BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Selamat Pagi, Kampung Cibedug
Kampung Cibedug ditetapkan sebagai Desa Sadar Kerukunan. Warga Penghayat di kaki Gunung Tangkuban Parahu itu hidup damai berdampingan dengan pemeluk agama lain.
Kampung Cibedug ditetapkan sebagai Desa Sadar Kerukunan. Warga Penghayat di kaki Gunung Tangkuban Parahu itu hidup damai berdampingan dengan pemeluk agama lain.
BandungBergerak.id - Cibedug sama khasnya dengan kampung-kampung pegunungan lain di dataran tinggi Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Hawa dingin, jalan-jalan kecil yang cukup dilalui motor dengan kiri kanan kebun-kebun sayur di antara perbukitan dan lembah, peternakan sapi perah, dan warga yang sebagaian petani. Bedanya, kampung ini ditetapkan sebagai "Desa Sadar Kerukunan" oleh Kemenag RI.
Kamis sore, 23 November 2023, saya menerima kabar tentang kegiatan Sarasehan di kampung yang masuk wilayah Desa Cikole. Saresehan merupakan kegiatan rutin yang diadakan oleh warga Penghayat, para penganut kepercayaan leluhur.
Setelah mendapatkan kabar tersebut, saya bergegas menuju Cibedug. Saya bersama rekan saya dari BandungBergerak.id menempuh dua jam menuju kampung di kaki Gunung Tangkuban Parahu.
Pukul 19.45 WIB kami tiba di kampung Cibedug. Seorang warga, Aep Supriatna, ramah menyambut kami. Meski hawa dingin masih menyisakan jejak selama perjalanan, sambutan hangat Pak Aep membuat kami merasa nyaman.
Aep mengajak kami ke pasewakan, sebuah tempat yang biasa dipakai berkumpul oleh warga Penghayat, di sana obrolan ringan mengalir dengan suguhan kopi hitam panas.
Aep menceritakan berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat Penghayat, terutama dalam konteks pendidikan. Sejak zaman Aep sekolah dulu hingga sekarang, diskriminasi terhadap mereka selalu menyelinap, terutama saat berada di bangku sekolah. Identitas mereka sering kali menjadi sasaran. Diskriminasi dirasakan terjadi pada masa-masa sebelum Aep sekolah.
Kendati demikian, di kampung Cibedug tidak terjadi diskriminasi. Warga Penghayat dengan pemeluk agama lainnya hidup berdampingan. Ketika ada kegiatan, semuanya bergotong-royong. Ketika ada pembangunan masjid, warga Penghayat juga turut serta membantu. Begitu pula saat perayaan hari besar Islam, warga ikut andil dalam persiapan.
Di kampung ini, kata Aep, kebersamaan tak terpengaruh oleh perbedaan keyakinan. Warga bekerja bersama tanpa pandang bulu.
Mata pencaharian utama warga kampung Cibedug rata-rata peternak dan petani kebun. Tradisi leluhur mempengaruhi mereka cara bertani. Ketika saat mereka hendak melakukan masa bercocok tanam, adaritual dan pemilihan tanggal yang baik untuk menentukan kapan masa tanam dimulai. Hal tersebut dilakukan agar apa yang mereka tanam hasilnya baik.
Malam semakin larut. Saya bermalam di Kampung Cibedug dan menghabiskan beberapa hari di sana. Selama tinggal di Cibedug, saya ditemani Nanda, anak perempuan Aep. Nanda merupakan Penghayat muda sekaligus guru di sekolah Penghayat.
Jumat pagi, 24 November 2023, geliat kehidupan di Kampung Cibedug berdenyut sibuk. Warga yang bolak-balik antara kandang dan koperasi susu, canda dan tawa mewarnai aktivitas mereka. Nanda mengajak saya ke kandang sapi milik Agus Santika.
Di sana saya melihat secara langsung proses pemerahan susu yang dilakukan dengan telaten oleh Pak Agus. Hasil dari perahan susu sapi ini kemudian dibawa ke koperasi susu murni. Agus bercerita, dirinya melakukan pemerahan susu sapi setiap pagi dan sore dengan hasil mencapai 40 liter.
Agus kemudian mengajak kami ke kebun, di sana kami bertemu Yuli, istri Agus. Pagi itu mereka hendak menanam tomat, saya turut membantu mereka menanam. Di sela kegiatan, Yuli bercerita bahwa hasil panen kebun akan distribusikan ke pasar di Jakarta.
Yuli juga menceritakan Saresehan yang rutin diadakan oleh warga Penghayat yang kegiatannya terdiri dari arisan, acara kegiatan kesenian, hingga pengisian materi yang diberikan oleh Penghayat muda seperti Nanda.
Malamnya, saya mengikuti Upacara Natus di salah satu rumah warga. Natus merupakan upacara mengingat seratus hari meninggalnya salah seorang warga Penghayat. Mengenakan rok kain batik atas anjuran Nanda, saya yang hadir satu jam lebih awal disambut hangat oleh pemilik rumah. Makanan dan kopi panas disajikan, Saya dipersilakan bebas memotret tradisi kematian tersebut.
Suasana Natus cukup ramai. Selain warga Penghayat, warga muslim juga turut hadir. Mereka saling bercengkerama dan bercanda sambil menunggu upacara dimulai.
Upacara Natus dimulai dengan Amitsu, dilanjutkan dengan pembacaan rajah, Kidung Panulak, Surasa Basa, Pupuh Asmarandana, Pupuh Kinanti, Pupuh Magatru, Pupuh Sinom. Pada inti upacara terdapat sesi guar makna mengenai sapta cara Upacara Natus.
Kesokannya, Sabtu pagi, 25 November 2023, Nanda mengajak saya ke sekolah Sabtu-Minggu khusus untuk anak-anak Penghayat. Sekolah ini pengganti kelas agama di sekolah umum mereka. Kebetulan Sabtu itu Nanda giliran menjadi gurunya bersama salah satu Penghayat muda lain.
Kelas digelar di rumah Nanda. Layaknya mata pelajaran agama umumnya, materi yang diajarkan membahas mengenai budi pekerti dan penjelasan tentang agama itu sendiri. Nanda mengajarkan tema tersendiri, tentang percaya diri. Di hadapan anak-anak sekolah, Nanda mengajarkan pentingnya rasa percaya diri dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam mengakui agama mereka sendiri.
“Ketika ditanya ‘kamu agamanya apa?’ kita harus percaya diri 'oh agama saya Kepercayaan, saya Penghayat' gitu ya, jangan malu-malu,” ucap Nanda, kepada para murid.
Selesai kelas, Nanda mengatakan diskriminasi bisa terjadi kapan dan di manapun pada Penghayat ataupun anak-anak Penghayat. Praktik ini sayangnya terjadi turun-temurun.
“Jadi kayak misalnya aku kena (diskriminasi), pas aku udah lulus. Nanti sepupu-sepupu aku juga yang masuk situ (sekolah) hampir semua mendapatkan diskriminasi yang sama,” ungkap Nanda.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan-tulisan Fitri Amanda, atau artikel-artikel lain tentang Penganut Kepercayaan atau Penghayat
*Reportase ini terbit sebagai bagian dari kerja sama Bandungbergerak.id dan Jakatarub dalam kampanye Bandung Lautan Damai 2023
COMMENTS