• Opini
  • Kantong Singkong, Langkah Nyata Mengurangi Sampah Plastik

Kantong Singkong, Langkah Nyata Mengurangi Sampah Plastik

Bayangkan saja anak cucu kita, bahkan cucu dari cucu kita, masih bisa bermain menggunakan plastik yang kita gunakan saat ini.

Vina Regina Rustanto

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Sampah plastik kerap memenuhi Sungai Citarum di perbatasan Kecamatan Baleendah dan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, Senin (13/9/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

23 September 2021


BandungBergerak.idSampah plastik tak henti-hentinya menjadi penyebab utama pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah maupun laut. Pada tahun 2020, tercatat ada sekitar 34 juta ton sampah yang dihasilkan di seluruh Indonesia dan 17 persennya merupakan sampah plastik (SIPSN, 2020). Sampah plastik ini memiliki sifat yang tidak mudah terurai, proses pengolahannya menimbulkan toksik dan bersifat karsinogenik, dan juga membutuhkan waktu sampai ratusan tahun bila ingin terurai secara alami (Fauzzi, 2018).

Bayangkan saja anak cucu kita, bahkan cucu dari cucu kita, masih bisa bermain menggunakan plastik yang kita gunakan saat ini.

Penggunaan plastik ini juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari ScienceMag, pada tahun 1950 penggunaan plastik di dunia ada di angka 2 juta ton saja. Sedangkan pada tahun 2015, penggunaan plastik sudah mencapai angka 381 juta ton.

Di masa serba instan ini, layanan pesan antar makanan maupun online shopping semakin diminati oleh masyarakat. Ditambah lagi kondisi pandemi yang sedang terjadi sekarang ini semakin mendorong penggunaan jasa-jasa tersebut. Dari hasil survei yang dilakukan Pusat Penelitian Oseanografi dan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI pada 20 April-5 Mei 2020, diperoleh hasil bahwa terjadi peningkatan volume belanja online yang sebelumnya hanya 1 sampai 5 kali dalam satu bulan, menjadi 1 sampai 10 kali selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Penggunaan kantong plastik sebagai pembungkus barang ataupun makanan yang dipesan otomatis turut meningkat dan sekaligus memperparah pencemaran lingkungan. Bila terus seperti ini, maka dapat dipastikan bumi kita akan hancur dalam jangka waktu cepat ataupun lambat. Masalah ini tentunya harus segera ditangani sebelum hal yang tidak diinginkan terjadi.

Lalu apa usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut? Beberapa pengusaha di Indonesia telah berhasil memproduksi sebuah plastik ramah lingkungan atau biodegradable plastic yang terbuat dari singkong. Plastik tersebut lebih dikenal dengan istilah cassava bags. Penemuan ini dapat menjadi solusi yang ampuh dalam permasalahan sampah plastik di dunia. Namun hal tersebut hanya dapat terjadi jika penggunaan cassava bags berhasil dinormalisasikan sebagai pengganti kantong plastik yang digunakan saat ini. Mengapa penggunaan cassava bags perlu dinormalisasikan?

Kantong Singkong Mudah Terurai

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sustainable Waste Indonesia (SWI), diperoleh data bahwa ada 1,3 juta sampah plastik per tahun yang tidak dikelola di TPA ataupun didaur ulang. Sampah plastik yang tidak dikelola ini biasanya akan tertimbun di tanah atau mengalir ke lautan. Dengan sifatnya yang sulit terurai, sampah plastik ini tentunya akan merusak ekosistem daratan maupun lautan.

Berbeda dengan kantong plastik, cassava bags dapat terurai dengan mudah bila disimpan di dalam tanah. Kantong singkong ini hanya memerlukan waktu sekitar 180 hari untuk dapat terurai secara menyeluruh dan menyatu dengan tanah. Selain itu, kantong singkong juga dapat dilarutkan di dalam air bersuhu di atas 80 derajat celcius hanya dalam beberapa menit.

Baca Juga: Tiga Tahun Oded-Yana, Berkutat dengan Bom Waktu Sampah
Jutaan Lembar Sampah Plastik Cemari Laut Indonesia
Bandung Kota Rawan Bencana (3): Kang Pisman vs Bom Waktu Sampah

Tidak Mengandung Zat Berbahaya

Plastik yang beredar di masyarakat pada umumnya terbuat dari bahan bakar fosil yang mengandung zat berbahaya dan menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini dapat menimbulkan efek gas rumah kaca, menyebabkan kanker, gangguan sistem saraf, radang paru-paru, dan masih banyak lagi (Disperkimta, 2019).

Sebaliknya, cassava bags terbuat dari bahan-bahan organik seperti pati singkong, vegetable oil derivatives, dan biodegradable polimer. Bahan-bahan tersebut ramah lingkungan dan tidak mengakibatkan pencemaran lingkungan.

Dapat Diperbaharui

Seperti yang kita tahu, bahan utama dari cassava bags adalah pati singkong. Di negara tropis seperti Indonesia, singkong sangat mudah ditemui dan dibudidayakan. Cukup memotong batang singkong dan menancapkannya ke tanah, maka singkong baru pun akan tumbuh lagi. Selain itu singkong juga memiliki daya tahan terhadap penyakit sehingga lebih kuat dibanding tanaman pertanian lain (Utama dan Rukismono, 2018). Tentunya hal ini menjadi nilai tambah dari cassava bags dibandingkan kantong plastik yang terbuat dari bahan bakar fosil yang tidak dapat diperbaharui.

Meningkatkan Nilai Tambah Petani Singkong

Penggunaan singkong sebagai bahan dasar cassava bags juga akan membantu ekonomi petani-petani singkong sekaligus meningkatkan semangat membudidayakan singkong yang sempat merosot. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi singkong di Indonesia terus menurun dari 23.936.921 ton pada 2013, menjadi hanya 21.801.415 pada 2015.

Dengan normalisasi penggunaan cassava bags, permintaan singkong akan meningkat dan nilai jualnya menjadi semakin tinggi. Petani singkong pun otomatis akan lebih bersemangat dalam membudidayakannya karena potensinya yang lebih menjanjikan.

Begitu banyak manfaat yang dihasilkan menunjukkan betapa pentingnya normalisasi penggunaan cassava bags ini dijalankan, mengingat pencemaran lingkungan di dunia karena plastik semakin parah. Oleh sebab itu, sangat disarankan bahwa normalisasi cassava bags sebagai pengganti kantong plastik dapat segera diterapkan di seluruh dunia khususnya di kota-kota besar karena di situlah kegiatan penggunaan kantong plastik banyak ditemukan.

Gerakan normalisasi ini hanya dapat dilaksanakan bila setiap individu masyarakat turut berpatisipasi menyukseskannya. Maka kesadaran dan kepedulian terhadap masalah lingkungan menjadi kunci dalam pelaksanaan kegiatan ini.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//