• Berita
  • Drainase Kota Bandung, Pekerjaan Rumah yang Belum Tuntas

Drainase Kota Bandung, Pekerjaan Rumah yang Belum Tuntas

Cuaca Bandung dalam transisi yang biasanya diwarnai hujan ekstrem. Di saat yang sama, laju pembangunan kurang memerhatikan aspek lingkungan.

Aktivis lingkungan memakai payung saat aksi unjuk rasa tolak bala setop bencana terkait perubahan iklim di Bandung, Minggu (26/9/2021). Aksi ini digelar untuk menekan pemerintah agar mengakomodir masalah krisis iklim. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Bani Hakiki28 September 2021


BandungBergerak.idGencarnya pembangunan di Kota Bandung membuat kian sempitnya lahan-lahan resapan air. Pembangunan drainase dinilai masih minim, ditambah masih kurangnya upaya mitigasi bencana. Alhasil, ketika hujan besar melanda, volume air tak mampu tertampung tanah dan mengakibatkan banjir.

Saat ini, cuaca Bandung dalam transisi antara musim kemaru dan hujan yang biasanya diwarnai hujan ekstrem. Di saat yang sama, laju pembangunan di Bandung kurang memerhatikan aspek lingkungan.

Sekretaris Jendral Bandung Mitigasi Hub, Firmansyah, menilai ada respons yang terlambat yang dilakukan pemegang kebijakan dalam mengantisipasi banjir Kota Bandung. Sebagai contoh, drainase Kota Bandung yang setiap musim hujan tak mampu mengalirkan air sehingga menimbulkan banjir. Drainase ini merupakan pekerjaan rumah yang tak pernah tuntas digarap Pemkot Bandung.

Gak ada cara lain selain memperbaiki sistem drainase, hubungannya dengan tata letak kota. Tapi, saya pikir setiap tahun masterplan-nya gak pernah tepat atau beres. Pemerintah harus perhatikan itu,” tegas Firmansyah, ketika dihubungi, Selasa (28/9/2021).

Namun pembangunan drainase saja tidak cukup. Kota Bandung menghadapi ancaman banjir akibat permasalahan yang kompleks, mulai turunnya permukaan tanah akibat pengambilan air tanah yang masif, cuaca ekstrem, minimnya daerah resapan akibat alih fungsi lahan, dan lain-lain.

Firmansyah mengungkap hasil riset pakar ITB Heri Andreas pada 2019 bahwa setiap Bandung mengalami penurunan tanah yang signifikan.

“Kita nyebutnya silent killer’ karena (penurunan tanah) memang tidak terlihat tapi diam-diam jadi bencana. Ini akibat dari pengambilan air tanah yang berlebihan,” tutur Firmansyah.

Kondisi ini diperparah dengan cuaca Bandung yang semakin tidak menentu. Cuaca Bandung dapat berubah secara cepat dan seringkali tidak terdeteksi dengan jelas. Seperti yang sedang dihadapi saat ini, musim hujan datang lebih cepat sementara tindak antisipasinya masih jauh dari sempurna.

Salah satu antisipasi banjir yang dilakukan Pemkot Bandung ialah dengan membangun kolam-kolam retensi. Namun keberadaan kolam retensi ini tidak akan langsung mengatasi banjir.

“Pembangunan kolam retensi itu bagus karena manfaatnya banyak. Bisa digunakan juga untuk rain water harvest, air tampungan itu bisa diolah jadi air bersih. Semakin banyak semakin bagus, tapi melihat kondisi tanah Bandung kayaknya gak mungkin juga (kolam retensi) terus dibangun,” tuturnya.

Baca Juga: Data Sumber Sarana Air Minum Penduduk Kota Bandung, Pipa PDAM belum Menjangkau Seluruh Warga
Data Rata-rata Rit Harian Truk Sampah Kota Bandung 2011-2019, Intensitas Meninggi Berkontribusi pada Rusaknya Jalan
Data Curah Hujan di Kota Bandung 1998-2020, Tahun 2010 Paling Basah

Musim hujan di Bandung, Rabu (15/9/2021). Musim hujan diiringi dengan potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, angin kencang, dan lain-lain. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)
Musim hujan di Bandung, Rabu (15/9/2021). Musim hujan diiringi dengan potensi bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, angin kencang, dan lain-lain. (Foto: Miftahudin Mulfi/BandungBergerak.id)

Lemahnya Mitigasi Bencana

Salah satu kunci mengatasi banjir Kota Bandung adalah komunikasi intens antara pemerintah dan warganya terkait mitigasi (pengurangan dampak risiko) bencana. Pemkot Bandung perlu lebih giat membangun relasi dengan berbagai perusahaan dan komunitas yang bergerak di isu-isu lingkungan.

Bandung Mitigasi Hub menganggap Pemkot Bandung masih kurang memberikan sosialisasi kepada warganya. Padahal telah banyak riset yang dilakukan para pakar dan peneliti yang membahas kondisi banjir tahunan di Kota Bandung, namun hasil riset tersebut kurang tersampaikan.

“Dari dulu saya baca banyak riset tentang banjir, setiap tahun banyak riset-riset hebatnya tapi kenyataannya di lapangan masyarakat gak pernah tahu informasinya,” kata Firmansyah.

Sosialisasi rutin dianggap sebagai kunci yang bisa menyelamatkan Kota Bandung dari intaian banjir. Bahkan kesadaran dan pemahaman warga terhadap informasi bencana merupakan permasalahan utama.

Lewat sosialisasi akan terbentuk wadah komunikasi dan keterbukaan informasi, misalnya soal pembangunan infrastruktur yang akan dan telah direncakan. Dari situ, masyarakat akan paham akan pengaruh dampak pembangunan terhadap lingkungannya masing-masing.

Firmansyah juga berharap Pemkot Bandung tidak hanya fokus pada dampak Covid-19, sementara mitigasi bencana alam seperti banjir terabaikan.

“Meskipun sedang suasana Covid, pemerintah gak bisa cuma fokus dengan masalah itu saja. Selama ini, kami masih rutin turun ke lapangan mengedukasi warga. Setelah kami (Bandung Mitigasi Hub) mendengar kalau ada informasi soal cuaca ekstrem dari BMKG, kami langsung kerahin teman-teman untuk mendiskusikan antisipasi banjir,” katanya.

Bandung Mitigasi Hub mengkhawatirkan bencana banjir di Kota Bandung justru dianggap normal bagi warga. Selama kurang lebih dua tahun terakhir, banyak warga di titik-titik banjir Kota Bandung yang terbiasa dengan banjir. Namun kebiasaan ini tak didampingi antisipasi dan atau mitigasi.

“Banjir ini kan bencana setiap tahun di Bandung, permasalahannya terus berulang. Kita sering turun ke wilayah-wilayah bencana, warga malah terbiasa dengan permasalahan banjir dan ini gak bisa didiamkan,” ungkap Firmansyah.

Terkendala Dana

Sekretaris Daerah (Sekda) Ema Sumarna mengaku bahwa penyeimbangan antara pembangunan, aktivitas warga, dan sistem drainase yang mumpuni belum teralisasi karena membutuhkan dana yang besar.

“Sementara, kita masih mengupayakan pembangunan kolam retensi baru, ada empat: Gedebage, Cipamokolan, Jalan Bima yang masih dalam proses dan satu lagi di Sukawarna waktu 2019. Kalau sistem drainase belum karena seluruhnya butuh (dana) sekitar 60 triliun (rupiah),” ungkap Ema Sumarna, di Auditorium Balai Kota Bandung, Senin (21/9/2021).

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//