Darah Tumpah di Lengkong Wetan (3)
Dari markas tentara Jepang di Lengkong, puluhan jenazah dipindahkan ke Tangerang. Beberapa dari mereka merupakan anak tokoh-tokoh Republik.
Penulis Zaky Yamani1 April 2021
BandungBergerak.id - Saat empat tawanan itu ditahan di markas Kempetai, di Lengkong hasil perundingan antara TKR dan Jepang dilaksanakan. Senin, 28 Januari 1946, Kapten Jopie Bolang, Wakil Direktur Akademi Militer Tangerang dan Kapten Arie Soepit dari Polisi Tentara Resimen IV datang ke markas tentara Jepang di Lengkong. Dari Tangerang mereka berboncengan menggunakan sepeda motor Indian. Tetapi mereka tidak diizinkan masuk ke markas Jepang dan hanya diterima di gerbang. Mereka kemudian meminta informasi tentang keadaan para tawanan, lalu kembali ke Tangerang untuk menyiapkan tim yang akan menjemput para tawanan.
Hari itu juga diberangkatkan tim pertama dari Tangerang, berupa petugas medis dari Palang Merah Indonesia di Tangerang yang dipimpin Dokter Gambiro. Tugas mereka menjemput tawanan yang terluka.
Tiba di markas tentara Jepang, anggota tim diperiksa sebelum diizinkan masuk markas. Di dalam markas itu, anggota tim langsung mendatangi tempat para tawanan yang terluka. Ruang tempat tawanan terluka itu berbau busuk. Kondisi para tawanan itu sangat menyedihkan. Luka-luka mereka tidak dirawat dengan baik, bahkan ditemukan tawanan yang sudah meninggal karena luka-lukanya dan belum dikuburkan. Ada juga seorang siswa Akademi Militer Tangerang yang luka berat di mulutnya sampai wajahnya sulit dikenali, karena lukanya membusuk dan berisi belatung. Lehernya pun berlubang terkena tembakan.
Tadinya siswa itu dianggap sudah meninggal oleh tim Palang Merah Indonesia, karena kondisinya seperti itu. Tetapi saat Dokter Gambiro berada di dekatnya, siswa itu menarik pantalonnya dan dengan susah payah berbisik dalam bahasa Belanda, “Dok, ik leef nog. Dok, saya masih hidup.”
Siswa itu bernama Bratawinata. Dia dan dua belas tawanan yang terluka lalu dibawa keluar markas Jepang oleh tim Palang Merah Indonesia, langsung ke Rumah Sakit Tangerang. Di sana sudah menunggu Dokter Leimena, ahli bedah dan dokter militer Resimen IV, bersama tim dari Rumah Sakit Tangerang.
Tiga belas siswa yang mengalami luka berat selanjutnya dirawat di Rumah Sakit Tangerang. Pembedahan dilakukan terhadap mereka yang mengalami luka sangat serius. Bratawinata salah satu yang dibedah, karena ternyata baru diketahui ada peluru yang masih bersarang di dalam lehernya.
Siswa lainnya yang mengalami luka sangat parah adalah Soekadi. Dia terluka di pangkal pahanya, dan terkena tetanus. Setiap saat dia mengerang menahan sakit, kejang-kejang, gemeretuk suara giginya ketika dia menggigil hebat sampai terdengar orang-orang di sekitarnya. Membuat mereka iba tanpa bisa memberikan pertolongan, sekaligus ngeri melihat bagaimana tetanus menyiksa manusia sedemikian hebat.
Sampai suatu hari, Soekadi terdiam. Tak ada lagi erangan dari mulutnya. Dokter dan perawat berkerumun dengan sibuk di sekeliling ranjang calon perwira itu. Lalu mereka saling tatap lesu. Soekadi telah merdeka dari rasa sakit di tubuhnya.
Baca Juga: Darah Tumpah di Lengkong Wetan (1)
Darah Tumpah di Lengkong Wetan (2)
Pemakaman
Masih pada 28 Januari 1946, setelah tim Palang Merah Indonesia membawa pulang para tawanan yang terluka, sore harinya dari Tangerang diberangkatkan lagi tim ke markas Jepang di Lengkong. Tim itu beranggotakan para siswa Akademi Militer Tangerang yang tidak ikut dalam operasi di Lengkong, karena baru pulang dari mengawal misi kemanusiaan di Bandung
Tim itu membawa banyak cangkul dan sekop, menggunakan beberapa truk. Tugas para siswa itu menggali makam kawan-kawan mereka yang tewas dalam pembantaian di Lengkong, untuk kemudian membawa pulang jenazah mereka ke Tangerang.
Sampai malam tim itu melakukan penggalian, dengan penjagaan ketat tentara Jepang yang masih bersiaga tempur. Jenazah-jenazah di dalam kuburan dangkal itu sebagian sudah membusuk, karena tanah yang basah akibat setiap hari diguyur hujan. Malam itu juga, seluruh jenazah diangkut menggunakan beberapa truk, untuk disemayamkan semalam di kompleks perumahan perwira Resimen IV, sebelum dimakamkan dengan layak.
Esok harinya dilakukan upacara pemakaman di lahan kosong di sebelah Markas Resimen IV. Hadir beberapa pejabat negara dan keluarga korban yang berdatangan dari luar Tangerang. Perdana Menteri Soetan Sjahrir hadir di upacara pemakaman itu. Dia datang bersama Wakil Menteri Luar Negeri, Haji Agoes Salim.
Haji Agoes Salim hadir bukan saja sebagai pejabat negara. Hari itu dia juga hadir sebagai orangtua yang kehilangan anak lelakinya yang gugur di Lengkong: Sjoket Salim, siswa Akademi Militer Tangerang.
Bukankah Haji Agoes Salim yang memimpin delegasi Indonesia dalam perundingan dengan Sekutu dan Jepang untuk mengurus pelucutan tentara Jepang dan pengungsian para interniran pada November 1945? Di tengah pelaksanaan hasil perundingan itu, justru dia harus kehilangan putranya.
Hadir juga dalam upacara pemakaman itu, Margono Djojohadikoesoemo, Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara sekaligus pejabat yang ditunjuk Presiden Soekarno untuk membentuk Bank Sentral Indonesia. Margono kehilangan dua anaknya dalam peristiwa Lengkong: Letnan Satu Soebianto Djojohadikoesoemo dan siswa Akademi Militer Tangerang, Soejono Djojohadikoesoemo.
Peristiwa berdarah di Lengkong membuat wartawan kawakan Rosihan Anwar tersentuh dan mempersembahkan puisi yang dia terjemahkan dari karya penyair Belanda, Henriette Roland Holst:
Kami bukan pembina candi
Kami hanya pengangkut batu
Kamilah angkatan yang mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas kuburan kami lebih sempurna.
Sajak itu sangat disukai Letnan Satu Soebianto, ditemukan tertulis di buku hariannya, yang dia bawa saat gugur di Lengkong. Dia menuliskan sajak itu dalam bahasa aslinya:
Wij zijn de bouwers van de tempel niet
Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen
Wij zijn het geslacht dat moest vergaan
Opdat een betere oprijze uit onze graven.***