Somasi Terbuka untuk Presiden Jokowi dan Empat Menterinya: Pembelajaran Tatap Muka di Masa Pandemi Melanggar Aturan
Pengguliran pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas disebut melanggar aturan. Yang dituntut dari pemerintah: transparansi data dan percepatan vaksinasi anak.
Penulis Delpedro Marhaen4 September 2021
BandungBergerak.id - Langkah pemerintah menggelar Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas pada satuan pendidikan di wilayah PPKM level 1-3 menuai banyak protes. Aliansi Pendidikan dan Keselamatan Anak melayangkan somasi terbuka kepada Presiden Joko Widodo pada Jumat, (03/09/2021) siang.
Selain presiden, aliansi yang terdiri dari delapan organisasi sipil ini juga melayangkan somasi terbuka kepada kepada Menteri Kesehatan Budi Gunawan Sadikin, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Riset Nadiem Anwar Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, serta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Aliansi meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan PTM dalam waktu 14 hari ke depan.
“Setidaknya ada tujuh peraturan perundang-undang yang kemudian mulai diabaikan dan tidak menjadi acuan lagi, sehingga kemudian yang jadi pedoman adalah tentang standar level PPKM,” kata Direktur Eksekutif Surabaya Children Crisis Center, Edward Dewaruci.
Peraturan perundangan-undangan yang dilanggar tersebut mencakup pertama, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3. Kedua, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan pada Pasal 4, 6, 134 ayat (1), dan pasal 135 ayat (1) dan (2). Ketiga, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pada Pasal 3.
Keempat, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak. Kelima, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular pada Pasal 5 dan 6. Keenam, Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 4 dan 5. Dan terakhir, Konvensi Hak anak yang telah diratifikasi Keppres Nomor 26 Tahun 1990 pada Pasal 6 dan 24.
Merujuk adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut, Aliansi Pendidikan dan Keselamatan Anak meminta dalam waktu 14 hari Presiden RI dan menteri terkait untuk melakukan enam hal penting, yakni membuka data positivity rate di setiap daerah secara transparan, melakukan percepatan vaksinasi dan memastikan segera tercukupinya kuota vaksin bagi seluruh anak usia 12-17 tahun di Indonesia, mewajibkan kepada seluruh satuan tingkat pendidikan agar peserta didik yang belum menerima vaksin untuk tetap melakukan pembelajaran secara daring, melakukan tinjauan lapangan terhadap seluruh satuan tingkat pendidikan terkait kepatuhan syarat-syarat penyelenggaraan pembelajaran tatap muka berdasarkan rekomendasi WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia, menghentikan pembelajaran tatap muka pada satuan tingkat pendidikan yang tidak mematuhi rekomendasi tersebut secara akumulatif, serta menghentikan seluruh rangkaian pembelajaran tatap muka pada seluruh satuan tingkat pendidikan di Indonesia apabila terdapat satu sekolah yang terkonfirmasi menjadi klaster Covid-19.
Untuk diketahui, Aliansi Pendidikan dan Keselamatan Anak ini terdiri dari Arek Lintang (ALIT) Indonesia, AMAR Law Firm & Public Interest Law Office (AMAR), Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI), Forum Orang Tua Siswa (Fortusis), Hakasasi, Laporcovid19, Lokataru, dan Surabaya Children Crisis Center (SCCC).
Baca Juga: Satgas Covid-19 Bandung Kaji Penundaan Sekolah Tatap Muka
Sekolah Tatap Muka di Bandung Terkendala Banyak ‘PR’
Khawatir Klaster Sekolah Tatap Muka Terbatas Kota Bandung di Tengah Minimnya Vaksinasi Covid-19
Fakta-fakta di Lapangan
Aliansi menemukan fakta bahwa berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan persentase vaksinasi pada usia anak di Indonesia saat ini baru mencapai 36 persen, sehingga 64 persen lainnya belum mendapatkan vaksinasi dengan faktor keterbatasan program vaksin untuk usia anak.
“Selama tidak ada percepatan vaksinasi untuk anak, pemerintah sebaiknya menghentikan PTM. Apalagi bagi anak usia di bawah 12 tahun yang sampai saat ini belum menjadi kelompok target vaksinasi,” kata ketua Fortusis Dwi Subawanto.
Senada dengan Wanto, Direktur Eksekutif Yayasan Arek Lintang Indonesia (ALIT), Yuliati Umrah juga menilai pemerintah nekat mengambil kebijakan ini. ALIT mencatat anak dampingannya di delapan kabupaten di tiga provinsi yang berusia antara 7-15 belum satu pun mendapatkan akses vaksin Covid-19 untuk anak-anak.
“Di luar dampingan kami, masih banyak anak-anak juga yang belum mendapatkan akses vaksin terutama, anak-anak di bawah usia 18 tahun,” kata Yuliati.
Merujuk pernyataan Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) pada bulan Juli 2021, lanjut Aliansi, positivity rate usia anak berada di angka 13 persen, namun per akhir Agustus positivity rate anak naik menjadi 15 persen. Berdasarkan data Satgas Penanganan Covid-19 per 11 Agustus 2021, sebanyak 2,9 persen anak berusia 0-5 tahun terpapar Covid-19 dengan korban meninggal dunia 0,5 persen. Pada usia anak 6-18 tahun, sebanyak 10 persen anak terkonfirmasi positif Covid-19 dengan korban meninggal dunia mencapai 0,5 persen.
“Survey KPAI sepanjang tahun 2020 tercatat sekitar 350 ribu anak di Indonesia terpapar Covid-19 dan sekitar 800 anak meninggal sejak awal pandemi. Adapun sepanjang tahun 2021 sampai dengan bulan Juni hampir sejumlah 260 ribu kasus terkonfirmasi merupakan anak usia 0-18 tahun,” demikian tertulis dalam surat tertanggal 3 September 2021 tersebut.
LaporCovid19 menyebut sepanjang Juli 2021 terdapat 29 laporan keluhan masyarakat yang melaporkan sekolah melakukan pembelajaran tatap muka, terbanyak dari wilayah Bogor, Jakarta, Bandung, Bekasi, Bali, dan Tangerang. Dari laporan masyarakat tersebut, sebanyak 17 persen sekolah yang melakukan pembelajaran tatap muka sudah menjadi klaster Covid-19. Kemudian 52 persen laporan menyatakan terdapat pelanggaran protokol kesehatan dalam proses pembelajaran tatap muka.
Laporcvovid19 juga menemukan terjadinya klaster COVID-19 dalam percobaan pembelajaran tatap muka di Padang, Bandung, Tasikmalaya dan Sawahlunto.
Di Bawah 5 Persen
Laporcovid19 mengatakan, sekolah dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka terbatas jika positivity rate di Indonesia sudah mencapai di bawah 5 persen. Hal tersebut merujuk pada rekomendasi World Health Organization (WHO) yang menyebut angka aman untuk menyelenggarakan pembelajaran tatap muka yakni batas positivity rate 5 persen.
“WHO sejak awal sudah menyampaikan salah satu indikator bahwa penularan Covid-19 itu terkendali di sebuah wilayah apabila positivity rate di bawah 5 persen. Kalau belum di bawah 5 persen, belum bisa dikatakan terkendali. Sementara saat ini positivity rate rata-rata mingguan [di Indonesia] masih sekitar 30 persen,” kata Irma.
Setali tiga uang, Iwan Hermawan dari FAGI meminta agar PTM tidak dilakukan dengan asal-asalan. Menurunya, PTM saat ini dilaksanakan hanya atas dasar landasan persyaratan administrasi dari aturan PPKM.
Jika PTM digelar, lanjut Iwan, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan oleh perangkat terkait dengan sungguh-sungguh. Harus ada validasi atau betul-betul evaluasi dari aparat setempat, setidaknya dari Tim Gugus Covid-19 atau Puskesmas setempat. Izin hanya diberikan bagi sekolah yang betul-betul sudah siap menjalankan PTM. Bagi yang belum siap, atau bahkan asal-asalan menyiapkan, jangan diberikan izin.
“Namun yang saya temui di lapangan, agar bisa menjalankan PTM, berbagai cara dilakukan, bila perlu menyuap tim ini yang penting bisa menjalankan PTM,” kata Iwan.
Sementara itu, pada akhir Agustus 2021 lalu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) memberikan sepuluh poin penting yang perlu diperhatikan ihwal PTM terbatas. Pertama, pembelajaran tatap muka dapat dimulai secara bertahap, namun harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
“Syarat agar anak boleh mengikuti sekolah tatap muka untuk anak usia 12-17 tahun harus sudah divaksinasi. Guru dan perangkat sekolah lainnya juga harus sudah divaksinasi,” demikian bunyi poin kedua.