• Cerita
  • Bertahan dari Luapan Citarum, Warga Ingin Pemerintah Kurangi Banjir

Bertahan dari Luapan Citarum, Warga Ingin Pemerintah Kurangi Banjir

Dulu, air banjir dari Sungai Citarum masih bersih. Sekarang, air bah berwarna hitam dan penuh sampah.

Warga menuju tempat pengungsian saat Bandung selatan dilanda banjir, Rabu (26/5/2021). Banjir Bandung selatan dipicu luapan Sungai Citarum. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Emi La Palau27 Mei 2021


BandungBergerak.id - Banjir baru saja surut di ruas jalan Andir-Katapang, Rabu (26/5/2021) siang, meninggalkan endapan lumpur basah di permukaan jalan. Beberapa titik ruas jalan menyisakan genangan. Sisa-sisa banjir juga melekat di depan rumah Dede Rohaeni (48), warga Kampung Ciputat, Kelurahan Andir, Baleendah, Kabupaten Bandung.

Hujan yang mengguyur sejak Senin (24/5/2021) malam itu membuat Sungai Citarum meluap dan merendam kawsan Bandung selatan, tak terkecuali kampung  Dede Rohaeni. Lewat dini hari, ketika orang tengal lelap dengan mimpinya, air bah sudah masuk ke dalam rumah Dede. Ketinggian air mencapai 1 meteran atau sedada orang dewasa. Rohaeni baru sadar akan sergapan banjir ketika mendengar tetangganya mulai gaduh bahwa banjir kembali melanda.

Bencana banjir kala musim hujan tak pernah absen di kampung Ciputat. Warga sudah terbiasa dan mau tidak mau harus selalu siap siaga jika sewaktu-waktu banjir datang menerjang rumah mereka. Beberapa rumah malah memiliki perahu kayu yang diparkir di halaman. Begitu juga dengan rumah Rohaeni yang dilengkapi perahu karet.

“Memang (perahu) disediaan buat banjir, buat angkutan barang warga, saling bantu,” terang Rohaeni ketika berbincang dengan Bandungbergerak.id.

“Banjir telah ada sejak dulu,” Rohaeni menggali ingatannya. Sejak masih kecil ia sudah mengalami banjir. Namun beda bencana banjir dulu dan sekarang. Dulu, banjir hanya datang sesekali, ketinggiannya hanya sampai di lutut orang dewasa. Air yang meluap dari Sungai Citarum pun masih bersih.

Tahun 1970-an, warga menggunakan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari: mencuci pakaian dan perabotan rumah, kebutuhan makan dan minum, dan lain-lain; anak-anak bebas bermain air tanpa takut limbah atau kuman penyakit. Masa-masa Citarum yang bersih itu kini hanya tersimpan di memori Rohaeni dan generasi 70-an.

Sekarang, banjir melanda hampir setiap hujan turun dengan ketinggian semakin parah dalam durasi lama; baru surut setelah beberapa hari. Airnya berwarna hitam, bau, dan penuh sampah rumah tangga maupun industri. “Sudah banyak pabrik, jadi kotor. Baunya sekarang tak sedap, air meluap hitam karena limbah,” terangnya.

Meski demikian, Rohaeni sedikit bernapas lega karena banjir kali ini datang tidak di saat bulan Ramadan atau lebaran. Ia juga bersyukur lama banjir tidak berlangsung berhari-hari.

Rumah Rohaeni hanya beberapa meter saja dari Sungai Citarum. Di depan rumahnya saat ini sedang ada proyek pembangunan kolam retensi senilai Rp 141 miliar yang dijalankan Kementrian PUPR. Proyek ini amanat Presiden Joko Widodo dalam Perpres No 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Kolam retensi ditargetkan beres Desember 2021.

Tak banyak yang bisa dilakukan Rohaeni jika banjir melanda, kecuali mengamankan keluarga dan barang-barang penting ke lantai dua. Dulu, sebelum rumahnya direnovasi menjadi lantai dua, ia dan keluarga selalu mengungsi saat banjir.

Banyak tetangga yang meninggalkan rumah dan pindah ke tempat lain. Rohaeni memilih bertahan. Ia hanya punya satu rumah yang ditinggali saat ini, rumah peninggalan dari orang tuanya. Sempat terpikir ingin menjual rumah dan pindah ke tempat lain yang tak tersentuh banjir. Namun menjual rumah di kawasan banjir tidak mudah.

Bertahan dengan Warung

Rohaeni dan suami, Kadar (59), menjalankan usaha kecil-kecilan. Mereka membuka kios yang menyediakan sembako, mie instan, air mineral, dan jajanan anak-anak. Menurut Rohaeni, suaminya 10 tahun lalu bekerja di pabrik tekstil, namun terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Suaminya kemudian membantunya berjualan. Dari usaha inilah mereka bertahan hidup, dan membesarkan satu orang anaknya yang saat ini kelas 2 SMK.

Banjir yang melanda tentunya berdampak pada usaha mereka. Pernah tahun 2005, banjir menghancurkan dagangan mereka. “Mau tidak mau kami mulai dari awal lagi,” ucapnya. Satu harapan kecil ia sampaikan, agar pemerintah bisa memperhatikan nasib warga yang kerap mengalami banjir. Ia berharap banjir bisa diminimalisir. “Paling tidak, dikurangi banjirnya.”

Dede Rohaeni (48), warga Kampung Ciputat, Kelurahan Andir, Baleendah, Kabupaten Bandung, yang bertahan di kawasan banjir Bandung selatan, Rabu (26/5/2021). (Foto: Emil La Palau)
Dede Rohaeni (48), warga Kampung Ciputat, Kelurahan Andir, Baleendah, Kabupaten Bandung, yang bertahan di kawasan banjir Bandung selatan, Rabu (26/5/2021). (Foto: Emil La Palau)

Baca Juga: Setelah Dana Triliunan Rupiah, setelah Tiga Tahun Citarum Harum, Kenapa Banjir Bandung Selatan Masih Terus Terjadi?
Lebih dari 50 Ribu Warga Bandung Selatan Terdampak Banjir

Empat Kali Banjir Tahun Ini

Kampung Ciputat, RW 13 Kelurahan Andir menjadi salah satu daerah di Bandung selatan yang paling rawan banjir. Kampung ini diapit dua sungai, Sungai Citarum dan Sungai Cisangkuy. Kawasan Ciputat paling pertama kebanjiran dan paling terakhir surut pada banjir yang dimulai Senin dini hari itu.

Kampung Ciputat dihuni 400 kepala keluarga. Tahun ini, Kampung Ciputat telah empat kali dilanda banjir. “Semua warga terdampak,” ungkap Asep Gunawan, selaku ketua RW 13. “Kalau ada luapan (sungai), kalau hanya sehari dua hari warga tidak mengungsi, kalau sudah seminggu pada mengungsi.”

Tak sedikit warga yang tak bisa mengungsi. Salah satunya, Aisyah (55). Dulu, ketika banjir, ia sering mengungsi dengan cara ngongtrak rumah. Namun, semenjak suaminya tak lagi bekerja, terhitung sudah 3 tahun ia tak lagi bisa mengontrak kala banjir datang. Suaminya yang sempat bekerja di tempat pengepulan rongsokan, kini terkena stroke, kaki kiri dan lengan kirinya tak berfungsi normal.

Aisyah tak memiliki lahan lain untuk pindah rumah. Untuk bertahan hidup, ia kini bergantung pada bantuan salah seorang anaknya yang telah berkeluarga. “Tidak ada tanah lagi di tempat lain, uang gak punya, jadi tetap bertahan,” ujar Aisyah yang rumahnya berada di dalam gang, tak jauh dari proyek kolam retensi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//