• Opini
  • Berita Duka Eril dalam Kemasan Nirempati Jurnalisme Kuning

Berita Duka Eril dalam Kemasan Nirempati Jurnalisme Kuning

Pemberitaan hilangnya Kang Eril dikemas jurnalisme kuning Indonesia dengan bumbu mistis dan sensasional.

Muhammad Farrel Fauzan

Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Pendidikan Indonesia.

Unggahan Atalia Praratya, istri Ridwan Kamil, tentang putranya, Emmeril Khan Mumtaz alias Eril, yang pergi selama-lamanya di Sungai Aare, Kota Bern, Swiss, Kamis (2/6/2022). (Foto: Instagram Atalia Praratya)*

14 Juni 2022


BandungBergerak.idBelakangan kemarin kita melihat kekhawatiran masyarakat terhadap kabar duka yang mengejutkan warga Indonesia khususnya warga Bandung, yaitu tentang hilangnya sosok anak Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Emmeril Kahn Mumtadz atau kang Eril, setelah berenang di sungai Aere, Swiss pada 26 Mei lalu hingga pada akhirnya Eril ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa di Bendungan Engehalde, Swiss. Semoga beliau diterima amal ibadahnya.

Mengulik dari sisi komunikasi massa khususnya dalam pembahasan teori uses and gratification, tragedi duka hilangnya Kang Eril memicu sebagian masyarakat aktif terus-menerus ingin memenuhi kebutuhan informasi lebih lanjut dengan memilih menggali sumber alternatif seperti internet yang mereka pilih, mungkin salah satunya atau mencari informasi melalui media sosial atau media daring dibandingkan televisi (Mc Quail, 2009).

Namun di tengah suasana duka dan derasnya kebutuhan informasi masyarakat tersebut, tiba-tiba saja media daring manfaatkan momen ini untuk mencampuradukkan fakta hilangnya Kang Eril dengan hal mistis tidak logis yang berawal dari statement ramalan meleset oleh seorang yang dikenal sebagai pawang hujan viral. Sang pawing meramal bahwa Kang Eril ditemukan dengan tidak selamat. Suasana duka itu pun berbalik menjadi sebuah kecaman kepada seorang peramal karena dinilai tidak berempati atas kejadian tersebut.

Ramalan omong kosong dan melesetnya pawang hujan itu dimanfaatkan oleh beberapa editor atau wartawan untuk mempromosikan bisnis mereka dengan mengejar klik (Clickbait) seakan sedang berlomba-lomba menjadi portal informan yang terbaik dan memikat pembaca baru, dengan mencari judul yang sensasional meskipun publik tahu mana yang lebih layak dibaca. Gejala berita sensasi mendistorsi fakta ini sejalan dalam fenomena bangkitnya yellow journalism di abad ke-19 ketika pemberitaan jurnalisme secara sensasional berlebihan digunakan demi sepeser cuan.

Contoh judul artikel yang mengandung sensasional tentang hilangnya Kang Eril di antaranya adalah berbunyi seperti “Mbak Rara klaim bicara dengan arwah anak Ridwan Kamil: Eril happy sudah kembali ke alam semestanya”. Lalu, “Ramal Eril, Putra Ridwan Kamil Meninggal, Paranormal Mbak Rara Berharap Meleset”. Dan terakhir saya melihat juga judul "Mencoba Berkomunikasi dengan Roh Anak Ridwan Kamil yang Hilang Saat Berenang di Swiss, Mbak Rara: Saya Pengin Nangis"

Semua judul artikel nirempati tersebut jelas tidak mengandung unsur layak berita sama sekali. Hal dasar dalam membuat layak berita di antaranya adalah mengandung fakta, berimbang, dan objektif (Kusumaningrat, 2005). Kurang lebih judul dan isi dari artikel di atas sama-sama memberikan kesan subjektif, menggunakan fakta palsu yang terdistorsi dari kesan mistis, dan jelas tidak berimbang tanpa adanya penjelasan saintifik. Hal ini persis dengan apa yang terjadi pada era kebangkitan jurnalisme kuning atau “yellow journalism”.

Baca Juga: Banjir dan Tenggelamnya Filosofi Sunda pada Masyarakat Modern
Kalah di Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, Warga Dago Elos Kembali Melawan
SUARA SETARA: Perempuan sebagai Pecinta Alam di Tengah Pembangunan yang Maskulin

Gaya Baru Jurnalisme Kuning Berita Indonesia

Jurnalisme kuning adalah istilah untuk genre jurnalisme yang dipelopori oleh dua orang tokoh pesaing bisnis surat kabar, Joseph Pulitzer dan Hearst pada abad ke-19 di Amerika dan berkembang pesat di New York. Jurnalisme kuning biasanya menonjolkan pemberitaan sensasional yang digunakan untuk bersaing dan mempromosikan bisnis surat kabar antara Pulitzer dan Hearst. Genre ini sering kali diidentikkan dengan pembuat gosip, namun menjadi kritik sosial yang ampuh.

Menurut sejarawan di bidang jurnalisme Joseph Champhbell (2001), hadirnya jurnalisme kuning diidentikkan sebagai hiruk pikuk, teriakan ketakutan dari judul yang sensasional, dan tidak berdasar yang sangat identik dengan isi liputan jurnal kuning khususnya pada pemberitaan perang Amerika dan Spanyol pada 1898, di mana surat kabar di Amerika pada saat itu dipenuhi oleh propaganda dan ketakutan massa akan perang yang terjadi.

Frank Luther Mott (dalam Subekti, dkk, 2019) menjelaskan karakteristik dari jurnalisme kuning adalah: 1) Seringnya penggunaan judul bercetak besar yang terkadang terbentang di halaman awal berita; 2) Berbagai topik yang diberitakan di halaman depan, termasuk berita politik, perang, diplomasi internasional, olahraga, dan masyarakat; 3 Penggunaan ilustrasi yang imajinatif, termasuk foto yang gegabah dan mengganggu; 4) Penggunaan wawancara palsu, tajuk berita yang menyesatkan, pseudosains, dan pernyataan tak valid dari para pakar palsu; 5) Kecenderungan untuk promosi diri, untuk menarik perhatian untuk promosi bisnis surat kabar. Kecenderungan ini terlihat jelas dalam perang antara bisnis Pulitzer dan Hearst pada saat itu dalam memberitakan korupsi.

Salah satu sifat dari jurnalisme kuning yang diamati adalah tidak berempati sedikit pun dan mengutamakan promosi juga sensasi. Sejarah gaya pemberitaan yellow press memang lekat dengan nirempati, seperti peristiwa cerainya salah satu novelis dan tokoh Feminis Amerika bernama Charlotte Perkins Gilman, pada tahun 1892, Hearst sang pebisnis surat kabar mencoba mengulik skandal perceraian Gilman lebih dalam dan memberitakan secara nirempati seperti bahan olokan hingga Gilman merasa tertekan.

Trik tersebut masih sama seperti yang digunakan dalam pemberitaan hilangnya Kang Eril di sungai Aere dengan judul dan isi yang ingin membuat publik penuh kekhawatiran. Perbedaan gaya baru mencolok jurnalisme kuning di Indonesia adalah pada isu mistisnya. Di media daring Indonesia saat ini identik menggunakan logika mistis sebagai peluang binis. Kasus hilangnya Eril adalah salah satu pembuktian dari semua karakteristik yang disebutkan Mott seperti judul besar dengan nada yang menakutkan dengan kaitan mistis, ditambah wawancara pakar palsu yang tidak berimbang. Pola tersebut juga digunakan untuk promosi dengan cara clickbait, ini adalah karakteristik yang masih tertinggal hingga saat ini. Bukanya melakukan inovasi dalam bisnis pers, melainkan menghadirkan berita spekulasi.

Berita mistis tidak hanya kali ini saja diberitakan, melainkan beberapa waktu lalu berita viralnya babi ngepet sempat menggemparkan jagat maya. Seharusnya jurnalis berani mencari kebenaran dan menjelaskan kebenaran di balik fenomena babi ngepet secara fakta empiris dan ilmiah, bukan melainkan ikut menggiring isu tersebut seakan isu tersebut penting dan serius.

Perspektif Kode Etik Jurnalistik

Jelas sekali pandangan Kode Etik Jurnalistik mengatur hal ini dengan ketat dan memberikan kriteria wartawan pada pasal 2 dan 3 yang harus senantiasa cermat dalam menyiarkan berita yang mengandung fakta, dan harus objektif tanpa sepekulasi yang bersifat untung-untungan apalagi sampai menggunakan judul sensasional yang menyesatkan.

Pasal 5 juga merupakan peringatan bagi para wartawan hendaknya meninjau kembali kebenaran dan ketepatan fakta jurnalistik dan yang terpenting adalah wartawan tidak boleh mengambil berita hasil gosip dan tidak bisa dibuktikan kebenaranya.

Maka dari itu menurut saya selama masih maraknya jurnalisme kuning dengan judul sensasional dan berbau mistik, maka itu menunjukkan bahwa pers gagal mewakili kepentingan publik sebagaimana ucap Bill Kovac, melainkan sebaliknya, pers malah menjadi pembodohan publik.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//