Keputusan Pembelajaran Tatap Muka seharusnya Melibatkan Anak-anak
Pembukaan sekolah tatap muka secara tak langsung membuka risiko terjadinya kluster Covid-19 di lingkungan sekolah. Orang tua mempertanyakan skenario terburuk.
Penulis Sarah Ashilah6 September 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah telah menyetujui pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas untuk sekolah-sekolah di wilayah PPKM Level 3. Di Kota Bandung, ada 330 sekolah yang dinilai siap melaksanakan PTM Terbatas mulai Rabu, 8 September 2021.
Rencana sekolah tatap muka tersebut menimbulkan kekhawatiran orang tua. Terlebih anak-anak yang telah mendapatkan vaksin Covid-19 baru mencapai 36 persen, berdasarkan survei dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
Bahkan kebijakan sekolah tatap muka akan membuka risiko terjadinya kluster Covid-19 di sekolah-sekolah. Selain isu kesehatan, sejumlah aturan penyelenggaraan PTM Terbatas terkesan diskriminatif.
Eko Kriswanto, selaku pemerhati perlindungan anak, mengungkapkan pandangannya terkait kebijakan PTM Terbatas pada diskusi daring bertajuk Menagih Tanggung Jawab Pemerintah dalam Pembelajaraan Tatap Muka, Minggu (5/9/2021), yang dipersembahkan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung.
Ia menegaskan, hak anak dalam mendapatkan pendidikan layak memang seharusnya dipenuhi meskipun negara sedang dilanda bencana pagebluk Covid-19. Transfer ilmu harus tetap berjalan dengan model pendidikan dalam situasi bencana.
Meski demikian, Eko mengungkapkan kebijakan apa pun yang dibikin pemerintah haruslah berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak.
“Apa yang terbaik bagi anak, yang paling tahu ya anak-anaknya itu sendiri. Sayangnya, anak-anak tidak diberikan ruang dialog dalam pengambilan keputusan. Yang rapat, hanya orang-orang dewasa. Mereka seolah seperti kelinci percobaan,” ujar Eko.
Keterlibatan anak-anak dalam mengambil keputusan terbaik bagi diri mereka dinilai menjadi suatu poin penting dalam persoalan PTM Terbatas ini. Karena pada akhirnya anak-anaklah yang menjalaninya.
Kebijakan Diskriminatif dan Potensi Kekerasan pada Anak
Dalam kebijakan PTM Terbatas, ada aturan yang hanya memperbolehkan anak memakai kendaraan pribadi saat pergi ke sekolah. Kebijakan ini dinilai diskriminatif. Eko Kriswanto khawatir anak-anak yang orang tuanya tak memiliki kendaraan pribadi akan merasa semakin terpinggirkan.
Belum lagi angka kekerasan pada anak yang semakin tinggi di masa pandemi ini, baik di rumah ataupun di dunia maya. Ada kekhawatiran munculnya ranah baru menyangkut kekerasan pada anak jika PTM Terbatas berlangsung.
Menurut Eko, bukan tidak mungkin anak-anak akan mengunjungi mal atau tempat-tempat umum lainnya sepulang sekolah. Saat itulah mereka rentan mengalami kekerasan ataupun perundungan. Misalnya, aktivitas mereka di ruang publik difoto kemudian diunggah di media sosial dengan narasi yang menyudutkan.
Perwakilan orang tua, Nike Kamarubiani yang juga seorang dosen di Departemen Pendidikan Masyarakat UPI, mengaku masih kebingungan terkait persiapan PTM Terbatas. Hingga saat ini ia baru mendapatkan berbagai survei angket terkait kesiapan dan simulasi PTM Terbatas.
Nike menilai pelibatan orang tua dalam persiapan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas sangatlah penting. Namun selama ini persiapan cenderung sepihak, yakni oleh pemerintah dan pihak sekolah saja. Sebagai orang tua, ia merasa hanya jadi penonton.
“Kalau memang mau PTM Terbatas, seharusnya kan jelas seperti apa. Lalu apa saja yang harus disiapkan? Saya pribadi sih baru sebatas menerapkan prokes saja terhadap anak-anak. Kami sebagai orang tua tidak diberitahu, jika kemungkinan terburuknya sekolah menjadi klaster baru, kami harus bagaimana?” tutur ibu tiga anak itu, pada acara yang sama.
Kegagalan Pembelajaran Jarak Jauh
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat, Dan Satriana yang juga hadir dalam diskusi, menegaskan pihaknya akan terus mengawal pelaksanaan uji coba PTM Terbatas, termasuk mengawasi kinerja Satgas Covid-19, mitigasi, dan menerima pengaduan terkait pelaksanaan Pembelajaran Tatap Muka Terbatas.
Meskipun PTM Terbatas memiliki landasan kebijakan SKB 4 Menteri RI, namun Dan Satriana merasa ada hal-hal yang belum jelas. Misalnya, belum ada jangka panjang antara transisi PTM Terbatas ke masa kebiasaan baru. Jika PTMT ingin berhasil, seharusnya ada semacam blueprint yang meproyeksikan masa depan kegiatan belajar-mengajar di sekolah sekurang-kurangnya tiga tahun ke depan.
Dan juga menyoroti kegagalan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang digelar sejak awal pagebluk. Kegagalan ini memicu banyak orang tua dan anak memilih PTM Terbatas di saat penularan Covid-19 masih terjadi dan vaksinasi Covid-19 belum merata.
Di saat yang sama, pertimbangan-pertimbangan yang dipikirkan orang tua murid tidak didasari informasi yang memadai, sehingga PTM Terbatas seolah menjadi rencana melarikan diri dari permasalahan PJJ yang belum terselesaikan. Kegagalan PJJ sendiri terjadi karena orang tua dibiarkan berjuang sendiri mengajari anak-anaknya, tanpa diberi amunisi yang cukup.
Dan berpendapat, PTM Terbatas dan PJJ seharusnya tidak boleh dipisahkan, dalam artian, orang tua dapat memilih PTMT atau PJJ. Pemerintah juga wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksaan pembelajaran tatap muka maupun jarak jauh.
Persentase Vaksin Covid-19 masih Minim
Pelaksanaan PTM Terbatas yang digulirkan pemerintah dinilai tidak realistis jika menghitung persentase vaksinasi Covid-19. Di Jawa Barat, cakupan vaksinasi dosis pertama untuk tenaga pendidik baru mencapai 44, 78 persen dan vaksinasi dosisi kedua hanya mencapai 30,88 persen.
Dilihat dari segi sarana dan prasarana PTM Terbatas, memang banyak sekolah yang sudah menyiapkannya. Sayangnya, Ombudsman RI Perwakilan Jawa Barat menilai masih banyak sekolah yang belum mengembangkan moda pembelajaran PTM Terbatas. Di Kota Bandung yang notabene Ibu Kota Jawa Barat, hanya ada 18 sekolah yang sudah menyiapkan moda pembelajaran.
“Kami menyarankan agar menyebutnya dengan PTM bertahap saja. Tidak bisa dipungkiri kan kalau sekolah tatap muka ini memang masih percobaan. Jangan sampai ada euforia yang mendorong sekolah untuk buka sebanyak mungkin. Sekolah yang benar-benar siap saja yang boleh melaksanakan PTM,” ungkap Dan Satriana.
Dan mewanti-wanti pihak sekolah agar tidak boleh lepas tangan apabila ada muridnya yang terpapar Covid-19, walaupun sebelumnya sekolah sudah mendapat izin dari orang tua dalam pelaksanaan PTM Terbatas. Di sinilah peran mitigasi sangat diperlukan. Apabila ada sekolah yang tidak bertanggung jawab, maka masyarakat dapat melapor kepada Ombudsman melalui whatsapp di nomor 08119863737 dan telepon 022-7103733.