• Liputan Khusus
  • Cerita dari Kantong Penyintas Talasemia di Kawasan Timur Kabupaten Bandung

Cerita dari Kantong Penyintas Talasemia di Kawasan Timur Kabupaten Bandung

Kawasan timur Kabupaten Bandung menjadi kantong penyintas talasemia. Ada cerita tentang kehilangan, diskriminasi, dan keterbatasan layanan kesehatan.

Tatang (43) dan Hasanah (41) bersama kedua anak mereka dipotret di rumah di kawasan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, Rabu (21/07/2022). Keluarga ini bertahan sekuat tenaga menghadapi talasemia. (Foto: Luqy Lukman Anugrah/BandungBergerak.id)

Penulis Luqy Lukman Anugrah16 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Di rumahnya di sudut sempit gang Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, yang ramai dengan kicau burung peliharaan, Rabu (21/07/2022) menjelang magrib, pasangan Tatang (43) dan Hasanah (41) membagikan cerita tentang sekian banyak nestapa yang dibawa talasemia, Nyawa dua anak pertama mereka terenggut. Yang ketiga, Zidan, nyaris bernasib serupa.

“Zidan sempat dua kali masuk UGD dan sempat dianggap meninggal kemarin juga. Sudah ditutup kain, tapi mungkin Allah masih sayang sama Zidan,” ucap Tatang.

Tahun 2001 menjadi awal Tatang dan sang istri mengenal talasemia. Ridwan, anak pertama mereka, divonis mengidap penyakit tersebut di usia 7 bulan.  Kata dokter, sang bayi yang sebelumnya sempat dianggap mengidap gizi itu harus melakukan tranfusi darah seumur hidupnya.

Keluarga Tatang menolak menyerah pada keadaan. Sekian banyak perjuangan dan pengorbanan mereka lakukan demi kesehatan sang anak. Ketika itu Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) menjadi satu-satunya pusat penanganan talasemia. Jarak tempuh yang sangat jauh, ditambah lagi ancaman banjir di setiap musim hujan, tidak menyurutkan langkah.

“Perjalanan dari sini ke Hasan Sadikin itu sangat menyedihkan. Apalagi saya tidak pernah diantar. Dari sini naik elf (minibus), berangkat setiap jam 2 (subuh),” kata Hasanah dengan mata berkaca-kaca.

Selain penanganan secara medis yang bergantung pada ketersediaan obat dan darah, pengobatan nonmedis pun Tatang coba. Pernah ia membawa anaknya ‘berobat’ ke Sumedang dan tinggal di sana selama satu pekan.

Meski kondisi anaknya sempat membaik, Tatang dan Hasanah harus menerima kenyataan pahit sekitar 15 tahun lalu. Ridwan pergi meninggalkan mereka lebih dulu.

Nestapa keluarga ini seolah tak cukup sampai di situ. Tatang dan sang istri harus kembali merelakan anak kedua mereka dua jam pascakelahirannya pada 2008.

“Kalau anak kedua itu waktu dilahirkan udah ga ada darah sama sekali. Jadi udah talasemia sejak di rahim,” ucap Tatang sembari memperlihatkan foto anak-anaknya.

Sempat Frustrasi dan Hampir Berpisah

Berbagai cobaan yang harus dihadapi dalam melawan talasemia membuat Tatang sempat frustrasi. Kepergian dua anak memicu keputusannya untuk keluar dari pekerjaannya sebagai buruh pabrik dan memilih bekerja di luar kota. Bali, Samosir, hingga Aceh menjadi tempat ‘pelarian’-nya sejak 2008 hingga 2015.

“Di tahun 2012 juga, setelah adanya Zidan (anak ketiganya), saya tak sempat memperhatikan. Ada proyek di luar kota, sehingga (saya) pulang ke Majalaya tiga bulan sekali,” kata Tatang.

Hasanah menambahkan, dia dan sang suami sempat akan berpisah karena masalah talasemia yang mereka hadapi. Pengorbanan harta, tenaga, dan perasaan menjadi faktor mengapa pernikahannya dengan sang suami kala itu di ujung tanduk.

“Orangtua penyintas itu bagi saya mah orang-orang hebat. Banyak yang harus berpisah karena ga sanggup lagi (hidup) sama anaknya yang penyintas,” ujar Hasanah.

Tatang mengaku sangat bersyukur memiliki Hasanah, teman satu sekolahnya dulu. Tidak hanya berhasil mempertahankan bahtera pernikahan dari karam, mereka sanggup membesarkan dua anak yang

Zidan, yang kini berusia 11 tahun, tumbuh sebagai penyintas talasemia, dengan menggenggam kuat cita-cita menjadi seorang ustad. Tiga tahun lalu, dia memiliki seorang adik perempuan.

“Mau talasemia atau tidak, itu tetap anak saya,” tutur Hasanah. “Meski sempat dilarang melahirkan sama dokter karena takut kembali melahirkan penyintas, saya tetap yakin bisa merawat anak saya.”

Beruntung, si bungsu dinyatakan negatif talasemia.

Obat yang harus dikonsumsi secara reguler oleh Dewi Siti Saidah (20) untuk bisa bertahan hidup bersama talasemia, selain rutin menerima tranfusi darah. Di sebelahnya, lukisan hasil kegemarannya menggambar. (Foto: Luqy Lukman Anugrah/BandungBergerak.id)
Obat yang harus dikonsumsi secara reguler oleh Dewi Siti Saidah (20) untuk bisa bertahan hidup bersama talasemia, selain rutin menerima tranfusi darah. Di sebelahnya, lukisan hasil kegemarannya menggambar. (Foto: Luqy Lukman Anugrah/BandungBergerak.id)

Dari Efek Samping Obat hingga Diskriminasi

Kesaksian menjalani takdir hidup dengan talasemia datang dari Dewi Siti Saidah (20). Di tahun keduanya di Sekolah Menengah Atas (SMA) tiga tahun lalu, setelah sebelumnya sempat dirawat selama dua bulan di RSUD Majalaya, lalu hampir selama dua minggu di RSHS Bandung, dia divonis menderita talasemia mayor. Sekuat tenaga Dewi ingin menuntaskan sekolahnya, tapi tubuhnya berkata lain.

“Setelah divonis (talasemia), saya masih coba sekolah dulu. Pas ujian mau naik kelas 3, saya drop sampai (dalam) seminggu mimisan sehari empat kali, kolaps. Dari situ (saya) berpikir, entah mungkin karena kegiatan sehari-hari tidak terkontrol. Makanya dari situ saya putus sekolah,” ungkap Dewi, Kamis, (7/7/2022).

Demi keselamatan hidup, selain bergantung pada tlanfusi darah, seorang penyintas talasemia juga tidak lepas dari konsumsi obat. Efek samping dari konsumsi obat secara terus-menerus tidaklah menyenangkan. Dewi, misalnya, harus merelakan rambut panjangnya habis akibat rontok.

“Kalau yang lain efeknya kena kulit jadi kering, saya malah kena rambut. Kan rambut saya ini dari SMP sampai sekarang ga pernah dipotong. Semenjak minum obat itu, habis rambutnya,” katanya.

Pun Dewi kini terpaksa lebih selektif dalam hal makanan. Hampir segala jenis makanan yang mengandung zat besi harus dia hindari, terutama bayam, telur, dan susu.Berbanding terbalik dengan penderita anemia, jenis makanan dengan zat besi ini dapat berdampak buruk ketika dikonsumsi secara berlebihan oleh penyintas talasemia.  

Dewi tinggal bersama keluarganya di rumah seluas 5x3 meter persegi di Desa Panyadap, Kecamatan Solokanjeruk, Kabupaten Bandung, dengan beberapa foto keluarga juga piagam menghiasi dindingnya. Beberapa boneka tersimpan rapi di lemari kaca cukup besar.

Menjalani keseharian sebagai penyintas talasemia, tak jarang Dewi memperoleh tindakan diskriminatif. Sebagian besar orang, terutama akibat ketidaktahuan mereka, belum bisa memahami dan menerima kondisi seorang penyintas seperti dirinya.

Namun toh semua keterbatasan sebagai penyintas talasemia tidak lantas membuat Dewi hilang harapan. Cita-cita tetap dia gantung tinggi-tinggi. Memiliki hobi melukis, saat ini Dewi menjalani rutinias sebagai pengajar keagamaan di Diniyah Takmiliyah Awaliyah (DTA) tak jauh dari rumahnya.

“Saya yakin, ke depannya impian saya mengangkat derajat ayah ibu, walaupun sekarang-sekarang saya hanya bisa membebani mereka,” tuturnya.

Baca Juga: Perjalanan Panjang untuk Bertahan
Tak Ada Air Bersih di Ciwalengke
Menengok Potret Pekerja Anak di Pabrik-pabrik Tekstil Majalaya

Bisa Meremukkan Semangat Hidup, tapi Selalu Ada Harapan

Talasemia, mengutip informasi di laman Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, merupakan “penyakit kelainan darah merah yang diturunkan dari kedua orangtua kepada anak dan keturunannya”. Penyebabnya, berkurangnya atau tidak terbentuknya protein pembentuk hemoglobin utama manusia.

Berdasarkan manifestasi klinisnya, talasemia terbagi menjadi talasemia mayor, talasemia intermedia, dan talasemia minor atau pembawa sifat (carrier). Penyakit ini belum ditemukan penyembuhnya. Pasien dengan talasemia mayor, seperti Dewi, harus menjalani transfusi darah rutin, biasanya empat pekan sekali, di sepanjang hidupnya.

Bukan hanya membuat ringkih tubuh secara medis, talasemia berikut proses perawatannya yang seolah tanpa ujung juga menggerogoti ketahanan seseorang secara sosial. Ketergantungan pada transfusi darah dan konsumsi obat mengganggu produktivitas penyintas dalam belajar, bersekolah, atau bekerja. Dalam jangka panjang, ia bisa meremukkan semangat hidup.

“Sejauh ini pengobatan yang mendekati kesembuhan itu melalui operasi sumsum tulang. Itu pun membutuhkan biaya yang cukup mahal,” tutur dokter spesialis anak Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Susi Susanah, ditemui Jumat (22/7/2022).

Talasemia merupakan satu dari lima besar penyakit dengan biaya pengobatan termahal yang ditanggung BPJS Kesehatan. Satu orang penyintas dapat menghabiskan biaya 300-400 juta rupiah per tahunnya. Yang bisa disyukuri adalah kemajuan ilmu kedokteran yang sanggup mengerek naik harapan hidup setiap pasien talasemia.

“Dulu, sebelum teknologi maju seperti sekarang, pasien (talasemia) itu hampir jarang mencapai usia balita,”tutur Susi. “Sekarang sudah banyak (umur pasien) yang lebih dari 30 bahkan 40 tahun.”

Mendamba Unit Tranfusi Darah di Kawasan Timur

Jumlah pasien talasemia di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2011, berdasarkan laporan Yayasan Talasemia Indonesia – Perhimpunan Orangtua Penderita Talasemia (YTI-POPTI), tercatat sebanyak 5.501 pasien dengan 35 persen di antaranya berasal dari Jawa Barat. Pada 2021, atau sepuluh tahun berselang, jumlah penyintas talasemia menjadi dua kali lipat, yakni 10.555 orag dengan 40 persen di antaranya berasal dari Jawa Barat.

Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah penyumbang kasus talasemia terbanyak di Jawa Barat. Di kabupaten di selatan Kota Bandung ini, kawasan timurnya merupakan kantong penyintas talasemia. Jumlahnya ditaksir mencapai ribuan orang.

Kebutuhan darah menjadi isu serius. Pada 2012, ketika terbit kebijakan memindahkan penanganan pasien talasemia dari RSHS Bandung ke rumah sakit di daerah masing-masing, para orangtua penderita talasemia di kawasan timur Kabupaten Bandung membentuk Paguyuban Donor Darah Majalaya (PDDM). Memastikan kecukupan stok darah yang dibutuhkan pasien talasemia, lewat donor darah rutin, menjadi tujuan utama komunitas ini, selain menyosialisasikan penyakit ini ke masyarakat.

“Kegiatan ini memang gotong-royong kemanusian. Tidak pernah dirupiahkan sepeser pun, tetapi dengan tergerak sendirinya. Banyak yang suka nyumbang, seperti bubur kacang dan bingkisan. Kami mengetuk hati setiap orang untuk bisa berkontribusi,“ kata Hendi, salah seorang pegiat di PDDM.

Sejak awal pembentukannya, PDDM secara konsisten menyuarakan pentingnya pendirian Unit Transfusi Darah (UTD) di kawasan timur Kabupaten Bandung. Dengan jumlah penyintas talasemia yang relatif banyak, kehadiran UTD amatlah vital untuk menjamin proses transfusi darah tidak akan terhambat oleh faktor jarak.

Saat ini tercatat ada 229 orang pasien talasemia di kawasan timur Kabupaten Bandung yang penanganannya terbagi menjadi 104 orang di RSUD Majalaya dan 135 orang di RS Al-Ihsan, Baleendah. Selain bersumber inisiatif warga yang tergabung dalam PDDM, stok darah di rumah sakit juga dipasok oleh Bank Donor Darah Rumah Sakit dari Unit Transfusi Darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Bandung. Setiap bulannya, PMI Kabupaten Bandung memasok sekitar 700-800 labu daerah ke dua rumah sakit tersebut. Masing-masing 200-300 labu darah ke RS Majalaya dan 500 labu darah ke RS Al-Ihsan.

Kepala UTD PMI Kabupaten Bandung, Hendra, menyebut bahwa selama ini belum ada kekurangan stok darah, terutama untuk talasemia. Permintaan dari rumah sakit selalu bisa dipenuhi. Di masa pandemi Covid-19, sebagian keluarga pasien memilih membawa pendonor pengganti.

“Selama ini enggak ada kekurangan (stok) darah, selalu terpenuhi. Bahkan kota lain ada yang membutuhkan, kami bisa drop juga,” ungkap Hendra, ditemui di ruang kerjanya di kompleks Kopo Permai, Selasa (9/8/2022).

Menanggapi desakan pembentukan UTD di kawasan Majalaya oleh komunitas warga, Hendra justru mengkhawatirkan potensi tumpang-tindih kewenangan yang akan menghambat layanan.  Kecuali, UTD tersebut memang khusus milik rumah sakit. Artinya, sejak penerimaan donor, pengolahan darah, dan penggunaannya dilakukan khusus dari dan untuk rumah sakit tersebut. 

Suasana taman bermain untuk anak-anak di Kelompok Belajar (Kober) Al-Ishlah Desa Panyadap, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Kamis (21/7/2022). Kawasan timur Kabupaten Bandung menjadi kantong penyintas talasemia. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Suasana taman bermain untuk anak-anak di Kelompok Belajar (Kober) Al-Ishlah Desa Panyadap, Kecamatan Solokan Jeruk, Kabupaten Bandung, Kamis (21/7/2022). Kawasan timur Kabupaten Bandung menjadi kantong penyintas talasemia. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Menumpang di Ruangan Anak, Deteksi Dini Terbatas untuk Ibu-ibu Hamil

Di RSUD Majalaya, dari total 104 orang penyintas talasemia yang sedang memperoleh perawatan, hanya 17 orang di antaranya merupakan penyintas dewasa, dengan usia tertua 45 tahun. Selebihnya, para penyintas merupakan anak-anak, dengan usia termuda enam tahun. 

Belum lama ini, ditemukan empat sampai lima orang anak yang didiagnosa mengalami talasemia. Awalnya mereka dirawat di Ruang Anak Alamanda, ruang khusus anak di RSUD Majalaya. Setelah transfusi darah dua kali, keluarga baru menyadari bahwa anak mereka membutuhkan perawatan khusus. 

Kepala Ruangan Talasemia RSUD Majalaya, Isye Chrisyandi menyatakan, masih tidak sedikit masyarakat yang belum mengetahui tentang talasemia. Misalnya orang tua baru sadar bahwa anaknya harus mendapatkan perawatan khusus setelah ditansfusi darah sebanyak dua kali, atau ketika melakukan skrining, hanya anaknya saja yang dicek. Penyebab lain lonjakan angka talasemia di kawasan Majalaya adalah praktik pernikahan dengan kerabat dekat.

Menurut Isye, ada rencana untuk menambah fasilitas dan sumber daya layanan talasemia di RSUD Majalaya. Pihaknya juga mewacanakan kerja sama dengan taman baca untuk menggulirkan kegiatan dan menghibur anak penyintas talasemia.

“Meski harus menjalani perawatan rutin dan intensif, anak penyintas talasemia juga dapat mengejar cita-citanya, tetap melanjutkan sekolah, dan beraktivitas layaknya anak-anak pada umumnya,” tutur Isye, ditemui Senin (8/8/2022). 

Sampai saat ini penanganan pasien talasemia di RSUD masih dilakukan dengan menumpang Ruang Anak Alamanda. Bagaimana pun, ada keterbatasan di sana. Humas RSUD Majalaya Yaya Mardiah, menyebut, pihak RSUD sudah memiliki rencana jangka panjang untuk membangun ruangan khusus untuk pasien talasemia, terpisah dari ruang anak. 

“Dengan memiliki ruangan khusus, pelayanan bagi penyintas talasemia dapat dilakukan lebih optimal,” harapnya.

Dalam penanganan talasemia, sosialisasi dan deteksi dini menjadi kunci. Di kawasan timur Kabupaten Bandung yang menjadi kantong penyintas, Puskesmas Majalaya ada di garda terdepan untuk kerja semacam itu. Sayangnya, yang sudah dikerjakan masih terbatas pada pemeriksaan ibu-ibu hamil lewat program pemeriksaan yang dilakukan sekaligus untuk pengecekan Hepatitis B, sifilis, dan HIV.

Eva Hanifah, petugas pelayanan kesehatan Puskesmas Majalaya, ditemui Rabu (10/8/2022), menyadari pentingnya sosialisasi dan deteksi dini talasemia menyasar warga secara lebih luas. Mulai dari para pelajar hingga wanita muda sebelum menikah.

“Ke anak-anak sekolah juga seharusnya (sosialisasi dan screening), biar terdeteksi sejak dini. Jadi nanti kalau misalnya ketahuan sejak dini, nanti kan ada konselingnya juga,” ujarnya.

*Reportase ini dikerjakan oleh Luqy Lukman Anugrah, dengan sokongan konfirmasi oleh reporter BandungBergerak.id, Awla Rajul

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//