Tipiring Kota Bandung: Perlu Pendekatan Humanis dan Transparan agar tak Terjadi Konflik Sosial
Sanksi Tipiring Kota Bandung beragam, mulai teguran, hukuman sosial, hingga denda ratusan ribu. Khusus soal denda, tidak sedikit masyarakat yang keberatan.
Penulis Bani Hakiki28 Juli 2021
BandungBergerak.id - Salah satu respons Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung terhadap melonjaknya Covid-19 adalah dengan menjalankan sidang tindak pidana ringan (tipiring) on the street. Sanksi Tipiring Kota Bandung beragam, mulai teguran, hukuman sosial, hingga denda ratusan ribu. Khusus soal denda, tidak sedikit masyarakat yang keberatan.
Keberatan warga yang dianggap melanggar tentu beralasan mengingat ekonomi mereka sudah terpuruk karena pagebluk. Badan Kesatuan Kesatuan Politik, Bangsa (Kesbangpol) Kota Bandung mencatat laju pertumbuhan ekonomi tahun ini sangat miris, yakni minus 0,14 persen.
Di sisi lain, Pemkot Berdalih pemberlakuan denda untuk menimbulkan efek jera agar tegaknya protokol kesehatan demi mencegah semakin memburuknya Covid-19.
Aria Krishna, pemilik kedai makan Two Wheels Gone menjadi salah satu warga Bandung yang keberatan dengan kebijakan denda Tipiring Kota Bandung. Ia menilai, tidak ada kejelasan soal nilai denda yang perlu dikeluarkan bagi pihak yang dinilai melanggar.
“Petugas tidak memberikan penjelasan kenapa besaran uang denda itu harus dibayar. Kenapa (nilainya) segini, kenapa segitu. Biaya yang harus dikeluarkan juga gak sebanding dengan penghasilan kita yang sedang menurun,” ujar Aria Krishna, ketika dihubungi BandungBergerak, Senin (26/7/2021) lalu.
Lokasi Two Wheels Gone terletak di Jalan Cibodas, Kecamatan Antapani. Pada hari normal, kedai ini biasa buka 3 sore hingga 11 malam. Pada PPKM Darurat beberapa waktu lalu, jam tutupnya dipercepat jadi pukul 7 malam dengan aturan take away.
Aria terpaksa tetap membuka kedai tersebut karena harus menanggung biaya hidup keluarga dan para pegawai di bawahnya.
Pada 17 Juli 2021, kedainya terkena razia keliling Satgas Covid-19 setempat. Ketika itu, Fikri, seorang pegawainya sedang menyapu halaman dan tengah bersiap menutup kedai tidak lama setelah azan maghrib berkumandang. Fikri dihampiri oleh sejumlah petugas yang sedang melakukan monitoring dan pada waktu yang sama datang sekelompok pelanggan.
Kedai makan dengan konsep motor tua itu dianggap melakukan pelanggaran aturan PPKM Darurat. Kartu tanda penduduk Fikri pun ditahan dan dibawa ke Polsek sekitar. Padahal menurut penuturan Aria, belum ada bukti para pelanggan tersebut makan di tempat atau berkerumun.
“Saya kira awalanya, ini semua salah paham. Tapi, ada surat resmi bukti pelanggarannya, padahal pelanggan saya tahu kalau beli harus dibungkus, take away. Jadinya, kehilangan pelanggan iya, penghasilan juga gak dapet. Malah harus bayar,” ujarnya.
Sempat terjadi perdebatan sengit di antara kedua belah pihak. Namun, Aria memilih tidak ingin menambah masalahan dan menebus KTP pegawainya dengan biaya sebesar Rp 500 ribu rupiah.
Masalah yang menimpa Aria dengan kedainya menjadi sekelumit nasib warga di tengah kebijakan pengendalian Covid-19 yang tak kunjung terkendali. Kini, Pemkot Bandung memberlakukan kebijakan baru, yakni PPKM Level 4, sebuah aturan perpanjangan dari PPKM Darurat. Pada PPKM Level 4 Kota Bandung, sejumlah pelonggaran diterapkan, termasuk diperbolehkannya makan di tempat makan maksimal dalam waktu 20 menit.
Baca Juga: Demonstrasi Tolak PPKM Darurat di Bandung Berakhir Ricuh
PPKM Darurat Jadi Dilema Para Pelaku Usaha
Perwal PPKM Level 4 Kota Bandung, Beberapa Sektor Ekonomi Dilonggarkan
Humanis dan Transparan
Meski kini PPKM Darurat telah usai dan diganti PPKM Level 4, pengetatan sosial masih diperlukan di saat bencana Covid-19 belum menunjukkan tanda menurun. Namun yang menjadi catatan, penegakan aturan harus mengutamakan edukasi dan transparansi.
Sebab bisa jadi keberatan terhadap denda di masyarakat muncul karena edukasi tentang pencegahan Covid-19 masih kurang gencar. Hal ini terbukti dengan tingginya tingkat pelanggaran terhadap protokol kesehatan.
Badan Kesatuan Kesatuan Politik, Bangsa (Kesbangpol) Kota Bandung bahkan memprediksi jumah pelanggaran prokes di Kota Bandung masih terus bertambah. Pada bulan Juni 2021, tercatat sebanyak 2.044 pelanggaran perorangan dan 290 pelanggaran oleh pelaku usaha. Sementara data 1 hingga 14 Juli 2021 menunjukkan jumlah pelanggaran perorangan mencapai 1.145 dan pelaku usaha 332.
Tak kalah pentingnya, diperlukan pula transparansi penanganan Covid-19, termasuk di bidang anggaran maupun rincian jenis pelanggaran. Apa yang dikeluhkan Aria dan pegawai kedainya menunjukkan transparansi jenis pelanggaran dan besaran denda belum tersosialisasi dengan baik ke masyarakat luas.
Wali Kota Bandung, Oded M. Danial pernah mewanti-wanti para petugas di lapangan agar tetap mengedepankan tindakan edukasi, persuasif, dan humanis dalam penegakan aturan.
"Mang Oded meminta aparat di lapangan, seperti Satpol PP, Dinas Perhubungan dan kewilayahan tidak arogansi. Petugas harus persuasif dan humanis," terang Oded, dalam siaran pers terkait PPKM Darurat beberapa waktu lalu.
Masalah transparansi anggaran penanggulangan Covid-19 menjadi salah satu poin tuntutan utama dalam aksi unjuk rasa menentang PPKM Darurat berujung ricuh di Bandung, Rabu 21 Juli 2021. Tanpa edukasi, transparansi, dan pendekatan yang humanis, dikhawatirkan bencana Covid-19 memicu efek samping lain, yaitu konflik.
Masalah konflik sosial ini sudah ditengarai Kesbangpol Kota Bandung. Bahwa konflik bisa muncul di saat kondisi ekonomi yang mencekik, kesulitan para pelaku usaha, dan di saat penegakan hukum di lapangan oleh aparat. Kesbangpol juga mendorong setiap personel yang bertugas agar menegakkan aturan secara persuasif dan humanis. Unjuk rasa menentang PPKM Darurat sendiri dinilai sebagai bentuk konflik paling mencuat selama pandemi gelombang tahun kedua ini.