Lonjakan Kasus Cerai di Bandung dan Indonesia Kala Pagebluk
Kasus cerai terjadi pada rumah tangga muda dan didorong faktor ekonomi.
Penulis Iman Herdiana25 Mei 2021
BandungBergerak.id - Pengaruh pandemi Covid-19 sungguh luar biasa. Tak hanya di sektor makro kesehatan dan ekonomi, pagebluk juga merongrong jalannya rumah tangga yang berujung pecahnya hubungan suami istri. Perkara perceraian selama pandemi melonjak di lingkup lokal dan nasional.
Potret tingginya perceraian dapat dilihat dari aktivitas di Pengadilan Agama Bandung. Saban hari, pengadilan di kawasan Antapani itu dikunjungi warga yang mengurus beragam perkara, salah satunya gugat cerai.
Perkara gugat cerai selama pandemi Covid-19 menunjukkan angka mencolok. Sepanjang tahun 2020, ada 4.716 gugatan cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Bandung. Angka ini paling tinggi dalam kurun waktu tahun 2017-2020. Perceraian rumah tangga paling banyak dipicu perselisihan dan pertengkaran.
Perceraian Jadi Tren Nasional
Angka perceraian tingkat nasional juga mengalami peningkatan. Mahkamah Agung mencatat, pendaftaran perceraian yang mulanya berjumlah 20 ribu kasus pada periode April dan Mei 2020 melonjak menjadi 57 ribu kasus pada Juni dan Juli 2020, seperti diungkap Urip Tri Wijayanti, dalam penelitian Analisis Faktor Penyebab Perceraian Pada Masa Pandemi Covid-19 Di Kabupaten Banyumas di laman Journal IPB (2021).
Urip Tri Wijayanti menyatakan, bencana dan ketahanan keluarga menjadi hal yang tidak terpisahkan. Banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa bencana berdampak negatif pada keutuhan keluarga. Misalnya, hasil penelitian di Carolina Selatan yang menunjukkan bahwa perkawinan dan kelahiran menurun sementara perceraian meningkat di negara-negara yang terkena dampak badai Hugo (Cohan & Cole, 2002).
Survei di Austria, lanjut Urip, tentang pandemi Covid-19 dan kualitas hubungan pasangan memberikan hasil bahwa individu dengan kualitas hubungan yang baik cenderung memiliki kesehatan mental yang positif dibandingkan individu dengan kualitas hubungan buruk atau tanpa hubungan.
Baca Juga: Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Meningkat di Pekan Kedua setelah Libur Lebaran
Pandemi Covid-19 Bandung Raya: 6 Tempat Wisata di Kota Bandung Ditutup
Hasil penelitian BKKBN dan IPB (2020) mengungkapkan, pada masa pandemi Covid-19 pola hidup keluarga dalam bidang ekonomi, pekerjaan, hingga keturcukupan kebutuhan primer semakin memburuk. Penelitian di Cina juga menunjukkan hasil yang sama, bahwa pada fase awal pandemi Covid-19 lebih dari separuh masyarakat mengalami dampak psikologis berupa stres, kecemasan, dan depresi dari tingkat sedang hingga berat.
"Perubahan ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 tidak mampu diterima oleh semua keluarga. Ada keluarga yang tidak memiliki cukup tabungan untuk menghadapi kondisi darurat. Akhirnya konflik kerap terjadi, masing-masing memiliki keinginan serta gagasan yang ingin diakui dan dilaksanakan, sementara pihak lainnya memiliki harapan yang berbeda. Ego dan pengakuan tinggi kadang sulit dibendung di antara pasangan suami dan istri. Ada yang mampu mengatasi konflik tersebut dengan baik, namun ada juga yang membuat permasalahan tersebut semakin berlarut-larut. Hal menyebabkan ketahanan keluarganya menjadi lemah dan berakhir pada perceraian," papar Urip.
Urip sendiri melakukan penelitiannya di Kabupaten Banyumas yang pada masa pandemi Covid-19 dan menuju new normal tercatat mengalami peningkatan sebesar 48 kasus. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain cross-sectional study. Objek penelitian berupa data kasus perceraian bulan Maret s.d Juni 2020. Jumlah sampel sebanyak 200 responden yang dipilih menggunakan teknik simple random sampling.
Sama seperti di Bandung, tingkat perceraian di Banyumas di kala pagebluk meningkat. Dalam penelitiannya, Urip menemukan secara umum penggugat perceraian berasal dari pihak istri dengan karakteristik usia muda, berpendidikan rendah, tidak bekerja, usia perkawinan kurang dari lima tahun dan baru memiliki satu anak. "Banyak pelaku perceraian berada pada rentang usia yang cukup muda. "Hampir setengah istri dari total jumlah responden berusia 21-30 tahun dan mayoritas suami memiliki rentang usia 31-40 tahun."
Pelaku perceraian usia 31-40 tahun pada istri sebanyak 31 persen, dan suami yang berusia 21-30 tahun sebanyak 34 persen, kelompok usia 41-50 tahun masing-masing 17 persen. Sedangkan kategori usia paling muda, 7 persen istri terkategori berada pada rentang usia kurang dari 21 tahun. Dan tidak ada tidak ada suami yang berada pada rentang usia kurang dari 21tahun.
Hasil penelitian ini menemukan 12 variabel yang menjadi alasan terjadinya perceraian di mana faktor ekonomi menjadi alasan utama istri untuk bercerai dengan suaminya. Hasil ini menguatkan temuan BPS (2019) bahwa ekonomi merupakan faktor terbanyak kedua yang membuat istri memilih berpisah (120.732 kasus) setelah perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus.
Urip membandingkan dengan penelitian di luar negeri, bahwa faktor ekonomi memang memengaruhi hubungan sosial. Penelitian lain menunjukkan kesetaraan pendapatan akan mengurangi risiko perceraian bagi pasangan suami istri. Terkait pandemi Covid-19, banyak suami-suami yang tidak bekerja lagi. Dampaknya, keuangan menjadi tidak stabil bahkan tidak cukup dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehingga banyak istri yang menggugat suaminya karena alasan ekonomi.