Rahayu

Para penghayat berkumpul di Pasewakan dan Pasarean Mama Mei Kartawinata, Kabupaten Bandung. Mei Kartawinata merupakan tokoh penghayat dan aktivis kemerdekaan.

Fotografer Fitri Amanda 5 Mei 2024

BandungBergerak.idPasewakan dan Pasarean Mama Mei Kartawinata di Karang Pawitan, Pakutandang, Ciparay, Kabupaten Bandung tampak sibuk. Masyarakat Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa tengah siap-siap merayakan ritual “Pangéling-ngéling Kalahiran Mama Mei Kartawinata“ yang dimulai pukul 19.00, 30 April 2024 hingga 1 Mei 2024 dini hari.

Mereka berusaha menyiapkan segala sesuatu dengan sempurna agar peringatan tahunan ini berjalan lancar. Saya tiba di lokasi satu setengah jam lebih awal. Suasana di sekitar pasewakan sudah ramai. Sekelompok perempuan muda sibuk bersolek dan penuh antusias. Mereka saling membantu dan mendandani satu sama lain.

Pangéling-ngéling Kalahiran Mama Mei Kartawinata merupakan acara rutin dalam rangka mengingat hari kelahiran Mama Mei Kartawinata, tokoh spiritual Penghayat Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, khususnya mereka yang tergabung di organisasi penghayat Budi Daya, Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), dan Aji Dipa. Tahun ini merupakan perayaan yang ke-127.

Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya yang kemudian disambung Kirab Sasajen yang diiringi musik tradisional. Anak-anak penghayat membawa sesajen dengan penuh kehati-hatian. Sebanyak 14 jenis isi sesajen disusun sedemikian rupa sebagai simbol manifestasi rasa syukur masyarakat penghayat kepada Sang Pencipta.

Berbagai penampilan kesenian turut meramaikan acara malam itu, sebagian penampilan dibawakan oleh anak-anak, seperti rampak kendang dan pencak silat.

Malam semakin larut. Acara Pangéling-ngéling Kalahiran Mama Mei Kartawinata semakin dekat dengan prosesi puncaknya. Masyarakat penghayat berpindah dari pasewakan menuju pasarean yang jaraknya tidak begitu jauh, dengan membawa 14 jenis sesajen yang sudah disiapkan sebelumnya. Atmosfer keheningan dan khidmat menyelimuti dinginnya malam.

Setelah lantunan pupuh Dangdanggula Kawali dan Asmarandana, acara Pangéling-ngéling Kalahiran Mama Mei Kartawinata memasuki babak penutup yang khusyuk. Di tengah suasana yang semakin sakral, masyarakat penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa mulai melantunkan doa sebagai tanda penghormatan dan ucapan terima kasih kepada leluhur.

“Kami masyarakat yang mengikuti ajaran Mama Mei itu berterima kasih atas apa yang sudah diajarkan oleh beliau kepada kami, jadi lebih ke mengucapkan rasa terima kasih kami gitu,” jelas Nanda Shelly, salah seorang penghayat muda.

Salah satu penghayat muda lainnya, Cep Ipan mengungkapkan rasa bangganya dengan sosok Mama Mei atas pemberian ajaran yang diwariskan salah satunya adalah cara bagaimana ia harus menghargai sesama makhluk.

“Yang paling saya tanamkan di dalam diri saya tuh tentang ajaran yang diwariskan oleh Mama Mei itu, beliau mengajarkan bahwa kita itu hidup berdampingan dengan alam dan kita harus menjaga alam, saling menghargai, saling menghormati,” ungkap Cep Ipan, penghayat muda yang juga terlibat dalam persiapan acara Pangéling-ngéling Kalahiran Mama Mei Kartawinata yang ke-127.

Mei Kartawinata lahir 1 Mei 1897 dari pasangan RD. Kartowidjojo dari Rembang (Madjapahit Brawidjaya) dan RD Mariah dari Bogor(Padjadjaran Siliwangi) (Boedi Daja M. Kartawinata, kebudayaan.kemdikbud.go.id). Mei Kartawinata merupakan tokoh yang aktif mengajaran ajaran leluhur. Pengajaran ini ia lakukan dengan membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Dua nilai terakhir tersebut penting karena bangsa Indonesia masih dalam cengkraman penjajah.

Aktivitasnya yang lantang menyerukan semangat kebangsaan dan kemerdekaan dianggap membahayakan bagi bangsa penjajah. Mei sempat dibui pada tahun 1937, 1942, 1946,dan 1949 dengan penjara yang berpindah-pindah mulai dari Bandung (penjara Cigereleng, penjara Banceuy, penjara Sukamiskin) hingga Cirebon, Yogyakarta dan Glodok, Jakarta.

*Foto dan Teks: Fitri Amanda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//