• Foto
  • Hikayat Mesin Tua Thomson Mencetak Al Quran Braille

Hikayat Mesin Tua Thomson Mencetak Al Quran Braille

Selama 72 tahun mesin Thomson tak pernah berhenti memproduksi Al Quran Braille. Hasil cetakannya menyebar dari Bandung ke penjuru negeri.

Fotografer Prima Mulia23 Maret 2024

BandungBergerak.id - Lembar demi lembar cetakan ayat suci Al Quran dihimpit pelat logam bertekstur milik mesin cetak tua merek Thomson. Tekstur bintik-bintik huruf braille itu timbul dengan tegas dan sempurna. Proses percetakan lembar kitab suci ini harus dikerjakan semi manual, sesuai dengan kemampuan dan teknologi mesin cetak kuno sumbangan Helen Keller International pada tahun 1952.

Ruang produksi Al Quran Braille berada di pojokan sebelah barat komplek Wyata Guna. Bengkel kerja ini dinaungi Yayasan Penyantun Wyata Guna atau YPWG. Ruangannya tak terlalu besar. Sejak pintu masuk ruangan itu dipenuhi rak-rak berisi lembaran Al Quran yang sudah disusun sesuai juz, tiga meja bagian penjilidan, dan sebuah mesin dengan sepasang roda baja berwarna merah. Di beberapa sudut ruangan bertumpuk dus-dus berisi set Al Quran Braille siap dikirim ke daerah.

Siang itu, 19 Maret 2024 atau hari ke delapan puasa di bulan Ramadan 1445 Hijriah, kegiatan produksi Al Quran Braille masih terus dikebut guna memenuhi tenggat pemesanan. Dani menambahkan sedikit pelumas pada mesin cetak atau mesin press Thomson. Pria 51 tahun berjanggut panjang ini merupakan staf pegawai di bagian press atau pencetakan.

Roda-roda si Thomson tua terus berputar, proses cetaknya masih manual dan satu per satu, namun lama-lama cetakan ayat-ayat suci terus menumpuk semakin tinggi. Saat ini YPWG berencana mencetak 500 set Al Quran Braille (1 set setara dengan 10 jilid Al Quran 30 juz).

"300 set sudah disebar, 200 set lagi menyusul. Sampai akhir Ramadan sebelum libur kita bisa selesaikan 100 set," kata H Ahmad Hidayat, Kepala Sekretariat YPWG yang membawahi percetakan dan low vision.

Ahmad menjelaskan, Al Quran Braille merupakan produk sosial yang dibiayai negara dan donasi umat. Produksi pun berdasarkan pemesanan karena biaya cetak yang mahal.

Satu kitab Al Quran Braille berisi 3 juz. Sehingga satu Al Quran lengkap terdiri dari satu set atau 10 kitab yang ukurannya setara dengan laptop 14 inci. “Ukurannya besar dan berat," tambahnya.

Menurut Ahmad Hidayat, mesin press buatan Thomson-National Press Company Amerika Serikat ini dibuat atas permintaan Helen Keller, seorang penulis, aktivis sosial dan politik, pendidik. Ia seorang difabel penglihatan dan difabel pendengaran.

Mesin press Thomson ini hanya dibuat 6 di dunia, yang ada di Wyata Guna diyakini sebagai satu-satunya mesin press Thomson yang masih berfungsi dan tetap produktif mencetak hingga sekarang. Tahun 1952 mesin ini dihibahkan ke Indonesia oleh Helen Keller International. Tak ada yang tahu pasti tahun berapa mesin ini dibuat.

Dari pencarian di internet, ada satu foto hitam putih yang mirip dengan mesin press Thomson di Wyata Guna, yaitu mesin press yang disebut Universal/Colt's Armory platen presses yang dibuat oleh Thomson-National Press yang dirancang untuk pencetakan huruf Braille pada tahun 1936.

Supaya mesin tetap awet dan kinerjanya tetus kinclong, Ahmad Hidayat menerapkan aturan mesin beroperasi hanya sampai pukul 5 sore saja. "Supaya awet, gimanapun juga kan mesin tua, walau terbuat dari baja tetap saja jika dipakai secara berlebihan pasti ada kerusakan, kalau dipakai sampai malam setiap hari stang sehernya bisa patah (stang piston) seperti dulu pernah beberapa kali kejadian," katanya.

Walau kemampuan produksinya rendah, hanya 100 set Al Quran per bulan, mesin press tua ini terkenal dengan kepresisian hasil cetak dan kualitas emboss-nya yang tinggi. Hasil cetakannya awet dan tetap jelas saat diraba walau sudah bertahun-tahun dipakai. Tekstur atau timbulan bintik pada kertas cetakan mesin press Thomson beda jauh dibanding hasil cetakan mesin dengan komputer.

Hasil cetakan mesin manual ini lebih terasa saat diraba atau -- meminjam istilah santri difabel penglihatan di pondok pesantren penghafal Al Quran Sam'an Darushudur di Cimenyan, Kabupaten Bandung -- lebih enak "dibaca".

"Lebih teraba dengan jelas, nggak saling berhimpitan titik-titik hurufnya, jadi lebih mudah dibaca," kata pendiri dan pimpinan Sam'an Darushudur Ridwan Effendi, seorang difabel penglihatan, dosen, dan pentashih Al Quran Braille di YPWG.

Terbukti kualitasnya tetap mumpuni dan berhasil bertahan sampai era kecerdasan buatan saat ini, Thomson tua yang lebih cocok berada di musium enggan pensiun. Roda-roda baja di kanan kiri mesin press itu terus berputar melampaui zamannya. Konon dulu Bung Karno sendiri yang berkenan menyambut kedatangan si Thomson saat tiba di Indonesia.

Berkat si Thomson tua inilah yang selama 72 tahun terakhir tak pernah berhenti produksi. Ribuan set kitab suci Al Quran bisa menyebar ke seluruh penjuru negeri, jadi penerang para santri dan memberi kemudahan bagi para penghafal Al Quran kaum difabel penglihatan.

*Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//