• Berita
  • Giliran 12 Rumah di Jalan Jawa yang Bersengketa dengan PT. KAI

Giliran 12 Rumah di Jalan Jawa yang Bersengketa dengan PT. KAI

Warga telah menempati rumah di lahan yang dikuasi negara itu sejak 30 tahun lalu. Kasus ini masih berproses di pengadilan.

Salah seorang warga Jalan Jawa nomor 32, Aland (34), menunjukkan surat-surat pengadilan, Sabtu (4/12/2021). Rumah Aland menjadadi salah satu dari 12 rumah yang bersengketa dengan PT. KAI. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id )

Penulis Awla Rajul6 Desember 2021


BandungBergerak.idiSengketa tanah yang berujung penggusuran rumah warga di Jalan Anyer Dalam, Bandung, oleh PT. KAI, belum selesai. Kini, muncul permasalahan serupa di Jalan Jawa. Ada 12 rumah di sana yang akan dieksekusi Pengadilan Negeri Bandung pada Selasa, 7 Desember 2021.

Salah seorang warga Jalan Jawa nomor 32, Aland (34), menceritakan awal mula sengketa tanah yang sudah berlangsung sejak tahun 1995, saat ibunya masih ada. Pada tahun 2000, para warga menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung dengan hasil putusan nomor 66/G/2000/PTUN-BDG.

Saat ditemui di kediamannya, Sabtu (4/12/2021), Aland menunjukkan hasil putusan PTUN yang menyatakan tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan kepemilikan tanah dan bangunan rumah di atasnya atas nama PJKA atau PT. KAI. Selain itu, tidak ada bukti surat yang menunjukkan bahwa tanah yang menjadi perkara terdaftarkan sebagai aset PT. KAI dan dilaporkan kepada Menteri Keuangan RI.

PTUN menyatakan bahwa status tanah dan bangunan dikuasai negara. Menurut warga, PT. KAI membawa bukti Gewijizidge Grondkaart sebagai dasar kepemilikian dan penguasaan atas tanah di Jalan Jawa yang menjadi sengketa itu. Namun, dalam hasil putusan tersebut dicantumkan bahwa bukti tanah PT. KAI yang dulunya SS pada zaman Belanda memiliki tanda “SS” dengan hak “Beheer”. Sedangkan di tanah sengketa Jalan Jawa tidak ada tanda-tanda apa pun.

Putusan PTUN yang dicap asli pengadilan itu mengungkap, tanah sengketa tersebut merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan belum terdaftar sesuai dengan peraturan berlaku. Disebutkan pula, serta secara fisik tanah telah dikuasai oleh warga selama rata-rata lebih 30 tahun, kemudian bangunannya di bawah penguasaan Jawatan Gedung-Gedung Negeri Departemen Pekeraan Umum. Sementara dasar penguasaan dan kepemilikan PT.KAI dinyatakan tidak jelas. Karena itu, warga yang menempati telah memenuhi syarat untuk mendapatkan emperoleh hak baru atas tanah negara tersebut.

Namun Aland menyayangkan, setelah keputusan PTUN tahun 2000 tersebut, PT. KAI masih saja ingin menguasai kepemilikan tanah tersebut, seperti mengirim surat ataupun memasang papan nama kepemilikan aset.

“Terlepas benar atau tidak, sempat ada preman-preman juga di depan. Itu gak tau dari PT. KAI atau bukan, cuma bikin warga khawatir, panik, cemas,” ungkap Aland, kepada BandungBergerak.id saat ditemui di kediamannya.

Dari situlah, kemudian warga diajak untuk melakukan gugatan perdata kepada pihak PT. KAI. Namun Aland bilang, ada “permainan” pada gugatan perdata yang berlangsung tahun 2016 tersebut.

“Sehingga di akhir itu, kuasa hukum kami yang mengatakan bahwa warga siap mengosongkan rumah meminta waktu tiga bulan. Di situlah terbongkar. Di situ saya hadir, lalu saya bicara kalau saya gak pernah ngasih kuasa ke kuasa hukum kami untuk bicara itu,” cerita Aland.

Aland menegaskan, putusan perkara perdata tersebut memiliki kejanggalan dan bermasalah. Salah satunya adalah rumah nomor 34 Jalan Jawa yang tidak pernah masuk dalam perkara sejak tahun 2000 hingga tahun 2016, namun di putusan perdata itu rumah nomor tersebut tercantum justru jadi di dalamnya. Kejelasan batas-batas rumah juga tidak jelas. Selain itu, identitas para penghuni rumah yang tercantum di dalam hasil putusan berbeda dengan di lapangan.

Bahkan, kata Aland, hasil putusan tidak mencantumkan baik kepemilikan PT. KAI maupun warga. Putusan perdata itu menyatakan bahwa tanah yang akan dieksekusi merupakan tanah yang dikuasai negara.

Aland kemudian melakukan pencarian informasi tentang Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri dan beberapa sumber lainnya, bahwa eksekusi tersebut harusnya dinyatakan Noneksekutabel. Aland kemudian menunjukan hasil pencariannya di laman bhumi.atrbpn.go.id bahwa wilayah rumah yang sedang dalam sengketa masih berwarna hijau yang artinya belum terdaftar.

Baca Juga: Mendengarkan Suara Anak dan Perempuan Korban Penggusuran Jalan Anyer Dalam
Jalan Panjang Pemulihan Trauma Anak-anak Korban Penggusuran Anyer Dalam

Warga menunjukkan peta rumah di Jalan Jawa, Bandung, Sabtu (4/12/2021). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Warga menunjukkan peta rumah di Jalan Jawa, Bandung, Sabtu (4/12/2021). (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Usaha Pengalihan Hak

Rumah nomor 32 tersebut sudah ditempati Aland sejak tahun 1997, saat ia masih berusia 10 tahun. Sepeninggal ibunya, halaman depan rumah dijadikan tempat usaha untuk berjualan makanan. Aland mengungkapkan, menurut surat permohonan pembelian Rumah Negara yang dihuni oleh PNS atau Pensiunan Depatemen Perhubungan tahun 2009, bahwasanya rumah di Jalan Jawa adalah rumah negara dan sedang dalam proses pengalihan hak.

Namun, Aland bilang, proses pengalihan hak itu terhambat oleh keputusan Badan Pertanahan Negara Bandung yang menyatakan bahwa tanah tersebut dimiliki oleh PT. KAI. Namun menurut Aland, PT. KAI sendiri tidak bisa menunjukkan bukti kepemilikan mereka. Sedangkan bukti kepemilikan yang disampaikan ketika gugatan di PTUN tahun 2000 ditolak oleh majelis hakim.

Aland sudah melakukan pengecekan di situs bhumi.atrbpn.go.id yang menyatakan bahwa lahan sengketa masih berwarna hijau. Makanya ia mempertanyakan, mengapa BPN Bandung sudah mengklaim bahwa tanah tersebut dimiliki oleh PT. KAI.

Aland bahkan menyinggung perihal beberapa lokasi yang pernah bersengketa dengan PT. KAI dan kemudian dieksekusi untuk dijadikan sarana komersil, termasuk di Jalan Anyer Dalam yang akan dibangun Laswi Heritage.

“Sehingga setelah yang kami pelajari, kami berharap eksekusi itu ditetapkan noneksekutabel,” jelasnya.

Selain itu, Aland juga mempertanyakan kemunculan surat eksekusi dari pengadilan di saat warga masih bersengketa di pengadilan.

Gerilya Forum Penghuni Rumah Negara

Aland tergabung bersama Forum Penghuni Rumah Negara (FPRN) yang merupakan forum mantan pegawai maupun pekerja PJKA yang menghuni rumah negara. Mereka berhimpun sejak 1995 karena persoalan rumah yang mereka huni tidak kunjung memiliki kejelasan akibat sengketa itu.

Penasehat FPRN Bandung, Mohammad Mahmudin (70) saat ditemui di rumah Aland, menjelaskan bahwa rumah yang dikuasi negara ketika tidak ingin ditempati lagi, maka akan dikembalikan kepada Dinas Perumahan di bawahi Kementerian PUPR, bukan kepada instansi tempat pegawai bekerja. Ia juga mengkritisi terkait uang sewa yang ditagih oleh PT. KAI. Sebab, ungkap Mahmud, bahwa tanah yang dikuasi oleh negara tidak boleh disewakan.

Mahmud kemudian bilang, bahwa itikad pemerintah melalui peraturannya sebenarnya berpihak kepada penghuni rumah. Namun ia menyayangkan aturan tersebut tidak sesuai dengan praktik di lapangan. Mahmud berharap pengadilan dapat mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi oleh teman-temannya di FPRN. Menurutnya, supremasi hukum harus ditegakkan, bukan hanya sebagai simbol.

FPRN juga sudah melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI pada 22 November 2021. Hasil dari pertemuan tersebut disimpulkan bahwa Komisi II mengusulkan kepada pimpinan sidang untuk melakukan monitoring secara serius terhadap masalah ini dan membentuk panitia kerja untuk menyelasaikan sengketa antara BUMN dan warga. Menurut Komisi II, salah satu pokok permasalahan ini adalah pemerintah abai dalam penyelesaian masalah.

Komisi II juga menekankan bahwa negara tidak memiliki tanah, tapi hanya menguasai. Sehingga Komisi II meminta pembuktian sejauh mana kepemilikan tanah yang dimiliki oleh PT. KAI. Melalui peraturan nomor 50 atau peraturan menteri keuangan, Komisi II menyebutkan bahwa dalam hal pelepasan hak ada dua mekanisme, yaitu dengan membeli kepada pemerintah atau pemerintah melepaskan haknya.

Dihubungi secara terpisah, Manager Humas PT. KAI Daop 2, Kuswardoyo mengaku belum bisa menjawab mengenai sengketa tanah di Jalan Jawa yang merupakan tanah dalam penguasaan negara. Ia bilang, data lengkap mengenai proses pengadilan bukan ditangani oleh Daop, melainkan oleh bagian hukum kantor KAI pusat. 

“Wah saya belum bisa menjawab itu, nanti saya coba kumpulkan data lengkapnya dulu karena proses persidangan dan lain-lain itu ditangani bagian hukum kantor pusat bukan Daop,” jawabnya, melalui pesan tertulis ketika BandungBergerak, Minggu (5/12/2021).

Editor: Redaksi

COMMENTS

//