Harga Bahan Pokok di Pasar Kosambi Merangkak Naik, Pedang Kecil Paling Terdampak
Di saat minyak goreng masih bergejolak, para pedagang kecil kini mulai merasakan dampak kenaikan harga kebutuhan pokok. Bahkan dampak pagebluk pun masih terasa.
Penulis Emi La Palau6 Desember 2021
BandungBergerak.id - Harga bahan pokok di pasar-pasar tradisional Kota Bandung mulai merangkak naik, menjelang libur Natal dan tahun baru 2022. Para pedagang kecil menjadi pihak yang paling terpukul karena kenaikan harga ini. Kenaikan ini didahului gejolak minyak goreng yang hingga kini belum stabil.
Sejumlah komoditas yang naik tersebut di antaranya aneka jenis cabai yang mulai naik sejak seminggu lalu. Harga cabai merah, cabai tewe, tanjung, dan cabai kriting meningkat cukup tajam hingga Rp 60.000 per kilogramnya. Harga normal komoditas ini biasanya Rp 30.000 hingga Rp 40.000 per kilogramnya. Selain itu, rawit merah yang paling mengalami kenaikan cukup tinggi, dari harga normal Rp 30.000 per kilogramnya, kini menjadi Rp 80.000 per kilogramnya.
Namun, ada juga beberapa jenis cabai yang masih berada di harga normal, di antaranya cabai genjot yang masih seharga Rp 20.000 per kilogramnya, dan rawit hijau masih di Rp 50.000 per kilogramnya.
Eli Marlina (55), salah satu pedagang sayuran di Pasar Kosambi, Jalan A Yani, Bandung, mengungkapkan kenaikan diduga karena pasokan cabai berkurang di tengah kondisi musim penghujan. “Ada semingguan naiknya. Kurang pasokan kayaknya mah, musim hujan,” ungkapnya kepada Bandungbergerak.id, di Pasar Kosambi,
Kenaikan harga ini tentu berpengaruh kepada menurunnya minat beli pelanggan masyarkat. Eli mengatakan pelanggan jadi mengurangi porsi beli. Biasa mereka membeli sekilogram, kini turun menjadi setengah kilogram, ataupun yang membeli seperempat menjadi satu ons saja.
Hal itu tentunya berpengaruh pada pendatan Eli. Jika sudah seperti ini, ia tak menyetok banyak cabai agar tidak merugi karena busuk. “Jadi modal yang dibutuhin untuk beli cabai naik lagi. Tetap saja ngambil untungnya gak bisa dinaikin apa lagi sudah mahal gini, kasian ke pembelinya,” ungkapnya.
Beberapa bahan sembako lainnya yang mengalami kenaiakan, adalah kerupuk yang biasa dipakai bahan seblak. Misalnya, kerupuk bawang dari Rp 50.000 menjadi Rp 52.000 per bal isi 5 kilogram. Kerupuk tersanjung Rp 54.000 dari Rp 50.000 isi empat kilogram. Kerupuk (empe) merah naik dari harga Rp 50.000 per bal menjadi Rp 52.000 per bal isi 5 kilogram.
Kenaikan harga kemudian terjadi pada kopi-kopi kemasan saset yang semula Rp 10.500 menjadi Rp 11.000. Sembako lainnya, aci yang merupakan bahan dasar pembuatan cireng juga mengalami kenaikan dari harga Rp 8.000 menjadi Rp 10.000.
Sedangkan minyak curah saat ini Rp 19.000 per kilogramnya, dari harga normal Rp 15.000-16.000. Untuk minyak goreng kemas seharga Rp 20.000 per liter, sementara per dua liter Rp 40.000, dari harga biasa Rp 15.000 per liter, dan Rp 35.000 per dua liter.
Sementara untuk kebutuhan lainnya masih terpantau stabil. Misalnya, bawang putih, merah, dan bombai masih normal. Eli mengatakan bawang merah masih bertahan di harga Rp 26.000 per kilogramnya, bawang putih Rp 28.000 per kilogram, dan bawang bombai Rp 20.000 per kilogram. Bahan-bahan lainnya, kentang Rp 15.000 per kilogram, wortel Rp 10.000 per kilogram.
Penurunan terjadi pada tomat dari Rp 10.000 per kilogramnya menjadi Rp 8.000 per kilogramnya. Untuk sayuran lainnya, seperti kol masih normal Rp 10.000 per kilogramnya.
Titin (42), pedagang sembako lainnya di Pasar Kosambi, mengatakan kenaikan harga dipicu oleh naiknya harga minyak goreng yang sudah lama berlangsung. Ia mengaku sering mendapat komplen dari para pembeli akibat kenaikan harga.
“Kacang-kacangan (juga naik), gara gara minyak naik. Tepung naik, minyak naik, sayuran naik. Yang jualan gorengan kasian. Gorengan itu macam-macam, kayak cireng itu kan, acinya juga kan naik buat cireng,” ungkapnya.
“Pada komplen, aduh aku buat jualan gorengan gimana, dikecilin ga mau, sayuran juga, pengaruh banget, sering dapat komplen,” lanjut Titin.
Baca Juga: Giliran 12 Rumah di Jalan Jawa yang Bersengketa dengan PT. KAI
CERITA ORANG BANDUNG (45): Asa Iki dan Denov selama Berperan sebagai Jurig di Jalan Asia Afrika
Pedagang Kecil semakin Terjepit
Kenaikan harga-harga ini dirasa semakin menyulitkan para pedagang kecil atau PKL. Seperti pedagang seblak, pedagang ketupat sayur, pedagang baso, dan lain-lain. Yanti (50), salah satu pedagang ketupat sayur padang, mengeluhkan naiknya harga bahan-bahan pokok tersebut. Modal yang dikeluarkan oleh Yanti semakin besar, sementara harga maupun porsi tak bisa dikurangi. Sementara jumlah pembeli semakin berkurang.
“Ya pengaruh sama penjualan, harga kita naikin gak bisa, tapi kita mau beli bahan-bahan lagi naik. Susahnya itu, jadi duit tambah lama tambah susah dicari,” keluhnya. “Otomatis orang daya beli mikir-mikir. kita yang jualan pengaruh pisan.”
Yanti dan sang suami hanya menggantungkan hidup dengan penjualan kupat sayurnya. Ia merasakan biaya hidup semakin tinggi, termasuk untuk menghidupi tiga orang anaknya.
“Pas-pasanlah, pasti ngurangi ke pendapatan jadi begitulah, jadi ya tidak mencukupi, dan sekarang jualan susah. Semua orang (penjual) pasti,” kata Yanti.
Tak berbeda dengan Yanti, Kokom Komariah (44), salah satu pedagang seblak tak jauh dari Pasar Kosambi, juga mengeluhkan bahan-bahan seblak yang terus naik. Ia yang berjualan seblak sangat terdampak, pasalnya dari bahan-bahan minyak goreng, telur, kerupuk, cabai serta bahan seblak lainnya pada naik.
Kokom terpaksa harus putar otak untuk bisa terus berjualan dengan cara mengurangi sedikit porsi seblaknya. Selain terdampak kenaikan harga menjelang tahun baru ini, ia juga masih merasakan pengaruh pandemi juga sangat berpengaruh terhadpa penjualan. Beruntung ia bisa berjualan secara daring melalui aplikasi pemesanan makanan online, walaupun keuntungannya tidak seberapa.
Keuntungan yang ia dapat hanya cukup untuk menutupi biaya keseharian, dan diputar kembali untuk modal pembelian bahan-bahan. “Modal iya pasti nambah kan bahan bakunya pada naik. Tipis banget keunguntungan. Alhamdulillah bisa untuk makan sama belanja bahan-bahan lagi. Untuk disimpan belum bisa,” ungkap pemilik Seblak Ooh Bama itu.
Kesulitan akan kenaikan harga juga dirasakan oleh Junet (34), salah satu pedagang bakso urat yang berjualan di Jalan Baranangsiang. Menurutnya, meski kenaikan harga beberapa bahan tersebut tak seberapa, namun hal itu menurut sangat berdampak bagi pedagang kaki lima seperti dirinya. Salah satu bahan baksonya, seperti mie instan yang tadinya Rp 92.000 per dus, kini naik menjadi Rp 94.000 per dus. “Ya otomatis keuntungannya mengurang. Sementara naiknya memang gak seberapa tapi buat yang berjualan berpengaruh,” ungkapnya.
Ditambah lagi, sebagai penjual bakso, ia juga harus menyediakan sambal. Sedangkan harga cabai kini sedang melambung. “Cabe naik berpengaruh, tapi memang resiko penjual, cabe sambal gratis, keluarin modal lebih lagi karena naik, sementara harga porsi tidak bisa naik,” katanya.
Operasi Pasar
Pemerintah Kota Bandung sempat menggelar operasi pasar murah minyak goreng di Balai Kota Bandung. Dalam operasi pasar, Kepala Disdagin Kota Bandung, Elly Wasliah mengungkapkan, pada operasi pasar ini Disdagin dibantu oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) DPD Jawa Barat menyediakan 5.000 minyak goreng premium kemasan 2 liter.
Menurut Elly, pada operasi pasar kali ini ada 9 ritel yang ikut berkontribusi membantu menyediakan minyak goreng murah kualitas premium. "Alhamdulillah hari ini kita sediakan 5.000 pouch berarti ada 10.000 liter minyak goreng. Di sini dijual Rp 30.000 per 2 liter. Sedangkan di pasaran sudah bergerak di angka Rp 37.000-40.000 per 2 liter," terang Elly.
Ia menambahkan, pihaknya sudah menggelar rapat bersama para kepala seksi ekonomi dan pembangunan kecamatan se-Kota Bandung untuk membahas masalah kenaikan harga minyak tersebut. “Kami sampaikan bahwa ini untuk pelaku usaha mikro, masyarakat kurang mampu yang membutuhkan," imbuhnya.
Lebih jauh Elly menjelaskan, sesuai keterangan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, penyebab kenaikan harga minyak goreng akibat kenaikan harga minyak mentah dunia, sehingga harga minyak mentah di dalam negeri turut menyesuaikan.
"Kedua, produksi sawit mengalami penurunan sehingga mengganggu pasokan minyak goreng. Dan sesuai dengan arahan pak wali kota bahwa pemerintah wajib hadir (membantu)," tuturnya.
Namun sasaran operasi pasar tersebut lebih ke minyak goreng. Sedangkan solusi bagi para pedagang kecil belum tampak digodok Pemkot Bandung.