Sidang Kasus Perkosaan Santriwati, HW Meminta Maaf dan Memohon Keringanan Hukuman
Dalam pledionya, HW menyatakan permintaan maaf kepada korban dan memohon keringanan hukuman. Sementara itu, hukuman mati dan kebiri dinilai tidak manusiwi.
Penulis Emi La Palau20 Januari 2022
BandungBergerak.id - Terdakwa kasus perkosaan santriwati di pondok pesantren di Bandung, HW, berkesempatan menyampaikan pledio atau pembelaannya dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (20/1/2022). Seperti diketahui, pada sidang sebelumnya guru yang juga pimpinan yayasan pendidikan agama ini dituntut hukuman mati dan kebiri kimia.
Dalam sidang yang berlangsung daring dan tertutup itu, terdakwa HW membacakan nota pembelaannya. Terdakwa kejahatan seksual ini berharap keringanan hukuman dan meminta maaf kepada korban yang tidak lain murid-muridnya sendiri.
“Bahwa yang bersangkutan menyesal kemudian meminta maaf kepada seluruh korban dan kepada keluarganya dan pihak-pihak lainya. Kemudian meminta untuk dikurangi hukumannya itu yang disampaikan tadi,” ungkap Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejati Jawa Barat Dodi Gazali Emil, usai sidang di PN Bandung.
Atas pembelaan tersebut, nantinya Jaksa Penuntut Umum akan membacakan sikap dalam agenda perisadangan berikutnya yang rencananya akan digelar Kamis 27 Januari 2022. Sementara itu, penasehat hukum HW, Ira Mambo, tak menjelaskan secara rinci isi pledoi yang dibacakan kliennya. Begitu juga saat ditanya lebih spesifik mengenai keringan hukuman yang diharapkan HW. Ira hanya mengatakan bahwa pihaknya meminta hukuman yang seadil-adilnya.
“Intinya itu adalah kami memohonkan hukuman yang seadil-adilnya, spesipikasinya tentu kami tidak bisa uraikan dan terdakwa pun diberikan kesempatan pembelaannya pribadi secara tersendiri dan itu sudah dilaksanakan,” ungkap Ira Mambo.
Baca Juga: Polemik Hukuman Mati bagi HW, Kementerian PPPA Mendukung Langkah Jaksa
Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak
Hukuman Mati dan Kebiri Dinilai Kurang Memberikan Efek Jera
Direktur Women’s Crisis Center Pasundan Durebang, Ira Imelda, punya pandangan lain terkait tuntutan yang dilayangkan jaksa kepada HW. Menurutnya, hukuman mati dan hukuman kebiri tidak akan memberikan efek jera.
Sebagai aktivis yang bergiat di bidang perlindungan perempuan dan anak, Ira melihat hukuman kebiri kimia tak manusiawi. Terlebih saat ini Indonesia telah meratifikasi Undang-undang antikekerasan. Dengan kebiri kimia, dinilai akan menyebabkan impunitas atau disfungsi organ manusia. Dan ini dinilai akan menyuburkan disabilitas.
“Jadi harusnya tindakan seperti ini tidak dilakukan karena akan membuka ruang peluang kebiri kimia membuat disfungsi organ manusia, menyuburkan disabilitas,” ungkap Ira Imelda, kepada Bandungbergerak.id melalui sambungan telepon.
Ada langkah lain yang dapat ditempuh oleh pemerintah khususnya aparat hukum untuk membuat efek jera kepada pelaku kejahatan seksual. Salah satunya dengan rehabilitasi dan edukasi. Selama proses rehabilitasi ini pelaku kejahatan diberikan pemahan sampai pada tahap penyadaran agar tidak lagi melakukan kejahatan seksual.
Ira yakin hukuman kebiri kimia maupun hukuman mati tak menjamin pelaku kejahatan tidak akan melakukan perbuatan yang sama di kemudian hari. Hal ini juga berlaku terhadap kasus HW.
“Iya (berlaku untuk kasus HW), karena hukuman kebiri tak menyelesaikan masalah. Terus terang melihat kasus dengan banyaknya korban kita sangat marah sekali dengan kasusnya. Tapi hukuman kebiri tidak membuat pelaku lainnya, bukan hanya HW, jera, tidak ada jaminan,” tandasnya.
Ira lebih sepakat jika HW dihukum seumur hidup dengan catatan, ditambah proses rehabiltiasi dan edukasi. “Seumur hidup artinya ada upaya tindakan korektif, bukan hanya dia ditahan dipenjara lalu gak ada upaya merehabilitasi si pelaku,” ungkapnya.
Dalam kasus HW, lanjut Ira, seharusnya yang utama adalah menjamin hak-hak korban, baik segi kesehtan, pendidikan, dan masa depan para korban yang masih anak-anak. Sehingga harus ada mekanisme perlindungan sampai korban benar-benar pulih, termasuk anak-anak yang dilahirkan para korban. Karena itu Ira menyoroti restitusi atau penggantian kerugian bagi korban yang harus ditegakkan dan dijalankan seadil-adilnya.
Seperti diketahui, JPU juga menunut agar seluruh harta kekayaan HW disita oleh negara untuk membiayai kehidupan para korban dan anak-anak mereka. Di sisi lain, Indonesia maupun Kota Bandung menghadapi darurat kekerasan seksual. Dokumen Catatan Akhir Tahun Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) 2021 mengungkap jumlah korban kekerasan sebanyak 1.731 kasus yang menimpa perempuan. Dari jumlah tersebut, 962 kasus adalah kasus kekerasan seksual, dengan rincian: 229 kasus perkosaan, 181 kasus pelecehan seksual, 166 kasus pencabulan, 10 kasus percobaan perkosaan, 5 kasus persetubuhan, dan 371 kekerasan seksual lainnya.
Di Kota Bandung, tercatat di sepanjang tahun 2020 ada 431 kasus kekerasan pada anak yang ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung. Artinya, di tahun pagebluk terjadi penambahan 181 kasus dari jumlah total kasus di tahun sebelumnya (2019) yang tercatat sebanyak 250 kasus. Ke-431 kasus kekerasan pada anak di sepanjang 2020 itu di antaranya terdiri dari 155 kasus kekerasan psikis, 69 kasus pelecehan, dan 55 kasus kekerasan fisik.