• Kolom
  • JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (24): Pertemuan Gabungan Persatoean Aksi Bandoeng

JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (24): Pertemuan Gabungan Persatoean Aksi Bandoeng

Dalam pertemuan di Jalan Pungkur ini, Bakrie Soeraatmadja menyatakan penolakannya terhadap pemberedelan surat kabar yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda.

Hafidz Azhar

Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung

Sipatahoenan edisi 20 September 1932 yang dipimpin oleh Bakrie Soeraatmadja sekaligus memberitakan jalannya pertemuan gabungan Persatoean Aksi Bandoeng. (Sipatahoenan)

20 Maret 2022


BandungBergerak.idPada tanggal 18 September 1932 diadakan pertemuan gabungan dari berbagai elemen organisasi pergerakan. Acara itu diinisiasi oleh Pasundan, Partai Indonesia, Pendidikan Nasional Indonesia, Budi Utomo dan Sarekat Sumatera. Berlangsung di Gudang Rajat Indonesia, Cilentah (sekarang Jalan Pungkur), Bandung, pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 4.000 orang. Termasuk sekitar 300 orang dari kalangan perempuan. Selain itu 30 orang dari utusan perkumpulan lain ikut dalam acara itu, yang juga diliput oleh beberapa perwakilan pers di Pulau Jawa (Sipatahoenan 19 September 1932).

Pertemuan dibuka pada pukul 09.10 oleh Bakrie Soeraatmadja selaku ketua pelaksana. Kemudian ia pun langsung membacakan surat-surat dari utusan yang tidak dapat mengikuti pertemuan. Usai surat dibacakan, senandung Indonesia Raya dikhidmati oleh para hadirin. Setelah itu Bakrie berpidato dan menjelaskan bagaimana duduk perkara pertemuan besar ini dapat berlangsung dengan sangat antusias.

Menurut Bakrie, tujuan digelar pertemuan gabungan tersebut yaitu untuk memperlihatkan persatuan di antara perkumpulan politik yang ada. Akan tetapi Bakrie menambahkan, aksi bersama ini akan menerangkan ihwal tiga persoalan yang dialami oleh rakyat pribumi. Pertama, tentang larangan mengumpulkan uang. Kedua, pemberedelan surat kabar. Ketiga, rintangan-rintangan terhadap seluruh perkumpulan politik dan kebangsaan (Sipatahoenan 19 September 1932).

Ketiga masalah itu kemudian dibahas oleh masing-masing pembicara. Ijos Wiriatmadja sebagai utusan dari Pasundan Jakarta mendapat bagian untuk membahas soal yang pertama. Mula-mula ia memberikan salam hormat kepada seluruh hadirin seraya mengungkapkan rasa haru karena menyaksikkan ribuan orang yang hadir dalam aksi gabungan itu. Ia juga menjelaskan bahwa zaman itu banyak kesulitan yang telah dihadapi. Baik itu dalam urusan ekonomi maupun urusan mendasar lainnya. Dengan demikian, menurut Ijos, seluruh elemen harus bersatu untuk mengubah nasib yang serbasulit itu dengan terus ikhtiar bersama-sama (Sipatahoenan 19 September 1932).

Ijos juga menjelaskan pelarangan mengumpulkan uang oleh pemerintah kolonial hanyalah  kecurigaan. Pengumpulan uang yang dilakukan dalam suatu perkumpulan dapat menyebabkan pemberontakan sebagaimana yang dilakukan oleh PKI beserta haluannya pada tahun 1926-1927. Padahal, menurut Ijos, motif untuk mengumpulkan uang, tiada lain, sebagai bukti banyaknya kemiskinan yang terdapat pada rakyat pribumi. Sehingga salah satu cara untuk meringankan beban kebutuhan itu, yakni, dengan mengumpulkan uang yang dihimpun dalam suatu perkumpulan (Sipatahoenan 19 September 1932).

Selain itu Ijos membandingkan kondisi di Indonesia dengan kondisi di Belanda. Dengan menggambarkan keadaan di Belanda, Ijos menyatakan bahwa berbagai kelompok di sana sering mengadakan pertemuan dan bekerja sama mengumpulkan uang untuk kebutuhan fasilitas umum setiap satu minggu sekali. Hal ini memang tidak berbeda jauh dengan di Indonesia. Segala macam kebutuhan yang terus mendesak membuat beberapa organisasi pribumi berinisiatif untuk mengadakan pengumpulan uang sebagai upaya meringankan kemiskinan yang kian melonjak. Apalagi kondisi ini diperburuk oleh ketidaksanggupan pemerintah Hindia Belanda terkait biaya sekolah dan gaji guru. Sehingga jalan untuk menangani masalah ini antara lain, dengan bekerja sama mengumpulkan uang. Meskipun bagi Ijos uang itu bukan hanya digunakan untuk keperluan pendidikan masyarakat di kota, namun juga untuk keperluan fasilitas umum seperti tempat peribadahan di desa-desa (Sipatahoenan 19 September 1932).

Ijos menyayangkan bahwa aturan itu telah merenggut aspek ekonomi dan pendidikan rakyat pribumi. Bahkan ia tidak memahami mengapa pemerintah kolonial mesti memberlakukan larangan pengumpulan uang. Ia juga meyarankan agar Pemerintah Hindia Belanda lebih baik membentuk sebuah komisi tertentu ketimbang melarang pengumpulan uang untuk suatu perkumpulan. Seraya mengutip Tagore, Ijos berpesan agar jangan berputus harapan karena dapat membahayakan diri sendiri (Sipatahoenan 19 September 1932).

Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (20): Sukarno Pidato dalam Kongres Pertama Pendidikan Nasional Indonesia di Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (21): Pulang dari Belanda, Mohammad Hatta Berkiprah di Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (22): Partindo Cabang Bandung Menyerang Mohammad Hatta

Pembredelan Surat Kabar

Setalah Ijos Wiriatmadja menerangkan masalah pengumpulan uang, giliran Bakrie Soeraatmadja menjelaskan ihwal poin kedua, yakni tentang pembredelan surat kabar. Sebelumnya rencana untuk membahas soal kedua ini akan disampaikan oleh perwakilan dari Budi Utomo. Namun dengan ketidakhadiran dari pihak Budi Utomo, maka Bakrie Soeraatmadja harus menggantikan posisi tersebut dan menyerahkan pimpinan acara kepada Gatot Mangkoepradja (Sipatahoenan 20 September 1932).

Bakrie kemudian maju ke depan. Mula-mula ia menyampaikan bahwa surat kabar merupakan tolok ukur bagi kemajuan sebuah bangsa. Di samping itu Bakrie menjelaskan bahwa surat kabar menampilkan berbagai cita-cita, pandangan serta penemuan-penemuan yang bagus, agar dapat diketahui oleh lapisan masyarakat. Tidak sampai di situ. Menurut Bakrie surat kabar juga dapat memajukan sebuah perusahaan. Sebab dalam surat kabar tertera bagian khusus yang menampilkan bermacam iklan. Begitu juga dengan dunia pergerakan. Untuk mengumumkan kapan sebuah perkumpulan menggelar pertemuan bisa diketahui melalui surat kabar. Jadi, menurut Bakrie, surat kabar sangat berguna bukan hanya untuk mengembangkan usaha, tetapi juga bagi jalannya organisasi pergerakan (Sipatahoenan 20 September 1932).

Sementara itu Bakrie membandingkan surat kabar Belanda dan surat kabar Tionghoa dengan surat kabar milik kalangan pribumi. Ia menilai media Belanda dan Tionghoa lebih bagus daripada media milik pribumi terkait isi dan tampilan. Meski begitu, bagi Bakrie, pers pribumi selalu berusaha untuk mencapai kemajuan. Walaupun disertai dengan serangan-serangan dan rintangan dari kaum kolonial. Dengan adanya kecurigaan dari pemerintah kolonial terhadap segala bentuk tulisan, pers pribumi terus diawasi. Akibat pengawasan ketat ini menghambat kemajuan pada media itu sendiri (Sipatahoenan 20 September 1932). Saat surat kabar pribumi dicurigai oleh pemerintah, aparat polisi diturunkan langsung ke kantor-kantor dan rumah redaksi untuk menggeledah barang bukti. Hal ini, menurut Bakrie, sangat keterlaluan karena memasuki privasi milik seseorang seperti memasuki kamar seseorang yang telah dicurigai oleh Pemerintah Hindia Belanda (Sipatahoenan 21 September 1932).

Penjelasan Bakrie mengenai pembredelan surat kabar itu memberikan kesimpulan, bahwa sikap pemerintah tentang pembredelan pers pribumi menunjukkan ketidakadilan penguasa. Bahkan telah menghambat kemajuan media Pribumi serta pergerakan politik di Indonesia. Oleh karena itu Bakrie menolak larangan tersebut dan mengajak para hadirin untuk bersama-sama menghilangkan ketidakadilan atas surat kabar-surat kabar yang diterbitkan oleh kaum pribumi (Sipatahoenan 21 September 1932).

Setelah Bakrie membahas pemberedelan, Boerhanoedin maju ke depan untuk menerangkan soal ketiga. Yakni tentang rintangan-rintangan terhadap pergerakan politik. Mula-mula ia menyatakan bahwa bangsa terjajah akan terus berupaya dalam mencapai kemerdekaan. Meskipun menurut Boerhanoedin, usaha itu dibalas dengan pengasingan ke Boven Digul oleh kaum kolonial. Seketika pembahasan tersebut langsung dihentikan oleh polisi dan tidak boleh dilanjutkan (Sipatahoenan 22 September 1932).

Beberapa saat berselang, Boehanoedin meneruskan kembali penjelasannya. Ia menyatakan bahwa hak kemerdekaan bangsa Indonesia dengan bangsa negara lain begitu berbeda. Kendati demikian, ia merasa tidak dapat terus membandingkan kemerdekaan rakyat pribumi dengan negara-negara lainnya yang sudah mempunyai hak untuk merdeka. Kondisi ini berdasarkan pada aturan yang berlaku di berbagai negara itu. Asalkan tidak membuat kekacauan dan kejahatan tidak ada hukuman yang memberatkan bagi rakyatnya (Sipatahoenan 22 September 1932).

Dalam pidatonya Boerhanoedin menggambarkan juga Revolusi Perancis yang telah tercatat dalam sejarah. Menurutnya, “Keadaan Revolusi di Perancis tahun 1878 amat begitu hebat dan sudah membuat geger. Hal ini tiada lain disebabkan oleh kehendak yang besar dan hak-hak rakyatnya yang selalu dihalang-halangi. Ini mengindikasikan jika semua orang punya kepedihan dan rasa sakit. Sedangkan yang ingin memperoleh haknya dengan tujuan yang baik, malah diberikan rintangan yang bermacam-macam” (Sipatahoenan 22 September 1932).

Pada sisi yang lain, Boerhanoedin merasa bahwa derajat bangsa Pribumi sedang berada di kelas kambing, kelas yang berada paling bawah. Bahkan, ia menyatakan jika terus-menerus dihayati dan dipikirkan, bangsa pribumi sudah bukan lagi dianggap sebagai manusia. Kondisi ini mengacu pada Exorbitante Rechten (Hak Istimewa) Pemerintah Hindia Belanda yang bisa melakukan apa pun terhadap kaum pergerakan pribumi (Sipatahoenan 22 September 1932). Sebagaimana penggeledahan pada seluruh anggota PNI yang berujung pada penangkapan Sukarno dkk.

Di samping itu Boerhanoedin menambahkan, bahwa Pemerintah Hindia Belanda selalu ambigu dalam memberikan kebijakan. Sebagai contoh terdapat artikel larangan yang merampas hak kemerdekaan seseorang. Tapi di sisi lain, pemerintah kolonial menetapkan poenale sanctie (sanksi hukum) yang sangat memberatkan. Pada akhirnya, rakyat pribumi menjadi korban hukuman itu dan tidak didasarkan pada asas kemanusiaan alih-alih menetapkan larangan merampas kemerdekaan seseorang (Sipatahoenan 23 September 1932).

Dengan pembahasan Boerhanoedin yang cukup lama itu, maka, ia pun memberikan kesimpulan untuk tetap memperpanjang usaha dan terus bekerja sama. Sehingga ia menyarankan agar turut serta dalam berbagai partai pergerakan yang ada, seperti Pasundan, Budi Utomo dan Pendidikan Nasional Indonesia.

“Hayu babarengan ngaleungitkeun sakabeh rintangan anoe salilana djadi halangan (Mari kita bersama-sama menghilangkan semua rintangan yang selalu menjadi halangan),begitulah ucap Boerhanoedin, seraya menutup pidatonya (Sipatahoenan 23 September 1932).

Acara pertemuan gabungan ini ditutup pada pukul 1 siang. Setelah semua hadirin bersama-sama membacakan mosi penolakan terkait larangan pengumpulan uang, pemberedelan dan rintangan-rintangan dari kaum kolonial.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//