Menanti Terobosan untuk Segudang Masalah Kesehatan Mental di Indonesia
Ada salah satu jenis kesehatan yang sering diabaikan , yakni kesehatan jiwa atau juga disebut kesehatan mental (mental health).
Santika Dewi Khaerani Alamsyah
Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
15 September 2021
BandungBergerak.id - Tak bisa dibantah bahwa kesehatan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan ahli-ahli serta penemuan-penemuan di bidang kesehatan yang dapat menjamin serta menangani masalah kesehatan masyarakat. Namun masih ada salah satu jenis kesehatan yang sering diabaikan oleh masyarakat, yakni kesehatan jiwa atau juga disebut kesehatan mental (mental health).
Gangguan mental merupakan suatu kondisi kesehatan yang berhubungan dengan fungsi otak manusia sehingga mengakibatkan perubahan emosi, perilaku, ataupun keduanya yang dapat menimbulkan gejala nyeri, disabilitas hingga resiko yang fatal (American Psychiatric Association, Ranna Parekh, 2018). Gangguan kesehatan jiwa bisa menimpa siapa saja, tidak memandang usia, gender, hingga status ekonomi ataupun jabatan seseorang.
Penyebab gangguan jiwa beragam, mulai perundungan (bullying), trauma, ketakutan berlebih, halusinasi, stres, fungsi otak yang tidak normal, hingga berbagai macam penyakit yang menimbulkan gangguan kesehatan jiwa.
Dalam hal ini, sarana dan prasarana untuk menangani berbagai gangguan kejiwaan di masyarakat sangatlah penting. Tak kalah pentingnya, dibutuhkan perlindungan serta pertanggungjawaban hukum dalam menangani masalah kesehatan mental ini. Orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa bisa berujung menyakiti orang lain, menyakiti diri sendiri, hingga bunuh diri.
Seperti yang dapat kita lihat saat ini, masih ada orang dengan gangguan jiwa atau mental yang berkeliaran di jalanan, mereka tidak memiliki keluarga atau siapa pun yang mengurusinya. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian dan pertanggungjawaban hukum pada orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Di saat yang sama, pemerintah perlu memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan mental.
Baca Juga: Kesehatan Mental di Indonesia belum Mendapat Perhatian Layak
Data Penerima Bantuan Iuran Layanan Kesehatan di Kota Bandung 2014-2019, Naik Mendekati 1 Juta Orang
LaporCovid-19 Desak Pemerintah Penuhi Hak Kesehatan Warga di Masa Pandemi
Patronasi Hukum
Pemerintah wajib mensejahterakan, mengatur, dan mengayomi masyarakatnya, termasuk menyediakan fasilitas-fasilitas kesehatan mulai dari bidan, klinik, hingga rumah sakit. Keberadaan rumah sakit jiwa pun sama pentingnya dengan keberadaan fasilitas-fasilitas kesehatan lainnya, bahkan rumah sakit jiwa harus dibuat khusus dan terpisah dari fasilitas kesehatan umum lainnya karena para pasien rumah sakit jiwa membutuhkan perlakuan khusus agar dapat pulih dengan sempurna.
Patronasi hukum di sini diartikan sebagai upaya perlindungan dan pengayoman dari lembaga hukum dan pemerintah kepada masyarakat dalam ranah kesehatan jiwa. Sehingga ketika terjadi pelanggaran hukum terhadap penderita gangguan jiwa, dapat ditangani sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Perlu diingat bahwa pelanggaran hukum terhadap orang dengan gangguan jiwa merupakan salah satu pelanggaran HAM. Pengertian ini sejalan dengan Guru Besar bidang hukum Sajipto Raharjo yang berpendapat, “Perlindungan hukum yakni sebagai pengayoman terhadap HAM bagi masyarakat agar mendapatkan segala hak yang diberikan oleh hukum.” (Sajipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, 2000).
Dalam praktiknya, kasus kesehatan jiwa semakin hari kian meningkat. Bahkan pada tahun 2018, Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) mencatat penderita yang mengalami gangguan jiwa mulai dari umur 15 tahun dengan presentase 6,1 persen. Dan rentang usia 15-24 tahun dengan presentase 6,2 persen gangguan jiwa ini banyak disebabkan oleh depresi berat dan kecemasan yang berlebih.
Sementara kasus bunuh diri di Indonesia mencapai angka 10.000 jiwa per tahun, yang berarti dalam jangka 1 jam dapat terjadi kasus bunuh diri. Bahkan pada masa pandemi Covid-19 tahun 2020, kasus pasien gangguan jiwa meningkat. Data Kemenkes mencatat hingga bulan Juni 2020 selama masa pandemi Covid-19, pasien gangguan jiwa sebanyak 277 ribu kasus di Indonesia, kasus ini meningkat dibandingkan tahun 2019 yang hanya 197 ribu kasus di Indonesia.
Ironisnya, ada catatan bahwa petugas rumah sakit jiwa malah memberikan perlakuan yang membuat para pasien taruma, takut, bahkan kondisi mereka semakin memburuk. Misalnya, pemasungan, perilaku kasar dan tidak bermoral, kamar-kamar atau ruang isolasi tidak layak huni yang menyebabkan pasien semakin stres, dan ada juga rumah sakit jiwa yang belum memiliki izin beroperasi dari pemerintah (ilegal).
Selain itu, fasilitas rumah sakit jiwa di Indonesia belum merata, seperti yang dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, bahwa masih ada 6 provinsi di Indonesia yang belum memiliki rumah sakit jiwa. Hal-hal tersebut harus menjadi perhatian bagi pemerintah karena ketentuan dan peraturan tentang kesehatan jiwa sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa.
Diperlukan terobosan dari pemerintah dalam menekan kasus orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang kian meningkat setiap harinya. Salah satunya, pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap fasilitas kesehatan mulai dari UKS yang terdapat di sekolah atau universitas, bidan, puskesmas, seluruh rumah sakit agar menginformasikan mengenai pentingnya kesehatan jiwa serta cara mendeteksi dan penanggulangan terhadap ODGJ.
Juga diperlukan ketentuan yang lebih konkret bagi para tenaga medis yang menangani pasien ODGJ, meningkatkan kompetensi SDM medis agar dapat menangani pasien dengan baik sesuai dengan ketentuan dan HAM, agar pemasungan dan penganiayaan terhadap ODGJ tidak terjadi lagi. Hal ini telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 54 Tahun 2017 tentang Penanggulangan Pemasungan Pada ODGJ.
Responsibilitas Pemerintah
Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.48/2016 tentang Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Masyarakat Akibat Bencana dan Konflik serta berpedoman pada UU Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan jiwa. Pemerintah telah berupaya mengadakan fasilitas kesehatan jiwa di tingkat Puskesmas, meski hal ini belum terealisasi dengan merata.
Selain itu, Menteri Kesehatan juga membuat dan menerapkan sebuah aplikasi berbasis android untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, dan hal-hal lain yang digunakan untuk mempermudah masyarakat dalam menangani penyakit gangguan jiwa.
Pemerintah telah menganjurkan pelatihan-pelatihan di rumah sakit jiwa ataupun di Puskesmas agar penanganan dalam masalah gangguan kesehatan jiwa dapat terealisasi dengan tepat. Pelatihan ini sudah direalisasikan di Provinsi Kalimantan Selatan yang dilaksanakan oleh 30 orang staf medis yakni dokter dan pengelola program jiwa puskesmas yang didanai oleh APBN Satker Dinas Kesehatan Kalimantan Selatan pada tahun 2019.
Di samping itu, pemerintah harus segera menyiapkan dana untuk pembangunan fasilitas kesehatan bagi ODGJ, serta melakukan penyuluhan terhadap rumah sakit jiwa dan Puskesmas untuk memantau apakah ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang sudah dilaksanakan dengan baik. Pemerintah dapat menetapkan jangka waktu pelatihan secara berkala agar para tenaga medis selalu siap siaga dalam menangani pasien, hal ini dilakukan sebagai upaya meningkatkan mutu tenaga medis di bidang kesehatan jiwa.
Dan tak kalah pentingnya, mengedukasi masyarakat mulai dari kalangan anak-anak hingga dewasa untuk mengetahui pentingnya kesehatan jiwa bagi kehidupan pribadi dan sosial, selain melalui aplikasi berbasis android yang sudah dikeluarkan pemerintah, hal ini dapat ditekankan lagi ketika memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia (World Mental Heatlh Day) di setiap tanggal 10 Oktober setiap tahunnya agar masyarakat selalu mendapat informasi dan edukasi terbaru mengenai kesehatan jiwa.
Peran Masyarakat
Masyarakat punya peran penting dalam membantu pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya terkait masalah gangguan jiwa. Dalam praktiknya, kontribusi masyarakat dalam turut menangani masalah gangguang jiwa perlu ditingkatkan. Orang yang terkena gangguan jiwa seperti stres berat, trauma, hingga penyakit jiwa lainnya seperti skizofrenia dan lain lain, masih dikucilkan dan dianggap sebelah mata.
Hal ini dapat mengakibatkan para penderita gangguan jiwa akan semakin memburuk dan bisa sampai berujung kematian. Masyarakat diharapkan peka dengan situasi di lingkungannya. Bahwa gangguan jiwa merupakan salah satu penyakit yang sulit disembuhkan dengan atau tanpa adanya perhatian dari lingkungan sekitar. Inilah yang menyebabkan meningkatnya kasus penyakit gangguan jiwa di Indonesia.
Langkah yang bisa dilakukan masyarakat dalam isu kesehaan mental ini salah satunya dengan mencari informasi-informasi akurat dari berbagai sumber yang terpercaya untuk mengetahui pentingnya kesehatan jiwa, mengikuti berbagai program positif dari pemerintah termasuk memperingati Hari Kesehatan Mental Dunia, tidak mengucilkan, mencemooh, memandang sebelah mata kepada ODGJ. Karena masyarakat dan keluarga merupakan pihak utama yang turut memberikan ketenangan kepada ODGD.
Akhir kata, melonjaknya kasus gangguan kesehatan jiwa setiap tahunnya, masih adanya kasus pemasungan, rendahnya kepekaan mengenai kesehatan jiwa dengan memandang kesehatan jiwa sebagai hal sepele serta melakukan pembiaran dan pengucilan terhadap ODGJ, menjadi pil pahit agar pemerintah semakin bekerja keras dalam mengatasi masalah kesehatan mental.