Peringatan September Hitam di Bandung Menyerukan Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat
Amnesty International Indonesia telah merilis bahwa pembunuhan pembela HAM, Munir, merupakan pelanggaran HAM berat.
Penulis Reza Khoerul Iman10 September 2022
BandungBergerak.id – Tuntutan penetapan kasus pembunuhan Munir Said Thalib sebagai pelanggaran HAM berat, disuarakan para pegiat HAM di Bandung dalam peringatan September Hitam.
Pada 7 September kemarin, kasus pembunuhan pejuang HAM ini genap berlangsung 18 tahun. Tetapi dalang pembunuhan sampai saat ini masih gelap.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum juga menetapkan bahwa kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Penetapan ini penting agar kasus Munir tidak kedaluarsa.
Berbeda dengan Komnas HAM, Amnesty International Indonesia telah merilis bahwa pembunuhan pembela HAM, Munir, merupakan pelanggaran HAM berat.
Pernyataan Amnesty International Indonesia tersebut bertepatan dengan peringatan 18 tahun kematian Munir dan menanggapi pembentukan tim ad hoc penyelidikan HAM berat oleh Komnas HAM.
“Semua bukti jelas menunjukkan kasus ini merupakan serangan yang ditujukan kepada warga sipil yang bekerja sebagai pembela HAM saat itu khususnya Munir,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, dalam siaran pers yang dikutip Sabtu (10/9/2022).
Usman Hamid menyatakan, serangan terhadap Munir bersifat sistematik karena ada unsur kebijakan pemufakatan jahat dari pihak tertentu di dalam negara, khususnya Badan Intelijen Negara (BIN) dan maskapai penerbangan negara (Garuda).
September Hitam di Bandung
Seruan bahwa kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat disampaikan para pegiat HAM dalam peringatan September Hitam Aksi Kamisan Bandung yang ke-390, Kamis (8/9/2022) lalu, di sekitar Gedung Sate, Kota Bandung.
Para pegiat Aksi Kamisan Bandung menyatakan pelaku pembunuhan Munir masih hingga kini masih berkeliaran bebas dan bersarang dalam tubuh instansi pemerintahan.
“Tepat 18 tahun berlalu, teka-teki pembunuhan terhadap Munir itu belum terungkap hingga sekarang. Apabila dihitung, kasus tersebut sudah menginjak umur dewasa seseorang, namun upaya negara tidak mampu mengungkap pelaku pembunuhan seorang aktivis HAM. Hal itu bisa direfleksikan dengan kondisi sekarang, yaitu ketika satu kasus pelanggaran HAM yang tidak bisa diungkap, maka banyak kasus pelanggaran HAM lainnya yang terjadi dan tidak bisa diungkap,” tutur Heri Pramono, dari LBH Bandung.
Heri menyebut Munir merupakan salah satu sosok yang representatif terhadap gerakan bantuan hukum. Maka, peringatan ini menjadi penting untuknya dan melalui peringatan ini setiap orang dapat mengetahui bahwa negara masih aktif melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM serta enggan untuk membereskan permasalahan-permasalah tersebut.
Pembunuhan Munir adalah Pelanggaran HAM Berat
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, mendesak Komnas HAM agar segera menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat dalam kategori kejahatan kemanusiaan, tanpa lagi-lagi menunda.
Usman memaparkan, laporan akhir Tim Pencari Fakta (TPF) Munir di tahun 2005 menunjukkan kematian Munir diduga berkaitan dengan aktivitasnya sebagai pembela HAM, termasuk kritiknya kepada badan negara seperti BIN.
Dalam rekomendasinya, kata Usman, TPF mendesak presiden untuk membentuk Tim Investigasi Independen serta memerintahkan Kapolri melakukan penyelidikan mendalam terhadap lima orang, termasuk di antaranya Kepala BIN, terkait kemungkinan peran mereka dalam pemufakatan jahat terhadap Munir.
Nyatanya, hanya tiga orang yang telah diadili terkait kasus Munir, semuanya pegawai maskapai Garuda Indonesia. Sementara, orang-orang yang diduga kuat menjadi pelaku utama yang bertanggung jawab atas pembunuhan Munir masih belum diproses secara hukum.
Mantan agen BIN Muchdi Purwopranjono memang pernah diadili pada 2008, tetapi ia dinyatakan tidak bersalah. Lalu pada September 2016, Presiden Joko Widodo berjanji di hadapan publik untuk menyelesaikan kasus Munir.
Hingga kini, pemerintah Indonesia tidak pernah mempublikasikan Laporan TPF tersebut. Hal itu justru melanggar Keputusan Presiden No. 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Meninggalnya Munir, yang mengamanatkan pemerintah untuk mengumumkan Laporan TPF kepada masyarakat.
“Ada masalah serius di dalam negara ini terutama soal penuntasan pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM masa lalu. Korban dan keluarganya sering kali tidak didengar, lalu bagaimana mereka bisa mendapatkan keadilan?” sebut Usman Hamid.
Pada 7 September 2020, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menyampaikan opini hukum atas kasus meninggalnya Munir kepada Komnas HAM, sebagai bagian dari pengaduan resmi. Tujuannya agar Komnas HAM menetapkan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat, sehingga proses penyelidikan berdasarkan UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bisa segera dilakukan.
Pada tanggal 7 September 2022, tiga komisioner Komnas HAM yakni Taufan Damanik, Sandra Moniaga, dan Choirul Anam mengumumkan pembentukan tim ad hoc untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM berat atas kasus kematian aktivis Munir Said Thalib. Anggota tim ini terdiri dari komisioner Komnas HAM, yakni Ketua Komnas HAM Taufan Damanik dan Komisioner Sandrayati Moniaga, dan tiga orang dari eksternal lembaga HAM tersebut.
Usman juga menyoroti masa bakti komisioner Komnas HAM yang hanya kurang dari dua bulan lagi. Hal ini jelas akan menyulitkan tim ad hoc untuk bekerja secara efektif dan menyeluruh, termasuk bagi para komisioner itu sendiri untuk menindaklanjuti temuannya.
Pelanggaran HAM di Bandung
Banyaknya kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada bulan September menjadikan bulan ini ditetapkan sebagai September Hitam. Salah satu kasus mencuat yang terjadi pada bulan September adalah pembunuhan Munir.
Selain menolak lupa akan pembunuhan Munir, Aksi Kamisan Bandung juga diikuti oleh suara-suara pelanggaran HAM lainnya yang terjadi pada bulan September seperti kasus tragedi 1965-1966, Tanjung Priuk 1984, Tragedi Semanggi II, penembakan Pendeta Yeremia, Reformasi Dikorupsi, dan sederet pelanggaran HAM lainnya di Indonesia.
Namun bukan berarti di luar bulan September tidak terjadi pelanggaran HAM, sejumlah kasus pelanggaran HAM pun terjadi di bulan-bulan lainnya di berbagai tempat di Indonesia, tak terkecuali di Bandung, seperti penggusuran Tamansari yang terjadi 12 Desember 2019.
Salah satu warga Tamansari yang terdampak penggusuran, Eva Eryani, mengungkapkan bahwa Kota Bandung yang menyandang sebagai Kota HAM tidak memiliki perubahan yang signifikan, faktanya kasus-kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi di Kota Bandung. Eva menegaskan perjuangan HAM di Kota Bandung terasa hambar.
“Kita bisa lihat penggusuran bukan hanya terjadi di Kota Bandung, penggusuran bahkan terjadi dari Sabang sampai Papua. Kita yang katanya terbebas dari kolonialisme, tapi semenjak kemerdekaan hingga hari ini kolonialisme tidak sama sekali terhapuskan dari negeri ini,” ucap Eva.
Baca Juga: Komnas HAM RI Didesak Tetapkan Kasus Pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat
Surat Terbuka Komite Aksi Solidaritas untuk Kasus Munir kepada Komnas HAM
Mengingat Perjuangan Munir, Menggugat Penyempitan Ruang Publik di Kota Bandung
Refleksi Kawan dari Papua
Belum selesai kasus pelanggaran HAM di masa lalu, kini muncul pelanggaran-pelanggaran HAM baru. Itulah yang kini dirasakan oleh sejumlah orang di berbagai penjuru Indonesia, termasuk Papua. Pada Aksi Kamisan Bandung itu, Pilamo perwakilan dari orang-orang Papua mengatakan bahwa kini negara tidak memberikan kebebasan berekspresi pada setiap rakyatnya.
Pilamo menuturkan bahwa kondisi rakyat Papua hari ini seperti turis yang hidup di atas tanahnya sendiri. Setiap orang yang ingin menyuarakan pendapatnya dari cengkraman kolonialisme kemudian malah dianggap sebagai terorisme atau golongan separatis.
“Hari ini Indonesia menunjukkan wajah kolonialisme terhadap rakyat Papua. Sementara Indonesia tidak bisa memberikan jaminan keselamatan, hak untuk hidup, dan jaminan untuk kebebasan berekspresi. Artinya Indonesia sudah gagal memahami arti demokrasi yang sebenarnya, kawan-kawan,” ungkap Pilamo.
Persoalan pelik rakyat Papua hingga hari ini terus terjadi. Selain itu, di tanahnya sendiri mereka mesti bersaing dengan perusahaan-perusahaan pertambangan yang mengancam tanah airnya. Pilamo merasa ia seperti hidup di atas negeri tak bertuhan, di sana yang menjadi tuhan itu adalah orang-orang yang memiliki otoritas, sebab hanya mereka yang dapat merenggut nyawa seseorang.
Pilamo berharap di peringatan kasus pembunuhan Munir ini, rakyat Papua akan mendapatkan hak-haknya dan orang-orang yang memiliki otoritas itu dapat mejalankan tugasnya dengan sebenar-benarnya, yaitu mengayomi dan melayani masyarakat.