Trans Kuda Lumping Rancaekek
Seni kuda lumping kerap ditemukan di Rancaekek, Kabupaten Bandung. Para seniman berusaha mempertahankan kesenian tradisional ini tak punah ditelan zaman.
Seni kuda lumping kerap ditemukan di Rancaekek, Kabupaten Bandung. Para seniman berusaha mempertahankan kesenian tradisional ini tak punah ditelan zaman.
BandungBergerak.id - Lantunan kawih Sunda dari sang sinden mengalun syahdu diiringi gamelan tradisional yang dibawakan Paguyuban Seni Lumping Sinar Mustika. Warga Sukamulya, Rancaekek, Kabupaten Bandung berangsur-angsur keluar dari rumah mereka; ibu-ibu membawa bayinya, anak-anak berlarian; para pedagang mendekatkan gerobaknya menuju pertunjukan seni kuda lumping tersebut.
Ada sekitar 40 orang yang menjadi pemain dalam pertunjukan kuda lumping ini. Mereka memerankan tugas masing-masing. Selain sinden, kru musik terampil memainkan pelbagai gamelan seperti dogdog, tilingtit, tong, bamplak, kecrek, dan terompet Sunda. Kru lainnya berkumpul di tengah lapangan sambil menari mengikuti alunan musik yang dimainkan.
Setelah 15 menit menari, aksi dilanjutkan dengan siraman air dari para pawang. Mereka mengambil 4 kuda lumping berwarna hijau yang sudah disiapkan di dalam gerobak, sebelum diberikan kepada para pemain. Kuda-kuda lumping dikalungi kain yang sudah diolesi minyak tertentu dan dipercayai dapat memanggil karuhun ketika kain tersebut dihirup oleh para pemain.
Setelah kuda lumping diberikan kepada pemain, mereka berbaris sambil menghirup kain yang tepat berada di leher kuda. Suara tabuhan musik semakin lantang dan cepat, para pemain kuda lumping menari mengikuti alunan musik.
Para pemain lain terlihat mulai menari sampai tak sadarkan diri, orang Sunda menyebutnya kasurupan (trans). Ada pemain yang membaringkan diri di tanah dan melihat ke arah tabuhan musik sambil menjulurkan lidahnya; ada juga pemain yang mendekat suara tabuhan, badan mereka condong ke depan dengan salah satu kaki tertekuk dan kaki lainnya terjulur lurus dengan kedua tangannya memegang pinggang, mereka menatap tajam ke arah alat tabuhan musik, sesekali mereka mendekatkan telinganya ke alat musik yang ditabuh para pemain musik.
Rahmat, pimpinan Paguyuban Seni Lumping Sinar Mustika, mengambil satu kuda lumping lalu memancing pemain yang telah “dirasuki” untuk mengambil kuda lumping yang diperlihatkannya. Pemain tersebut menunjuk ke arah kuda tersebut, dengan mata merah ia tidak segan langsung berlari ke arah kuda lumping untuk memainkannya.
Pawang lainnya mengambil bangbarongan, sejenis barong yang terbuat dari karung goni, dan menaruh tepat di arah pemain yang telah “dirasuki” juga. Pemain tersebut terlihat menyeringai dengan kedua tangan dilebarkan, pawang terus memancing dan membuka badan bangbarongan. Tak butuh lama pemain tersebut masuk ke dalam bangbarongan dan langsung sigap dengan gaya menerkam, setelah beberapa detik berdiam bangbarongan tersebut langsung kegilaan untuk menerkam ke segala arah.
Setelah satu jam setengah beraksi di lapangan, atraksi kuda lumping dilanjutkan dengan berkeliling di sekitar desa Sukamulya. Mereka berjalan bertahap sambil memainkan seni kuda lumping. Sebagian anak sekolah ikut menonton aksi ini, ada yang menirukan gaya para pemain dengan manaruh tangan dipinggang dan mimik muka menyeringai.
Pada satu kesempatan, ada kejadian pemain terompet melakukan kesalahan. Salah satu pemain yang “dirasuki” langsung berlari menghampiri pemain terompet dan memukul terompet sampai terjatuh. Peniup terompet tersebut kemudian diganti, pemain yang “dirasuki” memberikan jampi-jampi dengan kedua tangannya berada di atas kepala peniup terompet yang baru.
Paguyuban Seni Lumping Sinar Mustika berusaha menyesuaikan diri dengan zaman. Banyak kombinasi yang dilakukan oleh pegiat kelompok seni ini, mulai dari tambahan alat sampai jenis lagu yang dinyanyikan.
Dedi Supriyadi sebagai wakil ketua Paguyuban Seni Lumping Sinar Mustika menjelaskan, penyesuaian diri ini agar seni kuda lumping tidak lekang di tengah zaman yang terus bergerak.
“Kami mencoba kombinasi baru untuk bisa lebih dekat dengan zaman, selain merekrut anak muda untuk bergabung kami juga mengkombinasikan lagu dangdut dengan lagu buhun, biar gak katinggaleun,” kata Dedi, kepada BandungBergerak.id.
Menurutnya, di masa lalu seni kuda lumping biasa diiringi lagu-lagu buhun. Dedi berharap perubahan pada corak kesenian ini bisa membuatnya lestari. “Untuk melestarikan budaya karuhun dahulu biar gak punah,” ucap Dedi.
*Foto dan Teks: Ryamizar Hutasuhut
COMMENTS