Tolak Wacana Sekolah Kena Pajak
Ujungnya, PPN pada sekolah akan menjadi beban masyarakat.
Penulis Bani Hakiki11 Juni 2021
BandungBergerak.id - Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) tegas menolak rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada jasa pendidikan, yakni sekolah, seperti terdapat pada draft Rancangan Undang-undang Perubahan Kelima Atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang baru-baru ini bocor ke tangan masyarakat.
Ketua FAGI, Iwan Hermawan, menyatakan meski rencana itu baru wacana di dalam draft RUU KUP, namun tetap saja harus disikapi serius oleh pegiat pendidikan. Menurutnya, pengenaan pajak pada jasa pendidikan bertentangan dengan peraturan perundangan yang sudah ada sebelumnya.
Konstitusi, kata Iwan Hermawan, mengamanatkan bahwa pendidikan adalah hak warga negara Indonesia. Amanat konstitusi ini kemudian dijabarkan Undang-undang nomor 20 tahun 2003, dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008, bahwa bahwa Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama dibiayai pemerintah.
Dengan pengenaan pajak pada jasa pendidikan, "Itu kebijakan ngaco menurut saya," tukas Iwan Hermawan, saat dihubungi, Jumat (11/6/2021). "FAGI jelas menolak wacana itu. Jangan sampai RUU KUP menjadi Undang-undang. Kalau dibiarkan, pendidikan akan menjadi lembaga komersil."
Pengenaan pajak pada jasa pendidikan akan membuat biaya pendidikan semakin mahal. Padahal sebelum dikenai pajak pun pihak sekolah sebenarnya sudah membayar pajak, secara tidak langsung. Misalnya, sekolah mendapatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kemudian dana BOS ini dipakai membiayai pengadaan barang. Barang yang dibeli pihak sekolah seluruhnya sudah kena pajak. "Kalau ditambah PPN nantinya pajaknya tambah gede," katanya.
Dengan adanya PPN, pengeluaran atau operasional sekolah akan semakin besar. Salah satu jalan yang mungkin ditempuh sekolah ialah dengan menaikkan SPP. Ujungnya, PPN pada sekolah akan menjadi beban masyarakat. "Jadi orang tua nantinya bayar SPP plus PPN," katanya.
Baca Juga: Keputusan Melanjutkan Sekolah Tatap Muka di Bandung masih Dievaluasi
Sekolah di Tengah Pandemi: Kejenuhan Orang Tua dan Murid Jadi Pertimbangan
Layanan Publik Seharusnya Tidak Kena Pajak
Sejumlah aktivitis dan yayasan pendikan di Bandung saat ini telah mengadakan sejumlah diskusi terkait isu PPN pada jasa pendidikan. Mutara Bunda Group of Schools, salah satu yayasan yang menaungi sejumlah jenjang pendidikan, hati-hati menyikapi isu ini. Mereka mengaku belum memahami betul isu PPN. Mereka masih harus mengaji sebelum mengeluarkan pendapat secara spesifik.
Ben Satriana, pengamat pendidikan dari Yayasan Kalyanamandira mengayakan, isu PPN sekolah ini tentu akan menjadi perhatian serius bagi dunia pendidikan. Namun saat ini mereka masih menanti sambil mempelajari.
“Kemungkinan masih pada menunggu. Cuma memang kalau pendidikan dikenakan pajak, artinya ada pergeseran nilai. Karena layanan publik seharusnya tidak dikenakan pajak,” ujar Ben Satriana.
Rencana pengenaan pajak yang ada di draft RUU KUP tersebut berseberangan dengan aturan resmi yang pernah diatur sebelumnya, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2014, yang menatakan jasa pendidikan masuk ke dalam kriteria yang seharusnya tidak dikenakan PPN.
Draft tersebut kini telah diajukan pemerintah ke perlemen untuk masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas 2021). Melalui draft ini, pemerintah sepertinya ingin menggenjot pendapatan negara dari sektor pajak.
Sebab, tak hanya pendidikan yang didraftkan kena PPN, sejumlah kebutuhan pokok pun akan dikenai pajak. Padahal sebelumnya, barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, dan lain-lain, tak dikenai PPN, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.
Iwan Hermawan menyatakan, masyarakat kelas menengah ke bawah jelas akan semakin terjepit jika RUU tersebut diundangkan. Mereka menghadapi biaya pendidikan yang mahal, kemudian makanan pokok pun kena PPN.
“Banyak cara lain untuk meningkatkan pendapatan negara, misalnya dengan peningkatkan pajak pada pengusaha besar. Jangan dari rakyat kecil,” ujar Iwan.
Alih-alih menggenjot pajak pada kaum korporat, belum lama ini Menteri Keuangan Sri Mulyani justru mengeluarkan kebijakan Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk mobil menjadi 0 persen, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor 20/PMK/0101/2021 sejak bulan Maret lalu untuk tahun anggaran 2021.
Ada pula rencana pemberian insentif yang berlaku terhadap kendaraan tertentu. Beberapa syarat itu di antaranya, mobil dengan kapasitas mesin sampai 1.500 cc dan memiliki kandungan lokal sebanyak 70 persen. Rencana ini akan dilakukan secara bertahap.