• Opini
  • Dampak Gaya Hidup Kelas Menengah ke atas terhadap Tingginya Limbah Pangan di Indonesia

Dampak Gaya Hidup Kelas Menengah ke atas terhadap Tingginya Limbah Pangan di Indonesia

Limbah pangan akan terus menjadi perhatian karena potensinya yang besar dalam merusak lingkungan, antara lain, menghasilkan gas metana yang memicu pemanasan global.

Fadlilah Afriana Putri Bahsuan

Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Antrean truk sampah saat membuang muatan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat (19/2/2021). Jumlah sampah yang dibuang dari wilayah Bandung Raya dan Cimahi sebesar 2.000 ton per hari, sementara daya tampung TPSA Sarimukti hanya 1.200 ton per hari. (Foto: Prima Mulia)

22 September 2021


BandungBergerak.idLimbah pangan merupakan sampah yang dihasilkan dari sisa makanan yang dimakan oleh manusia. Limbah pangan telah menjadi isu global. Setiap hari manusia memproduksi limbah pangan, karena pada dasarnya manusia membutuhkan makanan. Dalam sehari, manusia minimal mengkonsumsi makanan tiga kali, yakni pagi, siang, dan malam.

Pada masa yang akan datang, kasus limbah pangan ini akan terus menjadi perhatian karena potensinya yang besar dalam merusak lingkungan, antara lain, menghasilkan gas metana yang memicu pemanasan global (global warming).

Sayangnya, produksi limbah pangan ini seringkali tanpa disadari. Sebagai contoh, panganan manusia dihasilkan dari proses panjang yang dalam distribusi ataupun pengadaannya melibatkan minyak bumi. Sehingga makanan yang kita buang sama artinya dengan membuang minyak bumi. Limbah pangan juga dapat membuat biodiversitas terjadi, ketika limbah pangan itu dibuang ke laut, maka ekosistem laut akan terganggu.

Jika kita lihat secara lebih mendalam, kebanyakan yang melakukan pembuangan limbah pangan ini terdapat pada kelas menengah ke atas. Hal ini dikarenakan mereka memiliki sumber daya yang lebih untuk membeli makanan. Konsumsi makanan berlebihan ini ujungnya meningkatkan limbah pangan.

Seringkali kita memesan makanan di sebuah restoran meskipun perut kita sudah terisi penuh. Di balik kebiasaan ini membuat volume limbah pangan terus meningkat. Pada tahun 2016, Indonesia mengalami kenaikan limbah pangan yang mencapai 13 juta ton hanya butuh waktu satu tahun. Mark Smulders selaku kepala perwakilan badan pangan PBB, mengatakan bahwa limbah pangan yang terjadi di Indonesia ini sebagian besar dihasilkan oleh restoran dan juga catering.

Hal itu juga dikuatkan oleh kebiasaan masyarakat Indonesia yang seringkali tidak menghabiskan makanan sehingga turut menyumbang besarnya sampah makanan yang mencapai 13 juta ton itu. Tak hanya itu, Indonesia dinobatkan sebagai negara dengan peringkat nomor 2 sebagai penghasil sampah makanan terbanyak pada tahun 2016 berdasarkan data dari Economist Intelligence Unit. Hal ini dikarenakan buruknya pola makan masyarakat Indonesia sehingga menyebabkan bertambahnya limbah pangan di setiap tahunnya.

Perspektif Teori Marxisme

Teori Marxisme adalah teori yang menitikberatkan pada ide konflik sosial antara kaum borjuis dan proletar. Konflik sosial ini terjadi karena kapitalisme yang membuat kesenjangan di masyarakat. Kapitalisme sendiri terjadi karena materialisme historis di mana hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, ditentukan oleh kondisi di mana mereka dapat hidup dan berkembang biak. Marxisme menganggap bahwa kapitalisme menghasilkan beberapa hal seperti konsumerisme. Konsumerisme terjadi saat orang yang mampu memutuskan untuk membeli apa saja yang tersedia hanya karena mereka memiliki uang dan sumberdaya lainnya untuk melakukannya. Beberapa hal yang mereka beli itu pun terbuang dan jadilah limbah.

Padahal, untuk orang yang tidak mampu, makanan yang terbuang tersebut adalah hal yang berharga. Namun makanan tersebut dibuang secara percuma oleh orang yang mampu hanya karena mereka tidak bisa menghabiskannya. Di sinilah peran dari teori Marxisme dalam menganalisis sebab dan akibat dari kesenjangan antara orang mampu dan tidak mampu yang menimbulkan banyaknya limbah pangan di Indonesia.

Konsumerisme sendiri awalnya fenomena yang marak di luar negeri. Namun arus globalisasi membuat budaya konsumtif ini marak di Indonesia yang salah satu dampaknya dapat dilihat dari meningkatkan limbah pangan.

Baca Juga: Pemkot Bandung Jangan Kelola Sampah jadi Batubara RDF
Walhi Jabar Ingatkan Pentingnya Dialog dalam Pembebasan Lahan Tol Cisumdawu
Banyak Jalan Mengharumkan Citarum

Perspektif Konsep

Menurut konsep materialisme historis dalam teori marxisme, sikap manusia selalu ditentukan oleh lingkungan mereka sendiri. Bagi manusia yang bertempat di Indonesia, tentunya mereka akan menganggap makanan sebagai masalah yang kecil, apalagi bagi mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas. Kondisi alam Indonesia yang beriklim tropis dan subur, sehingga menanam apa pun bisa tumbuh, turut mendukung terbentuknya perspektif pada makanan. Selain itu, kondisi sosial politik Indonesia yang relatif aman juga mempengaruhi perspektif ini. Akibatnya, rakyat Indonesia dapat mengkonsumsi dan menghasilkan banyak limbah pangan.

Konsep sikap adalah kecenderungan pola berpikir yang dimiliki oleh seseorang yang mendorongnya untuk melakukan suatu tindakan tertentu. Seseorang yang menganggap membuang-buang makanan adalah sikap yang kurang baik, cenderung lebih memperhatikan limbah pangan dan merasa bersalah apabila terdapat sisa makanan pada piring mereka. Pada negara berkembang seperti Indonesia, sikap seseorang yang merasa bersalah terhadap sisa makanan lebih dikaitkan dengan pertimbangan terhadap keuangan dibandingkan pengetahuan akan dampak limbah pangan terhadap lingkungan. Orang-orang yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah menganggap sisa makanan sebagai sesuatu yang mubazir atau boros. Mereka berpikir makanan tersebut masih dapat dikonsumsi di lain hari dan mereka pun tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya makan. Tindakan ini tentu dapat mengurangi jumlah food waste, namun tidak meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan.

Problematika Limbah Pangan di Indonesia

Indonesia merupakan negara kontributor sampah pangan terbesar kedua setelah Arab Saudi, menurut Economist Intelligence Unit. Beberapa hasil studi menemukan lebih dari 60 persen limbah padat di dua kota di Indonesia, yakni di Surabaya dan di Bogor.

Seperti telah disinggung di muka, limbah pangan yang cukup besar dapat mengakibatkan pemanasan global. Gas metana yang terurai di TPA bisa 25 kali lebih berbahaya dibandingkan dengan karbon dioksida (gas rumah kaca). Baik gas metana maupun karbon dioksida sama-sama berdampak buruk yang memicu perubahan iklim akibat pemanasan global.

Lebih jauh, limbah pangan juga dapat menyebabkan terjadinya air lindi yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Di dalam air lindi terdapat unsur racun dan logam berat. Jika limbah pangan tidak dikelola secara baik, maka air lindi ini akan berdampak kepada tanah, mencemari air, dan mungkin air tersebut dikonsumsi manusia.

Keterkaitan Kelas Sosial dan Jumlah Limbah Pangan

Kelas sosial erat kaitannya dengan limbah pangan yang diproduksi di Indonesia. Semakin tinggi kelas sosialnya, maka semakin banyak limbah pangannya. Sebaliknya, semakin rendah kelas sosialnya, maka semakin rendah limbah pangannya. Hal ini dikarenakan rakyat kelas menengah ke atas memiliki lebih banyak sumber daya sehingga mereka bisa mengonsumsi lebih banyak makanan untuk diri mereka sendiri. Faktor tingginya limbah pangan yang dihasilkan juga didukung dengan gaya hidup kelas menengah ke atas. Sebagai contoh, Indonesia memiliki budaya pernikahan mewah yang merupakan salah satu contoh dampak dari perilaku kelas menengah ke atas.

Sementara itu, rakyat kelas menengah ke bawah masih ragu untuk membuang makanan, Bagi mereka, untuk mendapatkan makanan harus berjuang dan bekerja setiap hari. Walaupun pada beberapa kasus, rakyat kelas menengah ke bawah pun bisa membuang makanan. Hal ini terutama dipengaruhi surplusnya makanan di Indonesia karena faktor kesuburan alam. Selain itu, terdapat juga faktor budaya, di mana masyarakat kelas menengah ke atas lebih terekspos dengan budaya luar negeri tentang konsumerisme. Mereka memiliki akses lebih banyak terhadap informasi-informasi dari luar negeri. Beberapa dari mereka bahkan mempunyai kerabat dan teman yang tinggal di luar negeri.

Di sisi lain, informasi mengenai kehidupan di luar negeri masih terbatas bagi kalangan menengah ke bawah. Hal ini karena akses mereka untuk internet dan media lainnya masih terbatas. Mereka juga jarang memiliki kerabat di luar negeri yang bisa menceritakan kehidupan di sana. Karena inilah jumlah limbah pangan yang dihasilkan oleh kelas-kelas sosial berbeda.

Langkah Pencegahan

Dari essai ini, dapat disimpulkan bahwa limbah makanan adalah masalah global yang saat ini sudah mencapai Indonesia. Limbah makanan mengandung berbagai zat berbahaya bagi makhluk hidup dan lingkungan sekitar.

Sementara kelas sosial berpengaruh pada jumlah limbah makanan yang dihasilkan oleh suatu rumah tangga. Marxisme menyatakan bahwa sikap dan perilaku seseorang dipengaruhi oleh lingkungan dan keadaannya.

Maka, diperlukan upaya membangun food waste awareness di masyarakat, yaitu langkah reventif dalam menyikapi konsumsi makanan agar tidak meninggalkan limbah, penyimpanan makanan berdasarkan kadaluarsa, dan membagikan makanan kepada yang lebih membutuhkan. Namun diperlukan langkah represif, yaitu langkah klasik 3R (reduce, reuse, recycle)

Rakyat menengah ke atas diharapkan mengerem budaya konsumtif hanya karena memiliki harta berlebih. Untuk kelas menengah ke bawah, diharapkan tidak terlalu konsumtif hanya karena mudahnya mendapatkan makanan di Indonesia.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//