari pengaruh pagebluk berkepanjangan dan minimnya sosialisasi.

Perlu diketahui, HIV merupakan penyakit yang bisa dikendalikan dengan pengobatan Anti Retroviral atau ARV yang dikonsumsi Orang Dengan HIV (ODHIV) seumur hidup. Jika pengobatan ini terputus, walau sehari, akan membahayakan ODHIV sendiri.

Aria (28), seorang warga Kota Bandung sekaligus penyintas HIV/AIDS sejak tahun 2017, menyebut salah satu alasan fenomena putus obat para penyintas HIV/AIDS terjadi karena ketakutan pada penularan Covid-19.

Bahkan ada yang mengalami ketakutan yang bersifat paranoid, mengingat adanya kabar bahwa Covid-19 memiliki potensi kematian yang tinggi, khususnya bagi orang dengan penyakit penyerta atau komorbid. Demi menghindari potensi tersebut, kata Aria, banyak ODHIV yang memilih mengurung dan menjauhkan diri dari interaksi dengan masyarakat.

“Kalau lewat penyuluhan HIV/AIDS dari teman-teman, LSM atau gerakan mandiri sih memang banyak teman-teman (ODHA) yang parno (paranoid) pas pandemi,” ujar Aria, kepada Bandungbergerak.id, Rabu (1/12/21).

Aria juga melihat ada masalah sosialisasi pada ODHIV yang cenderung kurang selama pagebluk Covid-19, khususnya sosialisasi tentang bagaimana pengaruh Covid-19 bagi para ODHIV. Masalah ini juga disinyalir mendorong banyak ODHA yang mengalami putus obat.

Padahal selama ini, obat untuk ODHIV, yaitu ARV, bisa dengan mudah diakses di setiap Puskesmas hingga rumah sakit. Bahkan, banyak lembaga yang membantu mendistribusikan obat tersebut, salah satunya Rumah Cemara.

“Soalnya sebenarnya untuk dapat (obat) ARV itu bisa gratis, kalau yang belum terbuka juga bisa minta tolong temannya di komunitas,” ujar Aria.

Maka, Aria pun mendesak pemerintah untuk berperan lebih aktif dalam melakukan sosialisasi dan berkolaborasi dengan para pegiat di berbagai komunitas. Sehingga tidak terjadi lagi kasus-kasus putus pengobatan di kalangan ODHIV.

Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, Rosye Arosdiani mengatakan, pihaknya saat ini sedang berupaya melacak permasalahan terkait. Untuk itu, Dinkes Kota Bandung memastikan bakal terus bekerja sama dengan KPA Kota Bandung. Termasuk soal pendataan kasus positif HIV di Kota Bandung yang hingga kini berjumlah 5.500 orang.

“Tapi, dari Kota Bandungnya sendiri sekitar 5.500 (HIV positif). Kita masih PR nih terus mencari orang dengan dengan HIV positif karena bisa jadi mereka sendiri gak tahu,” kata Rosye saat dijumpai di Balai Kota Bandung, Selasa (30/11/2021).

Baca Juga: Kebijakan Tes HIV bagi Calon Pengantin di Bandung harus Adil
Target Nol HIV AIDS di Bandung Masih Melupakan Pentingnya Edukasi

Hidup Berdampingan tanpa Stigma

Kendala lain yang dihadapi para penyintas HIV/AIDS dan berusaha dihapus setiap tahun oleh para pegiatnya yakni stigma. Menstigma ODHA kini merupakan cara pandang usang dan masyarakat perlu memahami lebih jauh bahwa ODHA punya hak setara.

Aria merefleksikan bahwa stigma ODHA di Kota Bandung dewasa ini perlahan cenderung membaik dan lebih diterima. Ia berharap, masyarakat bisa menormalisasi hidup berdampingan bersama masyarakat pada umumnya.

“Kalau mendengar cerita dari teman-teman ODHA yang hidup awal 2000-an rasanya berat. Soalnya kami masih dianggap sebagai pembawa penyakit dan orang berdosa, tapi sekarang kayaknya jauh lebih baik dan bisa hidup berdampingan,” ungkapnya.

Tanggapan serupa juga dikemukakan oleh Rosye Arosdiani yang mengimbau warga Kota Bandung untuk tidak menstigma HIV/AIDS. Stigma buruk ini hanya akan mengecoh masyarakat dari potensi penularan HIV/AIDS yang membuat mereka abai terhadap gejala-gejala yang timbulkannya.

“Jangan salah ya, HIV ini tidak hanya menyerang orang-orang dengan berperilaku berisiko saja. Jangan selalu diartikan bahwa ini mah menggunakan jarum atau seks bebas dan sebagainya,” ujarnya.

Ada hal lain yang harus diwaspadai bahwa HIV/AIDS bisa menular pada ibu rumah tangga ataupun ibu hamil kepada anaknya. Hal ini terjadi manakalah suami dari ibu rumah rangga tersebut masuk ke dalam risiko tinggi, yakni menggunakan jarum suntik atau berganti-ganti pasangan. Ketika suami berhubungan seks dengan istrinya, maka dari situlah terjadi penularan HIV.

Saat ini Dinkes Kota Bandung berusaha mencegah penularan HIV/AIDS kepada ibu rumah tangga atau ibu hamil dengan pemeriksaan dini. Pemeriksaan ini satu paket dengan pencegahan sipilis dan Hepatitis B. “Ini yang jadi concern kita saat ini,” imbuh Rosye.

Membongkar Fenomena Gunung Es

KPA Jawa Barat merilis hingga Juni 2021, penemuan kasus HIV mencapai angka sebanyak 51.553 (80 persen) dari estimasi tahun 2020 yaitu sebanyak 64.635 (100 persen). Capaian ini lebih tinggi dari indikator input Rencana Aksi Nasional (RAN) 2020-2024 pada tahun 2021 sebesar 69 persen.

“Penemuan 80 persen kasus HIV dari estimasi nasional menunjukkan bahwa ”fenomena gunung es” telah terbongkar dan Jawa Barat telah memasuki tahap pengendalian dari proses penanggulangan HIV,” kata Fanny Rachma, Pengelola Humas dan Media KPA Provinsi Jabar, melalui siaran persnya.

Sejak tahun 2020 hingga November 2021 telah dilakukan pelacakan dan berhasil ditemukan kembali ODHIV putus obat sebanyak 2.080 orang. Data kasus AIDS ditemukan hingga Juni 2021 sebanyak 11.722 orang, meningkat sebanyak 8 persen dari jumlah kasus AIDS di tahun 2019.

“Kenaikan ini lebih kecil dari kenaikan kasus HIV sebesar 18 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penemuan kasus orang dengan HIV (ODHIV) berhasil ditemukan lebih dini,” terangnya.

Ia mengklaim, terbongkarnya “fenomena gunung es”, rendahnya kasus AIDS baru dibanding kasus HIV baru, dan ditemukannya kembali ODHIV putus obat pada masa pandemi Covid-19, merupakan wujud komitmen peran koordinasi KPA Provinsi dan KPA kabupaten kota.

Komitmen tersebut sebagai bentuk kesiapan untuk menjalin kolaborasi dengan banyak pihak terkait, seperti LSM dan komunitas, Dinas Kesehatan di 27 kabupaten kota. Tujuannya, untuk tetap memberikan pelayanan penjangkauan, tes, dan pengobatan kepada ODHIV, meski di tengah keterbatasan mobilitas, akses pada layanan dan pembiayaan akibat pandemi Covid-19.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//