Sepuluh Keterampilan Masa Depan ala Warga dan Otoritas +62
Forum Ekonomi Dunia (WEF) merekomendasi 10 keterampilan yang dibutuhkan di masa depan. Warga dan otoritas +62 sudah menguasai semuanya.
Ica Wulansari
Pengkaji studi sosial-ekologi, sedang menempuh S3 Sosiologi Universitas Padjadjaran
2 Agustus 2021
BandungBergerak.id - Sebagai netizen yang budiman, saya tertegun membaca caption netizen yang kehilangan orang tuanya karena menjadi korban hoax. Akibat percaya pada hoax, yang bersangkutan tidak mau divaksin dan menolak masuk rumah sakit karena tidak mau di-covid-kan. Hoax yang dipercayai oleh orang tua netizen tersebut berisi pernyataan bahwa covid itu tidak berbahaya.
Di saat sedang trenyuh membaca caption netizen, saya seperti tersengat listrik mendengar ceramah di masjid belakang rumah saya. Salat Jumat berjamaah masih berlangsung walau lokasi saya tinggal termasuk dalam zona merah. Sang penceramah menyatakan bahwa tidak perlu melakukan jaga jarak karena jaga jarak itu harus dilakukan dalam konteks interaksi yang berbeda, yaitu menghadapi yang berbeda muhrim. Maka, seharusnya yang ditakuti adalah Sang Khalik, bukan takut kepada covid.
Saya mendengerkan ceramah itu sambil menjadi Iron Lady. Eh Iron Lady bukan istrinya Iron Man loh dan bukan jagoan pula. Maksudnya, saya sedang menyetrika setumpuk pakaian ketika tidak sengaja mendengar khotbah Jumat itu. Suara sang pengkhotbah yang keras menggelegar-membahana sehingga mau tutup kuping pun tetap terdengar.
Dua informasi yang saya dapatkan dalam waktu bersamaan membuat saya bingung harus mempercayai yang mana. Saya yakin para netijen, para warga, dan para hadirin sekalian pasti pernah merasakan atau berulang kali mengalami kejadian yang saya alami. Yang satu pernyataan dari orang yang kehilangan anggota keluarga akibat terkena Covid-19, sedangkan pernyataan lainnya berasal dari tokoh agama yang seolah merupakan kebenaran absolut.
Alih-alih bingung hendak memilih sikap yang mana, pihak otoritas pun menambah kebingungan. Misalnya, pihak otoritas menyatakan untuk menangkal covid bisa menggunakan kalung anticorona, dan obat cacing dapat dijadikan obat Corona. Selain itu, otoritas mengatakan penanganan covid sudah terkendali, eh besoknya diralat belum dapat dikendalikan. Jadi, informasi-informasi tersebut membuat “pusing pala Barbie”.
Baca Juga: Ketahanan Bencana ala Warga +62
Memanfaatkan Limbah Plastik untuk Bidang Konstruksi dan Perumahan Rakyat
Menarikan Agama di Panggung Milenium Ketiga
Dari Berpikir Analitis ke Merumuskan Solusi
Nah, di tengah kepusingan itu, saya lagi-lagi menambah kepusingan dengan membaca informasi terbaru. Informasi ini berasal dari Forum Ekonomi Dunia (WEF), wadah bagi pemimpun dunia, pebisnis dunia, maupun politisi seluruh dunia untuk berkumpul setiap tahunnya di Davos, Swiss. Forum Ekonomi Dunia ini membahas masalah-masalah ekonomi global yang menghasilkan rekomendasi 10 keterampilan yang dibutuhkan di masa depan. Ke-10 keterampilan itu yaitu bisa berpikir analitis dan menghasilkan inovasi, pembelajar yang aktif, mampu memecahkan masalah yang rumit, punya kemampuan berpikir kritis, kreatif, memiliki pengaruh sosial dan jiwa kepemimpinan, mahir menggunakan teknologi, mahir merancang dan membuat program teknologi, memiliki kemampuan tangguh dan dapat mengelola stres, serta memiliki nalar dan mahir merumuskan solusi.
Tampaknya 10 keterampilan itu ada pada warga dan otoritas +62. Pertama, keterampilan mikir analitis dan menghasilkan inovasi terbukti dengan menggunakan obat cacing untuk mengobati covid. Analisisnya adalah cacing itu bisa memakan virus covid sehingga ampuh menjadi obat covid. Kalung anticorona pun tidak hanya dipercaya menyebabkan si virus bablas, tapi makhluk halus pun tidak berani kalau ketemu jimat itu.
Kedua, pembelajar yang aktif terdapat dalam jiwa netijen baik yang budiman, setengah budiman maupun yang tidak berbudi. Misalnya, kesukaan belajar hanya dari referensi tunggal tanpa data dan bukti ilmiah yang tersebar di media sosial menunjukkan bahwa netijen dan warga senang belajar dari satu referensi saja. Maka, sikap yang dipilih pun tidak terduga dan tidak terarah atau serampangan, menunjukkan referensi yang ala kadarnya secara substansi apalagi analisisnya yang ala-ala.
Ketiga, mampu memecahkan masalah yang rumit sudah ditunjukkan oleh otoritas. Misalnya, penanganan covid terkendali dalam jangka waktu singkat dan keesokan harinya dinyatakan tidak terkendali.
Keempat, punya kemampuan kritis itu ditunjukkan dengan tindakan netijen maupun warga yang membagikan berita palsu yang tidak berfaedah. Juga komentar ala pakar yang dilontarkan netijen. Komentar itu cenderung tubruk sana tubruk sini di media sosial yang berakhir dengan adu bacot tanpa penyelesaian, apalagi menghasilkan solusi.
Kelima, kreatif dalam menciptakan informasi palsu sehingga memakan korban. Korban yang percaya pada tidak eksistensialnya covid dan melawan bentuk-bentuk antisipasi covid hingga penanganan saat sudah tertular covid yang berujung pada kematian. Maka, betapa mengerikannya kreativitas ini karena sudah membinasakan warga.
Keenam, pengaruh sosial dan jiwa kepemimpinan itu sudah terlihat dari akademisi yang bajerep, yang membandingkan statistik covid untuk menunjukkan bahwa junjungannya berhasil mengatasi pandemic. Tidak hanya itu, pengambilan sikap maupun pernyataan dari otoritas seringkali menyejukkan sehingga kita menjadi terlena dan di-nina bobokan. Padahal sebaliknya, statistik covid itu bukan angka tapi ada nyawa, kehidupan, dan dampak yang melingkupi orang-orang yang terdampak.
Ketujuh, mahir menggunakan teknologi yang sudah tidak diragukan wong warga +62 fasih menggunakan medsos.
Kedelapan, nah urusan kemahiran merancang dan membuat teknologi ini mungkin perlu ditingkatkan. Akan tetapi, kemahiran merancang substansi yang tidak substansial dan tidak relevan merupakan keterampilan yang dimiliki oleh netijen. Misalnya, membenturkan isu agama dari perspektif tertentu dengan kepentingan publik dari perspektif tertentu dengan menggunakan kacamata kuda sehingga penimbulkan perdebatan panas yang menghasilkan kesia-siaan yang unfaedah.
Kesembilan, memiliki kemampuan tangguh dan mengelola stres. Untuk poin kesembilan ini sepertinya warga harus banyak berlatih sabar menghadapi penerapan kebijakan yang berganti-ganti, bikin gemes karena kebijakan menguntungkan elite semata, hingga kebijakan yang menyulitkan netijen dan warga. Mau protes, takut terkena UU ITE, mau diem aja, juga engga kuat. Jadi ‘Mohon bersabar ini ujian’.
Terakhir, memiliki nalar dan menghasilkan solusi terbukti dengan, misalnya, tetap berkerumun dan tidak menggunakan masker pada saat pandemi. Nalar tidak mematuhi prokes itu tepat sekali menyebabkan sikap bersahabat kepada covid-19 sehingga covid berkembang secara berjamaah.
Demikianlah ke-10 keterampilan penting itu sudah dimiliki oleh otoritas dan warga +62. Lantas ke depan bagaimana?
Ke depan, kita mampu bertahan hidup dengan 10 keterampilan tersebut dengan pelan-pelan hanyut kemudian tenggelam bersama. Karamnya tidak seperti kapal Titanic, tetapi mati pelan-pelan saat dininabobokan.