PPKM Darurat Diperpanjang, butuh Jaminan Sosial bagi Warga Menengah ke bawah
LBH Bandung juga menyoroti penerapan sidang tipiring (tindak pidana ringan) yang dinilai tidak solutif bagi warga bestatus ekonomi menengah ke bawah.
Penulis Bani Hakiki21 Juli 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah telah berganti-ganti menerapkan kebijakan pengendalian Covid-19, mulai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga kini Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Sederet kebijakan ini dinilai belum signifikan mengendalikan pagebluk.
Di samping itu, kebijakan pengetatan sosial justru melahirkan masalah baru, yakni tidak adanya jaminan kesejahteraan sosial bagi masyarakat terdampak.
Merujuk data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung terkait dampak PSBB tahun 2020, kebijakan pengetatan sosial lebih dirasakan oleh masyarakat dengan status sosial dan ekonomi menengah ke bawah, terutama para buruh dan pelaku usaha mandiri.
Tim Divisi Riset dan Kampanye LBH Bandung, Heri Pramono, juga melihat hal serupa pada masa PPKM Darurat yang baru saja diperpanjang hingga 25 Juli mendatang.
“Pandemi ini sudah jadi pertarungan antarkelas. Beban (perekonomian) yang diterima warga beda-beda, jadi lebih berat untuk (masyarakat) menengah ke bawah,” tegas Tim Divisi Riset dan Kampanye LBH Bandung, Heri Pramono, melalui aplikasi pesan singkat, Rabu (21/7/2021).
Selama 2020, LBH Bandung telah menerima 234 laporan dan konsultasi hukum dari warga. Terdiri dari 163 kasus perdata, 65 pidana, dan 6 di sektor tata usaha negara. Lebih dari 90 kasus di antaranya berasal dari warga kelas ekonomi menengah ke bawah.
Bentuk kasus para pelapor beragam, mulai dari perampasan hak-hak buruh hingga penyitaan alat dagang oleh aparat. Selain itu, pemotongan upah hingga pemecatan massal terjadi kepada ribuan buruh di Kota Bandung.
Kasus yang menimpa buruh terjadi setelah diterapkannya kebijakan pembatasan yang merugikan operasional perusahaan tempat mereka bekerja.
LBH Bandung juga menyoroti penerapan sidang tipiring (tindak pidana ringan) yang dinilai tidak solutif bagi warga bestatus ekonomi menengah ke bawah. Sejumlah pelaku usaha bahkan banyak yang tidak sanggup membayar denda tipiring.
“Seakan-akan, pemerintah nyuruh untuk diam atau membatasi mobilitas orang tanpa memperhatikan kebutuhan warganya,” ujar Heri.
Maka dari itu, PPKM Darurat dinilai tidak efektif dalam menjawab kondisi kesejahteraan rakyat yang merata. Hal tersebut karena pemerintah belum bisa menjamin perekonomian dan kesehatan setiap warganya.
Baca Juga: Demonstrasi Tolak PPKM Darurat di Bandung Berakhir Ricuh
DATA BICARA: Pandemi Berlarut-larut, Jumlah Penduduk Miskin dan Penganggur Terbuka di Kota Bandung Bisa Kembali Melambung
Bansos PPKM Darurat
Salah satu cara pemerintah untuk menjawab keluhan terkait kesejahteraan ekonomi adalah dengan diadakannya program dana bantuan sosial (bansos). LBH Bandung mendesak agar penyaluran dana bansos dilakukan transparan, adil, dan merata.
Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung sendiri baru saja mencairkan bansos PPKM Darurat pada 19 Juli 2021. Bansos untuk warga miskin yang belum terdata DTKS ini sebesar Rp 500 ribu dan hanya diberikan satu kali. Pemkot mentargetkan 60 ribu orang penerima bansos ini.
Meski nilai bansos tidak besar, Pemkot berharap bantuan ini bisa sedikit meringkankan warga miskin yang terdampak.
Sementara jumlah kemiskinan di Kota Bandung selama pagebluk mengalami peningkatan. Data data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung mengungak angka kemiskinan pada 2020 mencapai lebih dari 100 ribu jiwa. Sementara pada tahun 2019, jumlah kemiskinan masih di angka 84 ribu jiwa.