Lagi, Tunjangan Insentif Nakes Telat
Selain menghadapi tunjangan yang kerap telat, tidak sedikit nakes terpapar Covid-19 dan wafat.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri13 Juli 2021
BandungBergerak.id - Ketika para tenaga kesehatan berjibaku di fron-fron depan pagebluk Covid-19, kabar miris muncul melalui cuitan BlogDokter yang menyatakan tunjangan atau insentif nakes (tenaga kesehatan) belum cair alias telat.
“Untuk diketahui, sampai saat ini belum ada insentif/honor untuk para vaksinator Covid-19 dari Kemenkes. Mereka berkerja dengan sukarela dan tulus ikhlas demi pandemi ini cepat berlalu. Bahkan sampai malam dan tidak sedikit yang jatuh sakit,” demikian cuit BlogDokter, Senin (12/7/21).
Cuitan itu direspons beberapa netizen lainnya, terutama mereka yang mengaku sebagai vaksinator atau tenaga penyuntikan vaksin Covid-19. Salah satunya, akun Sopianadam.
“Aku salah satu tim vaksinator. Ya gitu pagi vaksin sore lanjut dinas atau habis dinas malam lalu lanjut vaksin sampai sore lanjut lagi dinas malam. Dan sekarang berakhir isoman.”
Kementerian Kesehatan (Kemenkes), melalui Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, Rita Rogayah mengklaim, pemerintah telah melakukan pembayaran kepada pihak rumah sakit-rumah sakit yang melakukan pelayanan pasien Covid-19. Rita menjelaskan pembayaran tersebut lebih dari Rp 17 triliun.
“Jadi selama tahun 2021, kita sudah melakukan pembayaran sebesar 17,1 (triliun) untuk pelayanan Covid-19, yang sudah kami lakukan ini untuk bulan layanan tahun 2020 dan tahun 2021,” ujar Rita Rogayah, dalam konferensi virtual yang diselenggarakan Kemenkes, Kamis (8/7/21).
Isu menunggaknya insentif terkonfirmasi dari salah seorang nakes yang bekerja di Bandung, Cecep (bukan nama sebenarnya). Ia diperbantukan menangani Covid-19 di salah satu rumah sakit di Bandung. ,
Cecep mengatakan, sejak diperbantukan menangani pasien Covid-19 pada Maret 2020 lalu, insentifnya memang kerap tertunda. Artinya, penunggakan terjadi lebih dari sekali.
Selain itu, nominalnya insentif juga tidak jelas karena belum ada skema soal jam kerja. “Akhirnya di bulan kedua disepakati untuk nakes penanganan Covid-19 jadi 14 hari kerja. Meskipun di lapangan kerjanya bisa 20-22 hari kerja, masih terjadi keterlambatan. Jadi bisa nerima rapel 3 bulan insentif,” paparnya, saat dikonfirmasi via telepon, Selasa (13/7/2021).
Ia menangani Covid-19 selama periode Maret-Agustus. Selanjutnya, jumlah kasus sempat melandai sehingga ia pun ditarik kembali untuk bertugas di bagian non-Covid-19.
Lonjakan kasus kembali terjadi pada Juni 2021. Fasilitas-fasilitas kesehatan, termasuk para nakes, mulai kewalahan menghadapi ledakan kasus. Maka ia kembali diperbantukan menangani pasien Covid-19.
Cecep menuturkan, seringnya keterlambatan insentif juga menjadi keluhan rekan-rekannya yang bertugas di garda Covid-19. Keterlambatan tersebuh bahkan bisa sampai tiga bulan.
Terkini, penunggakan periode Januari-Mei baru diterima para nakes di awal bulan Juni kemarin. Sementara Cecep mengaku belum mendapatkan insentifnya selama masa kerja bulan Juni.
“Periode Januari sampai Mei itu, baru diterima nakes bulan Juni. Itu diawal saya kembali bertugas sebagai tenaga kesehatan yang menangani pasien Covid-19,” katanya.
Meski demikian, ia merasa masih beruntung karena statusnya sebagai pegawai tetap rumah sakit. Status ini membuatnya tidak ketergantungan pada insentif. Yang memprihatinkan adalah nakes yang statusnya relawan. Mereka tentunya menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidupnya dari insentif tersebut.
Para relawan ini diangkat sebagai pekerja harian lepas (PHL) melalui rekrutmen yang dilakukan pemerintah pusat. Tak sedikit mereka berasal dari luar Kota Bandung.
“Kalau saya sih sebetulnya tidak terlalu mempermasalahkan perihal keterlambatan ini (insentif), karena status saya pegawai tetap yang diperbantukan, setiap bulan saya masih mendapatkan honor dari pihak rumah sakit. Tapi kan kondisinya berbeda untuk relawan, mereka harus ngekost ada yang datang dari Malang dan dari kota lainnya,” ujarnya.
Baca Juga: Pembayaran Insentif Nakes di Bandung Terlambat, Ada Perawat yang Baru Sekali Dapat
Nakes Terpapar Covid-19 Peringatan Keras di tengah Gejolak Pagebluk
Tak Bisa Dibebankan ke Pemerintah Daerah
Eka Mulyana, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Barat, juga membenarkan laporan tunggakan insentif yang dialami nakes khususnya para dokter. Eka menegaskan, insentif merupakan penghargaan kepada para nakes yang seharusnya ditunaikan pemerintah.
“Bukannya menuntut, karena ini bagian dari hak mereka, mengingat kewajibannya juga sudah dijalankan dengan risiko yang tinggi,” ujar Eka Mulyana, dihubungi melalui telepon, Selasa (13/7/21).
Eka menduga menunggaknya insentif terjadi karena perubahan peraturan pembiayaan penanganan pandemi Covid-19 yang diatur Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 17 tahun 2021 tentang penyaluran dan Pengggunaan Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Insentif Daerah untuk penanggulangan pandemi Covid-19.
Peraturan tersebut membuat pendanaan penanggulangan Covid-19 yang tadinya bersumber dari pemerintah pusat kini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Tunggakan insentif terutama dirasakan betul oleh nakes-nakes yang bertugas di Rumah Skit Umum Daerah.
Eka menilai, PMK Nomor 17 tahun 2021 membuat beban pemerintah daerah lebih besar. Sementara anggaran pendapatan daerah memiliki kemampuan yang berbeda-beda.
Eka berharap pemerintah pusat bisa memahami beban yang dihadapi pemerintah daerah, sekaligus memberikan perhatian lebih terhadap kesejahteraan para nakes.
“Saya berharap pemerintah pusat tidak sepenuhnya menyerahkan permasalahan ini ke pemerintah daerah, berharap pemerintah pusat bisa memberikan perhatian lebih, mau tidak mau juga kan pandemi adalah musibah nasional juga,” tutup Eka Mulyana.
Risiko Maut
Tugas para nakes di fron depan Covid-19 tidaklah ringan. Mereka bekerja di zona-zona merah dengan risiko penularan sangat tinggi. Sudah banyak nakes yang terpapar dan wafat.
Pada pekan pertana bulan Juli 2021, LaporCovid-19 mencatat setidaknya 86 tenaga kesehatan yang berpulang akibat Covid-19. Total jumlah kematian tenaga kesehatan yang tercatat oleh LaporCovid-19 adalah 1.183 tenaga kesehatan.
Ketua Tim Mitigasi Persatuan Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Adib Khumaidi, mengatakan bahwa per 8 Juli 2021 terdapat 458 dokter yang meninggal akibat Covid-19.
“Di bulan Juni 2021 kenaikan kematian dokter meningkat 7 kali lipat di dibandingkan bulan Mei 2021, dengan di bulan Juli saja sudah tercatat 35 dokter meninggal,” kata Adib Khumaidi, dalam siaran pers LaporCovid-19.
Ledakan pasien Covid-19 yang terjadi Juni-Juli, kemudian berdampak pada tingginya paparan terhadap para nakes, disebut Adib Khumaidi sebagai functional collapse.
“Kebutuhan masyarakat sangat tinggi (flow pasien yang terus mengalir), namun banyak dokter yang sudah sakit, sehingga jika tidak ada intervensi di hulu, maka akan terus memberikan risiko kepada nakes,” katanya.
Demi perlindungan dan keamanan di fasilitas kesehatan, diperlukan zonasi di fasilitas-fasilitas kesehatan.
“Harus ada fasilitas khusus Covid-19 saja, selain itu harus ada upaya pemberdayaan nakes dengan sistem shifts dan memastikan bahwa mereka memiliki sertifikasi untuk menjaga mutu pelayanan kesehatan masyarakat.”
Kasus kematian juga menimpa para bidan. Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Emi Nurjasmi, mengatakan total bidan meninggal sejumlah 208 orang, dan 39 bidan meninggal per 8 Juli 2021.
“Permasalahan untuk bidan adalah ketika ibu hamil positif tidak dapat dirujuk RS, maka pasien harus ditangani oleh bidan, padahal risiko sudah tinggi terutama karena fasilitas untuk Covid-19 belum memadai khususnya untuk klinik mandiri. Bahkan karena banyaknya pasien, bidang yang sedang isolasi mandiri juga harus masuk,” tutur Emi.
Ia menduga, kematian nakes bidan terkait banyaknya mereka yang dilibatkan sebagai vaksinator tanpa APD yang lengkap. Keterpaparan yang meningkat juga menyumbang pada kematian di kalangan bidan.
Sementara Aldila S. Al Arfah, dari Muhammadiyah Covid-19 Command Centre, juga menyarankan agar insentif bagi para nakes segera dicairkan. “Jika ada masalah kesulitan finansial, perlu diadakan regulasi ulang,” katanya.
Aldila kemudian menyarankan perlunya mobilisasi nakes dari daerah kasus rendah ke Jawa – Bali. Mobilisasi ini penting untuk menambah bantuan terhadap para nakes yang kelelahan.