• Cerita
  • Setelah Dana Triliunan Rupiah, setelah Tiga Tahun Citarum Harum, Kenapa Banjir Bandung Selatan Masih Terus Terjadi?

Setelah Dana Triliunan Rupiah, setelah Tiga Tahun Citarum Harum, Kenapa Banjir Bandung Selatan Masih Terus Terjadi?

Akibat banjir Bandung selatan, yang sudah jadi semacam rutinitas, puluhan ribu orang terdampak. Sebagian harus mengungsi, yang kian berisiko di tengah pandemi.

Warga di Baleendah, Kabupaten Bandung, berusaha menyelamatkan barang berharga milik mereka di tengah kepungan banjir yang merendam permukiman selama berjam-jam, Selasa (25/5/2021). (Foto: Prima Mulia)

Penulis Tri Joko Her Riadi26 Mei 2021


BandungBergerak.id - Banjir Bandung selatan, yang berlangsung sepanjang Selasa (25/5/2021), merendam ribuan rumah dan fasilitas publik di lima kecamatan di sepanjang aliran Sungai Citarum di Kabupaten Bandung. Tidak kurang dari 50 jiwa penduduk terdampak, meski hanya puluhan orang di antarannya yang dipaksa mengungsi.

Dalam catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bandun, selain rumah, banjir juga merendam sedikitnya 18 sekolah dan lebih dari 28 tempat ibadah. Genangan air membuat akses lima ruas jalan utama putus selama berjam-jam.

Banjir Bandung selatan dalam skala besar seperti ini bukan yang pertama kali. Data menunjukkan bencana terus berulang setiap kali hujan dengan intensitas tinggi mengguyur Cekungan Bandung. Pada 25 Maret 2021 lalu, misalnya, Sungai Citarum juga meluap dan merendam ribuan rumah di lima kecamatan.

Rekaman tentang banjir Bandung selatan kita temui di tahun-tahun sebelumnya. Baik sebelum maupun setelah program raksasa Citarum Harum digulirkan pada 2018 lalu.  

Setelah dana triliunan rupiah digelontorkan lewat berbagai macam proyek, setelah tiga tahun Citarum Harum, bahkan setelah terowongan Nanjung tuntas dibangun, banjir Bandung selatan masih terus saja terjadi. Ribuan orang di Kabupaten Bandung masih harus was-was, atau bahkan siap-siap terusir dari rumah, setiap kali hujan deras mengguyur Cekungan Bandung.

“Jangan salahkan hujan. Artinya, Citarum Harum belum efektif menuntaskan masalah-masalah besar di Citarum, termasuk banjir. Pembangunan kolam retensi di Cieunteung belum teruji. Sodetan-sodetan di sepanjang Majalaya hingga Dayeuhkolot belum teruji. Terowongan Nanjung juga belum teruji,” kata Manajer Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat Wahyu Widianto kepada BandungBergerak, Selasa (26/5/2021) malam.

Penerapan di Lapangan

Walhi Jabar sejak awal bersuara keras terhadap Citarum Harum. Dalam evaluasi capaian satu tahun program strategis nasional ini, sebelum pandemi Covid-19, mereka memaparkan beberapa temuan masalah di lapangan. Mulai dari penanganan kawasan hulu hingga penutupan saluran limbah pabrik-pabrik ke sungai.

Dalam pengelolaan hulu, misalnya, Walhi menemukan inkonsistensi kebijakan mengalihkan profesi para petani penggarap. Yang terjadi di lapangan, lahan-lahan di hulu, yang sebelumnya penuh dengan tanaman keras yang bisa menahan laju sedimentasi, tetap saja menjadi ladang sayur.

Dalam penanganan limbah industri sama halnya. Pembuangan air limbah lewat pipa langsung ke sungai masih terus terjadi. Penindakan terlihat semakin kendur.

“Sama seperti proyek-proyek di Citarum sebelumnya, niat Citarum Harum baik dan patut kita apresiasi. Namun penerapan di lapangannya masih banyak yang harus kita kritik,” kata Wahyu.

Baca Juga: Lebih dari 50 Ribu Warga Bandung Selatan Terdampak Banjir
Bandung Kota Rawan Bencana (2): Banjir dan Krisis Air Bersih

Aorta Peradaban

Aliran Sungai Citarum membentang sepanjang 297 kilometer, melintasi 13 kabupaten kota, mulai dari Situ Cisanti, Kabupaten Bandung hingga Muara Gembong, Kabupaten Bekasi. Luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum mencakup hampir 20 persen dari total luas Provinsi Jawa Barat. Tidak kurang dari 25 juta orang terdampak oleh kehadiran sungai ini.

T. Bachtiar, pegiat Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB), dalam bukunya Bandung Purba (2004), menjuluki Citarum sebagai “aorta peradaban”. Ia telah mewarnai dinamika dan perjalanan hidup puluhan juta manusia. Ada sekian banyak berkah yang ditangguk dari keberadaan sungai ini.

Sayangnya, di puluhan tahun terakhir, semakin banyak permasalahan mendera Sungai Citarum. Mulai dari gelontoran ratusan ton limbah pabrik tekstil hingga laju tak terkendali alih fungsi lahan di kawasan hulu. Bachtiar mengutip data tentang 23 hektare lahan di DAS hulu Citarum yang sudah berubah menjadi lahan kritis akibat pola pertanian masyarakat dan ketidakjelasan aturan.

“Akibatnya volume sungai dan danau menjadi berkurang untuk menampung air hujan sehingga jangan heran bila sungai banyak yang meluap ketika musim penghujan tiba,” tulisnya.

Bachtiar adalah satu pengkritik pendekatan proyek fisik besar untuk menuntaskan masalah Citarum. Ia, misalnya, secara terbuka menyampaikan pendapatnya tentang risiko pembangunan Terowongan Nanjung di Curug Jompong.

“Permasalahan Citarum dan permasalahan lingkungan yang lebih luas di Cekungan Bandung makin lama akan semakin parah. Ketidakwajaran dalam pengelolaan lingkungan kini dianggap sebagai kewajaran,” tulisnya.

Sebagian warga terdampak banjir Bandung Selatan, Selasa (25/5/2021) harus mengungsi sementara. Kondisi makin sulit karena bencana berlangsung masih di tengah pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia)
Sebagian warga terdampak banjir Bandung Selatan, Selasa (25/5/2021) harus mengungsi sementara. Kondisi makin sulit karena bencana berlangsung masih di tengah pandemi Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Dari Proyek ke Proyek

Sebelum Citarum Harum, pemerintah sudah menggulirkan beberapa program rehabilitasi Citarum yang tentu berarti pula gelontoran duit rakyat dalam jumlah tidak sedikit. Provinsi Jawa Barat pada periode 2000-2003 pernah menggulirkan program Citarum Bergetar. Bergetar merupakan akronim dari bersih, geulis (cantik dalam Bahasa Sunda), dan lestari.

Pada 2013, lagi-lagi Pemprov Jabar menggagas program penanganan Sungai Citarum. Kali ini dinamai Citarum Bestari. Bestari akronim dari bersih, sehat, indah, dan lestari. Dana senilai Rp 80 miliar disiapkan. Di tengah program inilah mencuat ucapan yang menjadi perbincangan publik secara luas, meski kebanyakan bernada nyinyir: “Air Sungai Citarum bisa diminum langsung”.

Program strategis nasional Citarum Harum digulirkan sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2018 tentang Percepatan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Daerah Aliran Sungai Citarum. Target-target program dicanangkan bisa dicapai dalam tujuh tahun.

Lewat halaman Citarum Harum di situs resmi Pemprov Jabar, kita bisa mengetahui beberapa informasi dasar tentang program ini. Termasuk 13 rencana aksi yang mencakup beragam segi revitalisasi sungai, mulai dari penanganan lahan kritis hingga pariwisata. Kita juga bisa menemukan klaim perbaikan indeks kualitas air cemar berat pada 2018 menjadi cemar ringan pada 2020.

Pada 29 Januari 2020, Presiden Jokowi meresmikan Terowongan Nanjung, infrastruktur yang digadang-gadang berfungsi efektif sebagai pengendali banjir Bandung selatan. Dalam situs resmi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) diklaim, kehadiran terowongan akan membebaskan 14 ribu kepala keluarga dari banjir karena mampu mengurangi total luas genangan 3.461 hektare menjadi 2.761 hektare. Selain itu, keberadaan terowongan juga meningkatkan kapasitas Sungai Citarum dari 570 m3/detik menjadi 669 m3/detik. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//