Meluncur di Atas Kadaplak Kampung Pasir Angling
Konon, kadaplak peninggalan tanam paksa (cultuurstelsel) era Hindia Belanda yang kejam. Papan beroda ini dipakai untuk mengangkut hasil panen.
Konon, kadaplak peninggalan tanam paksa (cultuurstelsel) era Hindia Belanda yang kejam. Papan beroda ini dipakai untuk mengangkut hasil panen.
BandungBergerak.id - Riuh redam anak-anak menyeruak di hutan pinus Kampung Pasir Angling, Desa Suntenjaya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 26 Februari 2024. Atip Ramdani kegirangan saat tubuhnya meluncur di atas kadaplak, kendaraan berbentuk papan beroda terbuat dari kayu dan bambu.
Bersama kawan-kawan sekampungnya, murid kelas 1 SDN Cibodas berusia 8 tahun itu tak lelah bolak balik naik turun bukit berseluncur dengan kadaplak yang melaju memanfaatkan kemiringan tanah perbukitan. Bukan anak-anak saja, bahkan orang dewasa juga ikut bermain.
Hawa dingin yang ditinggalkan kabut dan hujan tak bisa meredam keasyikan mereka. Terseok di tengah licinnya tanah berlumpur, kadaplak-kadaplak itu terjun bebas dibarengi tawa riang gembira yang membaur dengan aroma segar getah pinus.
Bagi anak-anak kota, mungkin asing mendengar permainan kadaplak. Kadaplak adalah bentuk permainan tradisional semacam papan yag diberi roda. Rangkanya dibuat dari bilah-bilah bambu dan kayu pohon kopi. As roda dibuat dari batang pohon kopi, rodanya sendiri dibuat dari kayu semacam akasia yang disebut kayu kuray. Bobotnya sekitar 5-10 kilogram.
Mereka memberi oli pelumas pada as roda-roda tersebut. As roda bagian depan jadi kendali kadaplak supaya bisa berbelok dengan bantuan kaki yang bertumpu pada as depan. Kadaplak jenis satu lagi dilengkapi stang kayu untuk mengendalikannya.
Di masa lalu, warga kampung membuat pelumas roda dari getah daun kembang sepatu yang diremas dengan sedikit air. Kadaplak ini jika dilihat dari atas rangkanya membentuk huruf Y. Sistem pegasnya berasal dari bilah bambu yang juga berfungsi jok.
"Kadaplak ini baru kita kenalkan lagi sejak lima tahun lalu. Kadaplak sendiri sudah ada sejak zaman dahulu di kampung kami. Biasanya kadaplak dimainkan saat musim kemarau setelah warga beres dengan urusan tani mereka," kata Iwan (50 tahun), warga Kampung Batuloceng yang tengah merakit dan menyiapkan kadaplak yang akan dipakai bermain.
Konon, menurut para sesepuh di Kampung Batuloceng, kadapalak lekat dengan masa tanam paksa (cultuurstelsel) di era Hindia Belanda. Tanam paksa sendiri adalah aturan di bidang komoditi dan perdagangan sektor pertanian yang sangat kejam, digagas oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch tahun 1830 dan berakhir tahun 1870.
Menurut pelestari permainan tradisional kadaplak, Gunawan Azhari, kadaplak di masa lalu dipakai sebagai alat bantu untuk mengangkut hasil panen tembakau (atau mungkin juga komoditi lainnya), khususnya di Kampung Batuloceng sekitar tahun 1930-an. Kawasan Lembang secara umum termasuk Batuloceng saat itu jadi penghasil teh, kopi, dan kina. Di beberapa wilayah antara Maribaya sampai Suntenjaya juga ditanami tembakau.
Beberapa tahun lalu di Batuloceng saya pernah melihat warga memanen kopi, pohonnya tinggi. Menurut mereka pohon kopi tersebut usianya hampir 100 tahun yang merupakan bibit asli yang ditanam di masa Hindia Belanda. Bentuk buah kopinya lebih besar, hanya tersisa beberapa pohon yang masih asli dari masa lalu.
"Dari penuturan para sesepuh kadaplak ini sudah ada sejak tahun 1930-an, digunakan oleh para petani bersama anak-anak mereka membawa hasil panen," kata Gunawan.
Walau belum ada bukti tertulis yang jelas, boleh jadi kadaplak dulunya adalah alat bantu saat panen di era tanam paksa di Batuloceng atau Suntenjaya yang kontur lingkungannya adalah daerah lereng.
Kadaplak pada akhirnya tak lagi digunakan untuk mengangkut hasil panen. Fungsinya berganti jadi sarana hiburan warga kampung bermain seluncuran di lereng bukit usai beraktivitas di ladang dan kebun mereka.
Sempat hilang antara tahun 1990-2000, pada tahu 2014 kadaplak kembali dikenalkan pada generasi muda di Suntenjaya hingga permainan ini lestari sampai sekarang.
Kadaplak yang terbuat dari kayu dan bambu tentu bukan jenis mainan yang awet. Kadaplak mudah rusak dan lapuk. Ini juga jadi kendala, karena untuk membuat satu unit kadaplak dibutuhkan biaya sekitar 100.000 rupiah. Jika ada anggaran lebih, warga kampung di Batuloceng bisa membuat kadaplak yang umumnya dimainkan saat musim kemarau.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS