Pengalaman Bermain bersama Anak-anak Sanggar Seni Reak Tibelat
Melihat semangat dan antusiasme anak-anak, saya menaruh harapan besar pada mereka untuk terus mempelajari budaya lokalnya.
Penulis Gunawan Winata14 Juni 2021
BandungBergerak.id - Kunjungan saya ke Sanggar Seni Reak Tibelat, Cibiru, Bandnung, pada Minggu, 6 Juni 2021, merupakan pengalaman istimewa. Sambutan dari tuan rumah amat hangat. Saya merasa benar-benar diterima di suatu tempat yang belum pernah saya kunjungi, yang mengingatkan saya pada kampung halaman.
Saya datang bersama para dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) yang sedang mengadakan program pengabdian masyarakat (abdimas). Mereka melakukan riset dan menciptakan permainan papan (boardgame) Kaulinan Reak. Cara memainnya mirip dengan monopoli dan ular tangga, tapi isinya sangat berbeda.
Permainan papan Kaulinan Reak dibuat dengan karakter, benda, dan aksi yang seluruhnya diambil dari kekayaan seni reak yang berkembang pesat di kawasan Bandung timur. Tujuannya adalah mengenalkan nilai-nilai filosofis seni tradisi itu bagi anak-anak. Dengan permainan, diharapkan anak-anak bisa lebih mudah mencerna.
Tugas saya pada hari itu adalah mengenalkan permainan papan itu pada anak-anak di Sanggar Seni Reak Tibelat. Sebelum kunjungan ini, saya sudah memperoleh penjelasan dan pelatihan dari para dosen.
Baca Juga: Belajar dari Semangat Anak-anak Sanggar Seni Reak Tibelat
Pancasila dari Rakyat (1): Menggali Nilai Ketuhanan dan Gotong Royong dalam Seni Reak
Tiga Kelompok
Untuk memainkan Kaulinan Reak, anak-anak Sanggar Seni Reak Tibelat dibagi ke dalam tiga kelompok. Masing-masing kelompot terdiri dari lima anak.
Sebelum permainan dimulai, saya menjelaskan ketentuan serta peraturan yang tertera pada permainan papan tersebut. Anak-anak mendengarkan dan memperhatikan apa yang saya ucapkan. Saya senang dengan sikap mereka ini.
Akhirnya permainan pun dimulai, Kelima anak yang saya bimbing mencoba untuk menjadi pemenang. Canda tawa mengiringi jalannya permainan. Sudah menjadi tugas saya untuk memperingatkan agar anak-anak tetap bermain sportif dan menyingkirkan pikiran-pikiran untuk curang.
Setelah satu jam, permainan berakhir. Semua anak mampu menyelesaikan tugasnya. Marvel tampil sebagai pemenang dengan 14 poin. Saya pun memberikan tugas tambahan baginya untuk membantu salah satu temannya yang kalah akibat masih belum lancar membaca. Marvel, yang bercita-cita menjadi seorang guru matematika, menyanggupinya.
Kegiatan bermain bersama siang itu ditutup dengan makan siang bersama. Sesudah itu, anak-anak memainkan reak dengan amat terampilnya. Ada yang menabuh dogdog, ada yang menyanyi, ada yang memakai bangbarongan.
Melihat semangat dan antusiasme anak-anak, saya menaruh harapan besar pada mereka untuk terus mempelajari budaya lokalnya. Apa yang mereka lakukan tidak seperti kebanyakan anak yang sudah melupakan identitas sendiri seperti kacang lupa kulitnya. Anak-anak dari Sanggar Seni Reak Tibelat dijadikan rujukan.