• Berita
  • Jumlah Petugas Resmi TPU Cikadut Terus Berkurang

Jumlah Petugas Resmi TPU Cikadut Terus Berkurang

Saat ini terdapat 40 relawan warga yang bekerja sebagai penggali liang lahat dan pemangku. Sementara gaji petugas resmi seringkali tertunggak.

Jumlah penggali liang lahat dan pemangku jenazah TPU Cikadut terus berkurang. Hingga Rabu (7/7/2021), terdapat sekitar 40 relawan warga sekitar, kerabat, serta keluarga para petugas makam. (Foto: Bani Hakiki)

Penulis Bani Hakiki7 Juli 2021


BandungBergerak.idKondisi para petugas permakaman TPU Cikadut semakin memprihatinkan di tengah lonjakan kematian kasus Covid-19. Semakin banyak petugas yang bertumbangan karena sakit dan terpapar virus infektius tersebut. Kondisi ini belum mendapat tanggapan resmi dari pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.

Terdapat 60 petugas resmi atau pekerja harian lepas (PHL) di Unit Pelaksana Teknis (UPT) di TPU khusus Covid-19 tersebut. Jumlah ini terdiri dari 25 penggali liang lahat dan 35 pemangku jenazah. Namun, seiring intensitas permakaman yang semakin tinggi, jumlah personel terus berkurang. Para petugas harus berpikir berlipat ganda untuk mengatasi jumlah petugas yang tidak sebanding dengan jumlah jenazah yang datang setiap harinya.

Bahkan, sejak beberapa hari ke belakang hingga Rabu (7/7/2021) para penggali liang lahat diliburkan sementara karena banyak yang terpapar Covid-19. Mereka pun melakukan isolasi mandiri (isoman) di rumahnya masing-masing dalam waktu yang belum bisa ditentukan. Apak, koordinator utama pemangku jenazah mengaku selama in, mereka bekerja atas kehendek sendiri tanpa koordinasi jelas dari pemerintah.

“Kita selama ini berpikir sendiri gimana caranya mengatasi jenazah yang terus berdatangan. Untungnya banyak teman-teman yang mau bantu. Cuma ya kalau warga yang inisiatif bantu ini gak digaji,” tuturnya yang baru kembali ke lapangan setelah isoman di rumah.

Saat ini, terdapat sekitar 40 warga sekitar Cikadut yang mengaku sebagai relawan petugas pemakaman. Pekerjaan mereka sama seperti para PHL, ada yang menggali kubur dan memangku jenazah. Penghasilan mereka datang dari para keluarga jenazah yang dipusarakan di sana. Sedekah ini dikumpulkan di koordinator yang sedang bertugas, kemudian dibagian secara merata ke masing-masing relawan.

Tak hanya petugas, salah satu alat berat berupa beko juga ikut tumbang. Mesin keruk tersebut tidak bisa digunakan untuk sementara dan masih dalam masa reparasi. Kerusakan beko karena tingginya operasional di medan galian liang lahat yang cukup sulit dilewati.

Para petugas bekerja tanpa mengenal batas waktu yang telah ditentukan pihak Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Bandung, pukul 10 malam. Mereka mengaku tidak bisa begitu saja membiarkan jenazah yang terus berdatangan hingga tengah malam. Sejak pukul 6 sore pada Selasa (6/7/2021) hingga Rabu (7/7/2021) pukul 1 siang, tercatat 76 prosesi mengubur jenazah korban Covid-19 telah dilakukan.

Apak mengaku akan segera mengadukan keluhan ini ke Distaru atau Pemkot Bandung. Namun, mereka tidak ingin sejumlah keluhan tersebut mengurangi semangat kerja para PHL dan relawan yang tersisa di lapangan. Deri, koordinator tim A juga mengeluhkan kurangnya perhatian dari Pemkot.

Baca Juga: Ratusan Tempat Isoman Dibentuk untuk Menurunkan Tingkat Keterisian Tempat Tidur (BOR) Rumah Sakit Kota Bandung
Satu RT Patungan Beli Rapid Test untuk Testing dan Tracing Mandiri

“Kita makan pakai uang sendiri sampai sakit juga biaya sendiri. Gak ada tuh perhatian dari pemerintah, toh mereka jarang ke lapangan juga. APD juga datang paling sebulan sekali. Kita kerja risikonya tinggi loh, ini bukan mayat biasa,” keluhnya.

Deri juga menjelaskan bahwa sistem kerja yang mereka terapkan di lapangan sangat dinamis sejak para petugas bertumbangan satu per satu. Tim pemangku yang semula terbagi ke dalam tiga tim dengan masing-masing 15 anggota, kini berkurang jadi 12 orang per tim. Pengurangan dilakukan untuk mengakali kurangnya personel. Mengingat para penggali yang sedang diistirahatkan sementara, para pemangku yang tersisa juga harus bekerja dua kali lipat sebagai penggali liang lahat.

Hal krusial lainnya yang dihadapi para PHL adalah tunggakan honor mereka. Apak menuturkan bahwa penghasilan mereka sering kali terlambat dari waktu yang telah dijanjikan. Menurut perjanjian, seharusnya mereka digaji setiap 25 hari kerja, tapi kenyataannya selalu terlambat. Bahkan, beberapa kali mereka baru dibayar setelah 45 hari kerja.

Kebanyakan petugas di sana mempertanyakan soal wacana dana sekitar Rp 4 miliar rupiah yang seharusnya dialirkan untuk pengadaan fasilitas makam dan para pekerja. Namun, mereka belum pernah mengecap aliran dana tersebut. Apak juga menjelaskan bahwa para petugas baru mendapat sokongan dana berupa APD pada bulan ke-12 setelah pagebluk dimulai pada Maret 2020 lalu.

Ketika ditanya mengenai tuduhan pungutan liar yang sempat ramai diperbincangkan, Apak mengatakan sengaja sempat membangun isu tersebut untuk mendapat perhatian dari pemerintah. “Saya mah gak takut dipecat, silakan saja biar pemerintah lihat langsung kondisi di lapangan. Cuma sampai sekarang saya masih mau turun karena teman-teman di lapangan,” pungkasnya.  

Editor: Redaksi

COMMENTS

//