• Liputan Khusus
  • JELAJAH KUBURAN-KUBURAN DI BANDUNG (2): Dari Banceuy ke Pajajaran

JELAJAH KUBURAN-KUBURAN DI BANDUNG (2): Dari Banceuy ke Pajajaran

Kawasan Banceuy dulunya sebuah kompleks kuburan Belanda. Seiring perluasan Kota Bandung, kuburan ini dipindahkan ke Pajajaran.

Bandung Banceuy Center, Jalan Banceuy, Kota Bandung, Sabtu (29/1/2022). Di kawasan ini dahulu berdiri kerkhof atau sentiong yang merupakan kuburan untuk bangsa Eropa dan Cina. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman29 Januari 2022


BandungBergerak.id – “Perlengkapan sebuah kota yang penting adalah…kuburan atau kerkhof dalam bahasa Belandanya,” tulis Haryoto Kunto, dikutip dari buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984, halaman 75).

Atas inisiasi Asisten Residen Priangan, Pieter Sijthoff yang mendirikan perkumpulan Vereeniging tot Nut van Bandoeng en Omstreken (Perkumpulan Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya) pada tahun 1898, wajah Kota Bandung secara bertahap mengalami perkembangan hingga akhirnya mendapat status sebagai Gemeente pada 1 April 1906.

Salah satu hasil kerja perkumpulan yang kemudian berubah nama menjadi Bandoeng Vooruit adalah menyelenggarakan pembangunan kota dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di bidang sosial, termasuk mengelola kematian warga Bandung dengan menyediakan permakaman.

Apa yang diungkapkan Haryoto Kunto menunjukkan bahwa permakaman sebagai urusan serius bagi pemerintahan Belanda di Kota Bandung. Namun, pada hari ini rasanya apa yang diungkapkan oleh Kuncen Bandung itu jauh lebih luas lagi maknanya. Sebab melalui perkuburan di Kota Bandung yang diperkuat oleh data sejarah, kita bisa mendapatkan bermacam informasi, salah satunya perkembangan Kota Bandung sendiri.

Hal semacam ini tidak lumrah dilakukan. Sebab orang biasanya melihat perkembangan Kota Bandung pada tempo dulu sering kali dilakukan dengan membaca data sejarah atau melihat bangunan bersejarah di lapangan.

Peta Kerkhof atau Sentiong Banceuy tahun 1921. (Dutch Colonial maps - Leiden University Libraries)
Peta Kerkhof atau Sentiong Banceuy tahun 1921. (Dutch Colonial maps - Leiden University Libraries)

Kerkhof atawa Sentiong Banceuy

“Kerkhof atau kuburan Belanda yang tertua di Kota Bandung letaknya di Pasar-Besi “Sentiong” di Jalan Banceuy sekarang. Karena batas Kota bandung di pertengahan abad-19 memang baru sampai di Jalan Suniaraja sekarang ini,” ujar Haryoto Kunto (Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984, halaman 234).

Dari keterangan Kuncen Bandung tersebut, diketahui bahwa luas Bandung dulu berbeda dengan Bandung kini. Pada pertengahan abad ke-19, luas wilayah utara Kota Bandung baru sampai di Jalan Suniaraja sekarang. Penempatan perkuburan diletakkan di perbatasan kota. Sementara keterangan dari Komunitas Aleut menjelaskan bahwa peletakan kuburan di pinggiran kota dilakukan dengan dasar pertimbangan tata ruang atau estetika kota.

“Penempatan ini dilakukan agar kuburan tidak bercampur dengan perumahan, ruang publik, atau pada intinya agar tata ruang di Kota Bandung terkesan lebih estetika, tidak acak-acakan,” tutur Ariyono Wahyu, pegiat Komunitas Aleut!.

Letak wilayah Banceuy juga disebut di novel Rasia Bandoeng karya Chabanneau. Dulu wilayah tersebut masih merupakan kampung yang sepi. Orang-orang lebih memilih tempat ramai seperti Pasar Baru atau di sebelah selatan Banceuy, di Jalan Asia Afrika sekarang.

Papan nama di TPU Pandu, Kota Bandung, Sabtu (29/1/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Papan nama di TPU Pandu, Kota Bandung, Sabtu (29/1/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

“Rupa-rupanya itu tampat tida nanti berobah jadi rame atawa tetap sepi selamanya, kendati turut patut tiada musti ada bagitu. Letaknya kampung Banceuy pun ada di belakang Pasar-baru, satu tempat yang terkenal paling rame dari antero kota Bandung, sedang ujung sabelah Kidul dari itu kampung ada terdiri Postkantoor dan Ned.-Indie Escompto Maatschappij, salah satu bank yang terkenal, lain dari bagitu di belakang Postkantoor tersebut ada terdiri satu “rumah bioscope”, yang saban malam kasih pertunjukan dari rupa-rupa gambar yang terpilih, sedang di depan ini tampat tontonan ada letaknya “rumah penjara” atawa buwi tampat mengeramnya segala reruntuk dunia,” demikian Chabanneau melukiskan kawasan Pasar Baru dalam roman Rasia Bandoeng.

Buku Rasia Bandoeng merupakan roman yang diyakini berangkat dari kisah nyata, ditulis Chabanneau yang diduga nama samaran. Roman ini mengisahkan keluarga Tan Djin Gie, seorang saudagar batik Solo yang bisa disebut sebagai pelopor perdagangan batik di Pasar Baru. Roman dengan setting Bandung tempo dulu itu tersebut terbit tahun 1918.

Kembali ke kuburan, lokasi yang dijadikan kerkhof atau sentiong di Jalan Banceuy sekarang diyakini letaknya berada di lokasi berdirinya Bandung Banceuy Center saat ini. Fakta ini jarang diketahui orang. Bahkan saat BandungBergerak.id secara acak menanyakan tentang kuburan kepada pedagang di sana, mereka semua tampak celingak-celinguk mendengarnya.

Namun, pada peta lama tahun 1921 yang termuat pada situs Dutch Colonial maps - Leiden University Libraries, masih terdapat tanda makam di daerah yang sekarang menjadi Bandung Banceuy Center itu. Artinya, pada periode tahun tersebut, masih tersisa beberapa makam di sana, sementara kebanyakan permakaman lainnya sudah dipindahkan ke Kerkhof Kebon Jahe (Sport Hall Pajajaran sekarang). Selain itu, jalan di bekas kuburan Banceuy pada tahun 1921 berubah menjadi Oudekerkhofweg (Jalan Kuburan Lama).

Baca Juga: JELAJAH KUBURAN-KUBURAN DI BANDUNG (1): Permakaman sebagai Media Literasi
Mengenal Kecamatan Astana Anyar: Kuburan Tua di Tengah Kota
Menggali Sejarah Kuburan Tua Belanda di Bandung dan Cimahi

TPU Astanaanyar, Kota Bandung, Sabtu (29/1/2022). TPU ini dibangun Belanda untuk memakamkan warga Bandung yang meninggal. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
TPU Astanaanyar, Kota Bandung, Sabtu (29/1/2022). TPU ini dibangun Belanda untuk memakamkan warga Bandung yang meninggal. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Kerkhof Kebon Jahe

Di depan Sport-Hall Jalan Pajajaran itu, pernah ditemui Oma Opa Turis Belanda, duduk lemas menitikkan air mata, memandangi pusara keluarganya yang telah hilang musnah,” tutur Haryoto Kunto (Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984), halaman 234).

Pada tahap perkembangan Kota Bandung berikutnya, perluasan wilayah Kota Bandung semakin meluas. Batas wilayah utara Kota Bandung meluas sampai ke Jalan Pajajaran. Kuburan Eropa dan Cina di Banceuy dialihkan ke tempat lain.

Kuburan orang Belanda dipindahkan ke Kebon Jahe (Jalan Pajajaran), sementara kuburan orang Cina dipindahkan ke Babakan Ciamis. Pada awal Abad ke-20, permakaman untuk orang Islam dibangun dan dinamakan Astanaanyar.

Kuburan orang Eropa di Jalan Pajajaran masih eksis keberadaannya hingga periode 1970-an. Terlebih kuburan orang Belanda ini sering dijadikan destnasi wisata oleh masyarakat sekitar, walaupun kuburan tersebut sebetulnya tidak terbuka untuk umum. Namun karena kebandelan masyarakat, akhirnya penjaga di sana hanya menangkap orang yang punya niatan tidak baik. Kisah ini termuat dalam buku Basa Bandung Halimunan karya Us Tiarsa:

“Sebetulnya, tidak diizinkan untuk masuk ke kerkhof. Pintunya (gapura) hanya ada satu di sebelah utara (Jalan Pajajaran). Sekitarnya dipagari oleh kawat berduri terlebih (ditumbuhi) pagar hidup seperti kembang sepatu, pringgandani, kacapiring, dan semacam teh. Banyak (orang) yang menjaganya, dipimpin oleh seorang mandor. Mandor tersebut terkenal oleh galaknya. Namanya Mandor Atma. Rumahnya di dalam kerkhof, dekat gapura,” ungkap Us Tiarsa.

Baru pada tahun 1973, kuburan tersebut dibongkar untuk dijadikan sarana olahraga dan sejumlah kuburan yang ada di sana dialihkan ke Pandu, Tamansari, dan Sadang Serang. Namun kini daerah Tamansari dan Sadang Serang telah berubah menjadi daerah permukiman padat. Sarana olahraga yang kini dikenal sebagai Sport Hall Pajajaran diresmikan pada 8 Januari 1975 oleh Mayor Jenderal Solihin G.P. yang kala itu menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat.

Sisa-sisa permakaman Kebon Jahe sebetulnya dapat kita saksikan dalam beberapa tahun ke belakang. Komunitas Aleut! pernah menemukan satu makam yang bertuliskan Elisabeth Adriana Hinse-Rieman. Makam ini terdapat di Jalan H. Mesri RT 10 RW 6, Kelurahan Pasirkaliki, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung.

Kisahnya tentang penemuan makam dan siapa orang tersebut sudah dipublikasikan di laman Komunitas Aleut. Jalan H. Mesri sendiri terletak di belakang GOR Pajajaran yang menjadi bekas permakaman Belanda atau Kekhof Kebon Jahe. Selama ini, makam yang diketahui sebesar pintu tersebut dijadikan alas cuci pada jamban umum oleh warga sekitar. Namun sayang seribu sayang, ketika papan nisan makam tersebut dibawa ke kantor kelurahan, nisan tersebut terjatuh dan kemudian pecah begitu saja.

Komunitas Aleut menyayangkan kejadian tersebut. Seharusnya, nisan bersejarah itu dibawa dengan amat hati-hati dan penuh pertimbangan. Bahkan sebelum pengangkatan nisan, seharusnya ada beberapa ahli yang mengerti tentang pemugaran benda-benda peninggalan sejarah.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//