Bebaskan Warga Wadas

Berita yang disebarkan warga Wadas adalah pemberitaan mengenai situasi nyata yang terjadi secara real time, tidak menyalahi UU ITE

Suasana pengepungan warga penolak tambang oleh aparat kepolisian di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, Selasa (9/2/2022). Solidaritas pun mengalir dari banyak pihak. (Sumber foto: akun IG @wadas_melawan)

Penulis Awla Rajul10 Februari 2022


BandungBergerak.idKetegangan di Desa Wadas, Bener, Purwarejo, Jawa Tengah, belum reda pascapengepungan oleh aparat kepolisian, Selasa (8/2/2022), lalu. Kabar terakhir, aparat kepolisian masih berjaga dan melakukan pengamanan terhadap tim Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang melakukan pengukuran lahan untuk penambangan batu andesit.

Pascaperistiwa pengepungan, sedikitnya 67 orang yang ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian tanpa alasan yang jelas. Sebanyak 67 orang tersebut terdiri dari 60 orang warga (13 orang adalah anak-anak), lima orang anggota solidaritas, satu orang anggota dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan satu orang seniman, Yayak Yatmaka.

Yogi Zul Fadli dari LBH Yogyakarta menyampaikan, selain tidak ada alasan yang jelas terkait penangkapan, sebagian besar mereka yang ditangkap tidak mendapatkan pendampingan hukum. Polisi juga berdalih bahwa mereka yang ditangkap karena kasus-kasus sebelumnya.

Sementara pihak pendamping hukum yang ingin menemui warga disyaratkan untuk melakukan tes swab, dengan alasan tidak menularkan Covid-19.

“Saya ingat sekali, kita pendamping hukum baru bisa bertemu dengan teman-teman di Polres pukul 11 sampai 12,” terang Yogi dalam konferensi pers virtual pascapenangkapan warga Wadas, Kamis (10/2/2022). Konferensi pers ini dilakukan pendamping dan warga Wadas.

Yogi menyebutkan, pihaknya bisa menemui warga yang ditangkap ketika sebagian besar sudah di-BAP (Berita Acara Pemeriksaan). Dengan kata lain, mereka di-BAP tanpa didampingi oleh pendamping hukum.

Tercatat, ada tiga warga perkaranya dinaikkan dari penyelidikan menjadi penyidikan dengan status sebagai saksi. Ketiganya disangkak dengan pasal 28 UU ITE jo. Pasal 14 UU 1 Tahun 1945.

Menurut Yogi, polisi melakukan penyitaan terhadap tiga ponsel milik warga dengan status penyidikan tersebut. Mereka dinaikan statusnya ke penyidikan pada Rabu (9/2/2022). “Polisi hanya butuh waktu beberapa jam untuk menaikkan status dari penyelidikan ke penyidikan,” jelas Yogi.

Meski demikian, pengacara publik lainnya yang juga dari LBH Yogyakarta, Budi mengatakan bahwa ketiga warga tersebut statusnya masih sebagai saksi. Namun mereka berpotensi menjadi tersangka di kemudian hari. Budi menilai, polisi terus mencari kesalahan mereka di media sosial

Pengerahan Aparat yang Berlebihan

Ketua Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Adi, mendapat kabar bahwa Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, akan menyuruh mundur aparat dari desa Wadas. Namun, nyatanya jumlah aparat di lokasi malah semakin bertambah. Selain itu, Adi juga mencatat ada upaya agar warga mau menandatangai pengukuran lahan mereka.

“Enggak ada cara lain selain kita membangun kekuatan warga sekarang. Kalau negeri ini masih punya nurani, tinggal tarik semua pasukan dari Wadas, tarik semua aparat, preman-preman dari Wadas,” tegas Adi, pada acara konferensi pers yang sama.

Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Trisno Raharjo menilai apa yang telah dilakukan aparat penegak hukum di Wadas adalah berlebihan, khususnya dari jumlah personel yang dikerahkan.

Trisno kemudian menggarisbawahi cara-cara yang dilakukan aparat kepolisian yang tidak sesuai dengan prosedur. Seharusnya, kepolisian menggunakan cara-cara yang terbuka dan solutif. Ia juga mempertanyakan jaminan dari pemerintah sebelumnya bahwa pengamanan di Wadas tidak akan menggunakan kekerasan. Tetapi kenyataannya banyak intimidasi dan kekerasan yang terjadi di lapangan kepada warga.

Trisno kemudian menyoroti adanya aparat kepolisian yang tidak menggunakan seragam polisi, melainkan menggunakan pakaian bebas. Ia menegaskan, seharusnya aparat yang datang ke Wadas semuanya menggunakan seragam resmi.

“Kalau aparat negara harus hadir, mereka harus berseragam. Kalau tidak menggunakan seragam berarti itulah pengacau, itulah preman. Dan itulah yang seharusnya ditangkap,” ucapnya.

Usman Hamid: Aparat Seharusnya Menjamin Keamanan Rakyat

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid, juga minilai berlebihan dengan pengerahan aparat kepolisian ke Desa Wadas. Seharusnya, pengerahan aparat cukup dengan jumlah terbatas karena tugasnya adalah mengamankan. Usman melihat pengerahan aparat ke Wadas seperti operasi dalam mengepung teroris.

Di sisi lain, Usman menegaskan, tugas aparat kepolisian adalah mengamankan warga di lokasi saat pengukuran lahan. Artinya, mereka yang menjamin warga agar aman. Tetapi faktanya, aparat kepolisian malah justru melalukan kekerasan dan intimidasi pada warga.

Perlakuan aparat di Wadas tidak menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Usman bahkan menyebutkan pada kasus di Wadas, bahwa kepolisian hanya menjamin keamanan para pejabat, bukan melindungi warga.

“Yang dijamin adalah keamanan para pejabat yang di lokasi,” tegasnya Usman Hamid.

Kronologis Penangkapan dan Kekerasan Kepolisian

Salah satu warga yang ditangkap, Siji (bukan nama sebenarnya), memberanikan diri menceritakan kronologis penangkapan terhadap dirinya. Ia dan 66 orang yang ditagan di Polres Purwarejo berhasil kembali ke Desa Wadas pada Rabu (9/2/2022) sekitar pukul 16.30.

Saat aparat kepolisian sudah memasuki desa Wadas, Siji mendapati segerombolan orang-orang berbaju biasa (preman). Gerombolan tersebut mendatangi warga yang sedang melakukan mujahadah di Dusun Krajan.

Gerombolan preman kemudian menanyakan asal orang-orang yang ada di dalam masjid. Beberapa warga menjawab bahwa mereka adalah orang Wadas. Namun gerombolan itu tidak percaya dan meminta warga menunjukkan KTP. Salah seorang warga kemudian pergi ke rumah untuk mengambil KTP. Karena diikuti gerombolan preman, warga ini ketakutan dan lari.

Gerombolan preman mengejar sampai mendobrak rumah tempat warga tadi melarikan diri. Sementara itu, di dalam rumah ada enam orang warga lainnya, salah satunya ibu-ibu.

“Setelah berhasil menghancurkan pintu kamar, gerombolan preman itu langsung menarik, menginjak, memukul seorang warga hingga pakaian yang ia kenakan robek. Enam warga lain yang berada di dalam rumah itu juga tak luput dari tindakan kekerasan membabi-buta gerombolan preman itu,” kata Siji, melalui keterangan tertulisnya.

Gerombolan preman itu kemudian menyeret warga keluar rumah dan memborgol tangan mereka. Siji melanjutkan, lima orang warga itu kembali mendapatkan pukulan dari gerombolan preman. Lima warga itu kemudian dibawa ke Polsek Bener, hingga selepas magrib mereka dipindahkan ke Pilres Purworejo.

Dalam konferensi pers tersebut, warga bersama solidaritas menuntut menuntut Gubernur Ganjar Pranowo dan Kapolda Jateng untuk menghentikan rencana pertambangan di Desa Wadas; menarik aparat kepolisian dari Desa Wadas; menghentikan kriminalisasi dan intimidasi aparat terhadap warga Wadas; dan mengusut tuntas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolidian di Desa Wadas.

Bebaskan Warga Wadas dan Usut Pemadaman Internet

Solidaritas terhadap warga Wadas terus mengalir, antara lain dari Koalisi Serius Revisi UU ITE. Koalisi mendesak agar tiga warga Desa Wadas yang dituduh melanggar Pasal 28 UU ITE dan pasal 14 jo. Pasal 15 UU No. 1 tahun 1946 dibebaskan dari proses hukum dengan segera dan tanpa syarat. Menurut Koalisi, mereka hanya mengabarkan situasi yang terjadi secara nyata di desa mereka sendiri.

Koalisi juga mendesak agar pemerintah mengusut dugaan pemadaman sengaja terhadap listrik, sinyal ponsel, dan internet di wilayah Desa Wadas selama aksi kekerasan oleh aparat pada periode 8 - 9 Februari 2022.

Seperti diketahui, Senin, 7 Februari 2022, ratusan aparat keamanan melakukan apel dan mendirikan tenda di Lapangan Kaliboto, di belakang kantor Polsek Bener, tepat di pintu masuk Desa Wadas.

Selasa, 8 Februari, ratusan aparat tersebut bergerak ke Desa Wadas mengawal BPN yang akan melakukan pengukuran tanah untuk kepentingan pertambangan di wilayah Desa Wadas.

Koalisi juga memperoleh informasi bahwa polisi dengan kasar melarang dan menghalangi pendamping warga dari LBH Yogyakarta untuk masuk ke Desa Wadas.

“Kami juga mendapat laporan dugaan pemutusan jaringan telepon seluler dan internet di Wadas yang menyulitkan warga untuk berkomunikasi,” kata juru bicara koalisi, Ika Ningtyas, dalam keterangan reminya.

Koalisi menilai, pemutusan jaringan komunikasi jika tidak selaras dengan standar HAM internasional dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Apa lagi kasus ini dilakukan untuk ni menghalangi hak warga Wadas dalam mencari, mendapatkan, dan berbagi informasi secara damai.

“Dalam hal dugaan pemadaman internet itu, negara perlu menyimak kembali keputusan PTUN Jakarta pada 2020 lalu yang mengadili kasus pemadaman internet di Papua dan Papua Barat. Majelis hakim menilai tindakan pemutusan akses internet di Papua melanggar HAM dan menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan. Hakim berpendapat bahwa internet adalah netral. Ia bisa digunakan untuk yang positif dan membangun peradaban. Jika terdapat konten yang melanggar hukum, maka yang dibatasi adalah konten dan bukan internetnya,” paparnya.

Jika benar telah terjadi pemadaman internet di wilayah Wadas, koalisi menilai hal tersebut sebagai pelanggaran yang harus ditindaklanjuti dengan proses hukum. Secara substansi, pemadaman internet juga menyalahi ketentuan diskresi, bertentangan dengan UU dan asas umum pemerintahan yang baik.

Baca Juga: Warga Wadas Dikepung dan Ditangkap Aparat Kepolisian, Solidaritas Mengalir
ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #1: Bermain (Lagi) di atas Puing Anyer Dalam

Jerat UU ITE

Terkait dengan adanya warga Wadas yang dinaikkan statusnya ke tingkat penyidikan dengan dugaan melanggar UU ITE, koalisi menilai hal ini sebagai kekeliruan. Bahwa berita yang disebarkan warga adalah pemberitaan mengenai situasi nyata yang terjadi secara real time, tidak menyalahi UU ITE

Informasi tersebut juga disebarkan bukan untuk menimbulkan keonaran namun sebagai bentuk pemberitaan dan pertolongan kepada publik atas peristiwa kekerasan yang terjadi kepada warga sipil di Desa Wadas.

Untuk itu, Koalisi menilai bahwa penggunaan UU ITE sebagai dasar penangkapan warga merupakan upaya negara untuk membungkam dan mengancam warga yang menjalankan protes secara damai dan membela hak asasinya.

Oleh karena itu, Koalisi Serius Revisi UU ITE mendesak:

1. Gubernur Jawa Tengah dan Kapolda Jawa Tengah untuk menjelaskan secara terbuka atas dugaan pemadaman listrik, sinyal dan akses internet pada 7-9 Februari 2022 di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah dan menjamin tidak ada lagi praktik serupa di masa depan;

2. Polisi untuk menghentikan proses hukum dan membebaskan tiga warga Desa Wadas yang dijadikan tersangka karena dianggap melanggar pasal 28 ayat 2 UU ITE jo. Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dengan segera dan tanpa syarat; dan

3. DPR RI bekerja sama dengan pemerintah untuk memperbaiki segera pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE, termasuk Pasal 28 ayat (2) UU ITE, agar tidak terus menerus disalahgunakan untuk memidana mereka yang menggunakan media sosial untuk menyampaikan protes secara damai.

Koalisi Serius Revisi UU ITE terdiri dari Amnesty International Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen, ELSAM, Greenpeace Indonesia, ICJR, ICW, IJRS, Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, KontraS, LBH Apik Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, LeIP, Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), PBHI, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), PUSKAPA UI, Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Yayasan Perlindungan Insani (Protection International).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//