• Kampus
  • Pencairan Dana Penanggulangan Covid-19 Pemerintah Daerah di Indonesia masih Lamban

Pencairan Dana Penanggulangan Covid-19 Pemerintah Daerah di Indonesia masih Lamban

Pencairan dana penanggulangan Covid-19 baru 22 persen secara nasional,

Petugas membentang poster kampanye 5M di simpang Cikapayang, Bandung, 30 Juli 2021. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana2 Agustus 2021


BandungBergerak.idPencairan dana penganggulangan Covid-19 dari APBD di setiap daerah dinilai masih sangat minim. Padahal, dana tersebut sangat membantu masyarakat yang terkena dampak ekonomi dan terpapar Covid-19.

Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI, Erwan Agus Purwanto, mengatakan minimnya pencairan dana untuk penanganan Covid-19 di daerah terjadi karena adanya prinsip kehati-hatian dan kekhawatiran yang berlebihan.

Para kepala daerah disebut khawatir terhadap konsekuensi hukum dari pencairan anggaran tersebut. Namun kekhawatiran berlebihan ini justru menjadikan kebijakan penanganan Covid-19 jadi lambat dan tidak optimal.

“Pencairan dana untuk Covid-19 di daerah masih kecil sekali, secara nasional baru 22 persen,” kata Erwan dalam bincang-bincang bertajuk Tantangan Keterbukaan Informasi Publik dan Reformasi Birokrasi di Masa Pandemi Covid-19 yang digelar UGM, sebagaimana dikutip Senin (2/8/2021).

Ia menjelaskan, lambannya respons daerah melakukan pencairan dana penanganan Covid-19 menurutnya karena kepala daerah dan aparatur negara terbiasa dalam proses pencairan anggaran dalam situasi normal.

Mereka terbiasa dengan tahap perencanaan, pencairan, penggunaan, dan laporan pertanggungjawaban secara detail. Padahal, menurut Erwan, dalam situasi kegawatdaruratan, kepala daerah bisa mengambil diskresi dan keputusan cepat meski tetap mengutamakan prinsip kehati-hatian. Oleh karena itu, ia meminta perlu percepatan penyerapan anggaran penanganan Covid-19.

“Dalam situasi darurat, jika cara kerja kita masih mengandalkan  situasi normal maka akan sangat lambat,” katanya.

Ia berpendapat pengambilan keputusan cepat dalam situasi masa pandemi sekarang ini bisa dilakukan asalkan penggunaan anggaran dilakukan secara jelas dan transparan. Namun birokrasi di Indonesia selama ini tidak lepas dari persoalan korupsi, penyalahgunaan wewenang, lemahnya pengawasan, inefisiensi anggaran, akuntabilitas kinerja yang belum optimal, dan profesionalisme sumber daya manusia yang rendah.

“Birokrasi kita sering dianggap lamban, boros anggaran dan korup,”paparnya.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Jangan Lengah meski Banyak Pasien Sembuh
Keterisian Rumah Sakit Kota Bandung Turun, Jumlah Pasien Covid-19 masih Tinggi

Erwan menegaskan pemerintah dalam dua dekade terakhir telah melakukan berbagai upaya melakukan reformasi birokrasi yang dimulai melakukan penyederhanaan struktur birokrasi, membubarkan 27 lembaga yang diintegrasikan fungsi dan tugasnya serta memperkuat pengawasan dan kontrol publik pada kerja birokrasi.

“Pengawasan yang dilakukan pada kerja birokrasi sudah banyak sekali dilakukan dengan adanya lembaga untuk mengawasi kerja birokrasi, namun cukup mengagetkan masih ada celah dan ruang adanya praktik korupsi,” tandasnya.

Menurut pandangannya masyarakat perlu dilibatkan dalam mengawasi birokrasi melalui berbagai jalur pengaduan dengan berbagai jalur baik lewat website dan sosmed yang dimiliki setiap lembaga publik.

Pakar Manajemen Sumber Daya Manusia FEB UGM, Gugup Kismono mengatakan untuk membentuk perilaku baik para aparatur negara di sebuah lembaga atau organisasi harus dimulai dari pemimpinnya. Jika pemimpin memiliki perilaku baik maka akan baik pula organisasi tersebut.

“Salah satu usaha meningkatkan perilaku baik dan tata kelola itu jika pemimpin berperilaku baik maka organisasinya jadi akan baik. Bahkan, bisa berimbas pada pribadi dari anggota organisasi itu,”katanya.

Mengenai pengambilan keputusan cepat di masa pandemi, Gugup yang kini menjabat sebagai Sekretaris Rektor UGM menuturkan bahwa para pimpinan UGM terbiasa mengambil keputusan cepat dalam situasi kegawatdaruratan.

Salah satunya, adanya kebijakan Rektor UGM menyediakan selter dengan 1.226 bed untuk ruang isolasi mandiri bagi pasien Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

“Kita banyak mendapat bantuan dan donasi dari mitra tanpa mengikuti prosedur normal, namun sangat akuntabel agar selter bisa cepat dimanfaatkan oleh masyarakat,” kata Gugup Kismono.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//