Mengingat Perjuangan Munir, Menggugat Penyempitan Ruang Publik di Kota Bandung
Aksi Kamisan Bandung ke-361 menyuarakan 17 tahun kasus pembunuhan Munir Said Thalib yang belum tuntas terungkap. Mereka juga menggugat penyempitan ruang publik.
Penulis Bani Hakiki10 September 2021
BandungBergerak.id - Aksi Kamisan Bandung ke-361 yang digelar pada Kamis (9/9/2021) sore di sekitar Gedung Sate, Kota Bandung, menyuarakan 17 tahun kasus pembunuhan Munir Said Thalib yang belum juga tuntas terungkap. Aksi yang diikuti anak-anak muda ini juga menggugat penyempitan ruang publik sebagai tempat menyampaikan ekspresi.
Berbagai kain dan baliho bertuliskan bermacam pesan dan tuntutan terhadap negara menghiasi jalan raya di sebelah kiri Gedung Sate. Wajah Munir ada di mana-mana.
Sosok Munir sudah tidak asing lagi bagi sebagian besar anak muda di Kota Bandung. Dia dikenal sangat lantang dalam memperjuangkan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Semangat tokoh pemberani dan kritis terhadap rezim inilah yang ingin terus dilipatgandakan.
“Kita akan berlanjut terus di peringatan-peringatan lainnya. Ada kasus tragedi Tanjung Priuk 1984, ada Hari Demokrasi, sampai genosida 1965-1966. Kita harus terus merawat kewarasan. Munir sangat seksi untuk pembahasan (HAM), tapi kita juga jangan lupa kasus-kasus yang lain,” tutur Feru Jaya, salah satu pegiat Kamisan Bandung.
Aksi kamisan diisi dengan beberapa kegiatan, mulai dari pembacaan puisi, orasi kebudayaan, hingga penampilan musik. Masih di tengah pandemi, para peserta menggunakan masker dan menjaga jarak kerumunan. Kegiatan berlangsung hingga petang.
Seniman pantomim Wanggi Hoed, yang juga merupakan inisiator Aksi Kamisan Bandung, mementaskan pertunjukkan teatrikal. Ia juga mengajak beberapa orang untuk ikut serta dalam penampilannya. Topeng wajah Munir dipakai untuk melambangkan bahwa jiwa pejuang HAM itu masih tertanam di tengah masyarakat, meski tubuhnya sudah dikebumikan. Menyusul Wanggi, seniman mural Terorski mendemonstrasikan pembuatan karya secara langsung atau live painting berupa mural bertema kematian Munir.
Baca Juga: Aksi Kamisan Bandung Peringati Kasus Pelanggaran HAM September Hitam
Aksi Mural Kamisan Bandung Jelang September Hitam
PROFIL AKSI KAMISAN BANDUNG: Sewindu Merawat Ingatan
Malam Saipul, salah satu penampil Aksi Kamisan Bandung sore itu, mengungkapkan bahwa kegiatan Kamisan merupakan sebuah ruang penting untuk mempelajari apa yang telah terjadi di masa lalu dan yang mencerminkan kondisi hari ini. Pemusik folk itu berharap, rangkaian tahunan September Hitam bisa menemukan solusi untuk sederet kasus pelanggaran HAM berat yang tidak terselesaikan di Indonesia.
“Bagi aku (Kamisan) itu seperti kegiatan yang aku yakini, sebuah ruang bagi kita untuk bisa menciptakan keterhubungan antara (masyarakat) bersama. Siapa tahu bisa ada titik terang,” ungkapnya.
Aksi Kamisan Bandung secara konsisten menyuarakan isu HAM selama 8 tahun terakhir dan telah menjadi wadah gerakan sosial yang mengusung keberpihakannya terhadap masyarakat. Kegiatan ini juga telah mendorong kesadaran di tengah anak muda bahwa ruang publik di kota ini bukan hanya bisa sekadar dijadikan tempat berwisata atau berekreasi, tapi juga bisa digunakan untuk menyuarakan pendapat dan kritik terhadap rezim.
Lokasi Berpindah-pindah
Dalam dua pekan terakhir, lokasi rangkaian September Hitam oleh Aksi Kamisan Bandung selalu berpindah, tidak sesuai dengan informasi awal yang dikabarkan melalui akun media sosial. Pada rangkaian pertama aksi pekan lalu, kegiatan dihelat di Taman Monumen Perjuangan yang sebelumnya direncanakan di depan Gedung Sate.
Kejadian berulang pada rangkaian aksi pekan kedua yang sebelumnya diinformasikan bakal diadakan di Taman Monumen Perjuangan, tapi mendekati waktu yang ditentukan, lokasi dipindahkan secara mendadak. Penyebabnya, selalu saja terjadi penutupan akses jalan di setiap lokasi yang mereka kabarkan sebelumnya. Para pegiat Kamisan Bandung meyakini ini sebagai sebuah kesengajaan.
Feru Jaya berpendapat, sabotase lokasi aksi dan ancaman pembubaran yang tidak jarang mereka alami sebagai cerminan kondisi buruk kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat. Namun, Feru juga menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar dan menjadikannya substansi lain untuk menguji konsistensi gerakan yang pertama kali lahir di Istana Negara, Jakarta, pada 14 tahun lalu tersebut.
“Bandung yang katanya kota ramah HAM, representasinya apa? Ruang publik aja sulit diakses,” ujarnya.
Menurut Feru, sudah saatnya masyarakat menyadari bahwa politik dan HAM merupakan isu yang seharusnya inklusif di tengah masyarakat. Kkeduanya merupakan isu yang melingkupi kehidupan sehar-hari warga. Aksi Kamisan Bandung pun hadir sebagai pemantik kesadaran yang mendorong masyarakat untuk menuntut keterbukaan atau transparansi informasi kepada negara. Bandung, yang dikenal telah melahirkan banyak subkultur, seharusnya bisa punya kekuatan besar untuk menginisiasi sebuah perubahan.
“Hari ini teman-teman mempertanyakan kembali bagaimana posisi kita. Bagaimana penuntasan kasus pelanggaran HAM itu tergantung dari kesadaran warga sendiri, bukan dari aktivis, karena HAM sudah menempel sejak lahir dalam diri kita,” katanya.