RISET UNPAR: Dalam Kontroversi Tarif Ojek Daring, Penciptaan Lingkungan Kerja yang Positif Jadi Kunci
Penetapan tarif ojek daring berulang kali memicu kontroversi. Penciptaan lingkungan kerja yang positif bagi pengemudi menjadi kunci pengelolaan ekosistem.
Penulis Tim Penulis BandungBergerak.id19 Agustus 2022
Riset BandungBergerak.id - Penetapan tarif ojek daring atau ojek online (ojol) sudah lama menjadi kontroversi. Tidak jarang, hubungan kemitraan yang memanas antara aplikator dan pengemudi memicu unjuk rasa jalanan dalam jumlah massa tidak sedikit.
Yang terkini, di awal tahun 2022, ribuan pengemudi ojek daring menggelar aksi di sejumlah kota besar di Indonesia memprotes tindakan salah satu aplikator yang menurunkan tarif batas bawah untuk penggunaan jasa dalam jarak dekat. Sebagian berunjuk rasa, yang lain memilih mogok kerja.
Kolaborasi penelitian yang dilakukan oleh Tri Basuki Joewono dari Jurusan Teknik Sipil Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Muhamad Rizki dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung, dan Jeanly Syahputri dari School of Transportation Sciences di Hasselt University yang termuat dalam jurnal Sustainability tahun 2021 terbitan MDPI (Multidisciplinary Digital Publishing Institute) yang berbasis di Basel, Swiss, bisa menjadi penerang kontroversi ini. Penelitian ketiganya membantu memetakan pangkal persoalan kisruh yang dipicu keputusan salah satu operator mengubah tarif.
Penelitian berjudul “Does Job Satisfaction Influence the Productivity of Ride-Sourcing Drivers? A Hierarchical Structural Equation Modelling Approach for the Case of Bandung City Ride-Sourcing Drivers” ini, misalnya, menemukan pentingnya regulasi yang menjamin lingkungan kerja bagi pengemudi. Diketahui, industri ride-hailing memposisikan pengemudi sebagai karyawan kontrak, bahkan pekerja lepas. Bukan sebagai pekerja tetap. Status ini memicu kekhawatiran atas jaminan kelangsungan pekerjaan para pengemudi. Imbasnya bisa terlihat dalam cara pengemudi itu berkendara di jalanan, yang tidak jarang tanpa sadar memacu kendaraannya dengan kecepatan terlalu tinggi.
“Dalam situasi tersebut, regulasi akhirnya akan bermanfaat untuk menjamin hak-hak pengemudi, yang ujungnya meningkatkan kesejahteraan dan kepuasannya dalam bekerja. Regulasi juga akan melindungi dan meningkatkan daya tawar pengemudi, juga penumpang dalam ekosistem pasar tanpa kontrol harga,” tulis Tri Basuki Joewono dkk., yang memotret situasi Kota Bandung pada tahun 2019.
Dilema Hubungan Kemitraan
Transportasi daring adalah wajah yang merepresentasikan “gig economy” yang saat ini menjadi tren dunia. BBC dalam satu artikelnya mendefinisikannya sebagai pasar tenaga kerja yang berciri kontrak jangka pendek atau pekerja lepas sebagai lawan dari pekerjaan permanen, merepresentasikan lingkungan bekerja yang fleksibel. Sebagian berpendapat sebagai eksploitasi pekerja. Berawal dari kemunculan Uber sebagai pionir ride-hailing asal Amerika Serikat di tahun 2009 yang merambah dunia, inovasi serupa dengan cepat mampir ke Indonesia.
Tahun 2015 menjadi titik balik, setelah diperkenalkannya layanan ojek menggunakan aplikasi di telepon pintar dengan nama Go-Jek. Tak butuh waktu lama untuk ‘menghijaukan’ Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia.
Kelahiran Go-Jek diikuti oleh sejumlah aplikator dengan layanan dan model bisnis yang setali tiga uang. Persaingan pun kian ketat, terutama soal tarif. Ditambah lagi munculnya persaingan dengan ojek tradisional yang sering disebut sebagai opang, akronim dari ojek pangkalan.
Menghindarkan saling sikut soal tarif, pemerintah, lewat Kementrian Perhubungan, sedikitnya telah menerbitkan tiga beleid untuk mengatur bisnis ride-hailing di Indonesia, yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat, serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 564 Tahun 2022 Tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat yang Dilakukan dengan Aplikasi pada tanggal 4 Agustus 2022. Aturan terbaru ini menggantikan aturan sebelumnya, yakni KM Nomor KP 348 Tahun 2019.
Kehadiran regulasi tersebut diharapkan cukup untuk mengatur ekosistem ojek daring di Indonesia. Faktanya, masih tersisa berbagai persoalan di lapangan. Langkah operator yang mengotak-atik tarif dengan beragam skenario, seringkali berujung perlawanan pengemudi. Pengaturan lebih lanjut yang lebih komprehensif menjadi pekerjaan rumah selanjutnya.
Baca Juga: Pengembangan Transportasi Publik di Bandung Membutuhkan Konsistensi
BANDUNG HARI INI: Perjalanan Panjang Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung dari Hanya Satu Ruang Kuliah
Kepuasan Kerja Pengemudi
Tri Basuki Joewono dan kawan-kawan melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara kepuasan kerja pengemudi ride-hailing dengan produktivitasnya. Sebagian besar penelitian serupa mengambil perspektif pengemudi yang mempraktikkan model transportasi ini di negara-negara maju. Sangat jarang yang melakukan penelitian serupa dengan perspektif pengemudi di negara-negara berkembang.
“Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepuasan kerja pengemudi pada produktivitas, dan hubungan antara kepuasan kerja dengan produktivitas mereka,” tulis Tri Basuki Joewono dkk.
Penelitian tersebut mengambil asumsi bahwa frekuensi perjalanan yang dilakukan pengemudi bisa menjadi indikator tingkat kepuasannya dalam bekerja. Semakin tinggi frekuensi aktivitas pengemudi mengantar penumpang seharusnya semakin puas dan semakin nyaman juga si pengemudi atas pekerjaannya. Namun temuan penelitian mengungkap kondisi nyatanya tidak sesederhana itu.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja pengemudi ride-hailing. Aktivitas yang dilakukan pengemudi saat memenuhi pesanan (order) penumpang yang lebih banyak menjadi faktor penentu tingkat kepuasan.
Penelitian Joewono dkk. dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada para pengemudi yang menjadi mitra ride-hailing yang beroperasi di Bandung. Total terdapat 500 orang pengemudi yang terlibat.
Ada empat bagian pertanyaan dalam kuesioner. Bagian pertama berisi pertanyaan seputar karakteristik sosio-demografis pengemudi. Bagian kedua terkait dengan perilaku perjalanan mereka. Bagian ketiga mengidentifikasi sikap mereka terhadap perilaku perjalanan yang dilakukan masing-masing. Di bagian terakhir, para pengemudi ditanyai tentang sikap mereka terhadap perilaku kerja sehubungan dengan dampak negatifnya terhadap, antara lain kesehatan dan pemenuhan kebutuhan finansial.
Joewono dkk. menggunakan metode persamaan model hierarki struktural (SEM) untuk melakukan analisis. Model ini menyelidiki interaksi antara karakteristik kerja dan sikap pengemudi. Dua hipotesis dibangun. Pertama, kepuasan kerja dipengaruhi karakteristik pribadi dan pekerjaan, sikap terhadap perilaku kerja pribadi, dan sikap terhadap keuntungan serta kerugian bekerja sebagai pengendara ride-hailing. Kedua, frekuensi perjalanan harian pengemudi dijelaskan oleh kepuasan bekerja, karakteristik personal dan bekerja, sikap terhadap perilaku kerja pribadi, dan sikap terhadap keuntungan serta kerugian bekerja sebagai pengendara ride-hailing.
Beberapa Temuan
Studi ini menemukan bahwa mayoritas responden menjadikan pekerjaan mengemudi ride-hailing yang mereka lakoni sebagai sumber pendapatan satu-satunya (72 persen), sebagian besar responden statusnya sudah berkeluarga (67 persen), serta penghasilan yang dibukukan rata-rata antara 1-6 juta rupiah per bulan (81 persen).
Salah satu temuan lainnya adalah sebagian besar pengemudi diketahui membukukan rata-rata 14 perjalanan dalam sehari. Juga diketahui bahwa sekitar 22% pengemudi memilih melayani pesanan (order) penumpang untuk pengantaran jarak pendek (5km). Sekitar setengah responden pengemudi menempuh jarak 5-10 kilometer dalam satu kali perjalanan.
Temuan menarik yang penting dari studi ini adalah pengemudi yang berprestasi tingi cenderung melakukan lebih banyak perjalanan dalam sehari. Pengemudi yang berprestasi, namun yang cenderung lebih berhati-hati dan lebih perhatian pada dirinya serta lebih ketat dalam hal penjadwalan kerja dan kesehatan, cenderung memiliki frekuensi perjalanan yang relatif lebih rendah per harinya.
Studi juga menemukan bahwa, pengemudi yang mengemudi dengan hati-hati dan berupaya menjaga kesehatannya cenderung menghargai pekerjaannya. Sebaliknya, pengemudi yang khawatir dengan risiko kesehatan akibat paparan polusi udara dan kecelakaan justru cenderung kurang menghargai pekerjaannya.
Pengemudi yang menjadikan bekerja sebagai pengemudi ride-hailing sebagai pekerjaan sambilan cenderung kurang puas dengan pekerjaannya. Berbanding terbalik dengan mereka yang menjadikan pekerjaan mengemudi sebagai pekerjaan utamanya yang relatif cenderung merasa lebih puas. Pengemudi yang merupakan pendatang baru dalam pekerjaan ini cenderung kurang puas dengan pekerjaan yang dijalaninya.
Pengemudi yang bekerja dengan jarak perjalanan kurang dari rata-rata panjang perjalanan cenderung lebih menghargai pekerjaannya, sementara yang terbiasa mengambil pesanan perjalanan jauh malah cenderung merasa kurang puas pada pekerjaannya. Juga diketahui, pengemudi ride-hailing berbasis mobil cenderung memiliki frekuensi perjalanan lebih rendah dibandingkan dengan yang berbasis sepeda motor.
Lingkungan Kerja yang Positif
Temuan-temuan dalam penelitian Joewono dan kawan-kawan tersebut menunjukkan adanya banyak faktor yang menentukan produktivitas kerja pengemudi. Produktivitas tersebut ditunjukkan dengan indikator jumlah perjalanan yang selanjutnya tercermin pada point yang dikumpulkannya.
Temuan dalam penelitian ini menguatkan pentingnya lingkungan kerja positif untuk mendorong kinerja pengemudi, yang selanjutnya meningkatkan kepuasan bekerja. Pada akhirnya akan berdampak positif pada aplikator yang menaunginya dan masyarakat pada umumnya. Penjaminan lingkungan kerja yang positif seperti ini tentu saja membutuhkan regulasi yang bisa mengatur persyaratan sebagai pengemudi, hak dan standar kelayakan hidup dan bekerja sebagai pengemudi.
Akhirnya, masuk diakal protes keras yang dilakukan oleh sopir ride-hailing terhadap pengaturan tarif dan suasana kerja yang dilakukan aplikator. Jika permasalahan dibiarkan berlarut, kelangsungan ekosistem angkutan online akan terdampak negatif. Lebih baik mencegah daripada mengobati saat persoalan sudah menjadi lebih rumit.
*Artikel RISET UNPAR terbit sebagai bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Unpar Bandung