• Nusantara
  • Peretasan Awak Narasi TV, Negara Bergeming pada Serangan Digital Media Kritis

Peretasan Awak Narasi TV, Negara Bergeming pada Serangan Digital Media Kritis

Serangan digital berupa peretasan pada awak media Narasi TV merupakan kasus terbesar sejak empat tahun terakhir. Negara tidak boleh diam saja.

Ilustrasi. Sedikitnya 24 awak redaksi Narasi TV mengalami serangan digital sejak Jumat (23/9/2022). Serangan digital berupa peretasan ini yang terbesar sejak 4 tahun terakhir. (Foto: Aliansi Jurnalis Independen)

Penulis Mawaddah Daniah27 September 2022


BandungBergerak.id – Serangan digital berupa peretasan dan pengambilalihan sejumlah akun digital menimpa pada sedikitnya 24 awak media Narasi TV. Serangan ini merupakan kasus peretasan terbesar yang dialami oleh awak media di Indonesia setidaknya dalam empat tahun terakhir.

Serangan pPeretasan pertama kali diketahui pada Sabtu (24/9/2022). Pemimpin Redaksi Narasi, Zen RS lewat pesan singkat menuturkan, Nomor Whatsapp milik Akbar Wijaya atau Jay Akbar, salah seorang produser @narasinewsroom, menerima pesan singkat melalui Whatsapp sekitar pukul 15.29 WIB yang berisi sejumlah tautan.

Jay tidak mengklik tautan tersebut. Tetapi sekitar 10 detik setelah pesan dibaca, Jay telah kehilangan kendali atas akun Whatsapp dan juga nomor teleponnya.

“Sejak saat itu, hingga dua jam berikutnya, satu per satu usaha meretas akun-akun media sosial awak redaksi terjadi,” ungkap Zen RS.

Setelah dilakukan pengecekan, usaha peretasan ternyata sudah terjadi sejak sehari sebelumnya, Jumat (23/9/2022). Pada Jumat sore, tiga akun Telegram milik awak redaksi Narasi TV (dua di antaranya produser dan manajer Mata Najwa) sudah berusaha diretas, salah satunya berhasil masuk.

“Jika ada yang merasa dihubungi oleh awak redaksi Narasi dan meminta hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja jurnalistik, atau hal mencurigakan lainnya, mohon diabaikan dan jika berkenan melaporkan kepada kami,” kat Zen.

Usaha peretasan menyasar di beragam platform media sosial yang digunakan. Yaitu Facebook, Instagram, Twitter, Whatsapp, dan Telegram. Telegram dan Facebook menjadi dua platform yang paling banyak mengalami usaha peretasan.

Tim redaksi Narasi belum mengetahui motif di balik peretasan ini. Tim lagi menelusuri kemungkinan keterkaitan dengan kerja jurnalistik yang Narasi kerjakan selama ini. Namun, upaya serangan serentak ini jelas memiliki pola yang sama dan berasal dari pelaku yang kemungkinan sama.

Mayoritas usaha peretasan berasal dari IP Address dan perangkat yang identik. Hasil pemeriksaan internal yang telah dilakukan ialah menemukan IP Address tersebut menggunakan salah satu ISP lokal.

“Langkah-langkah pencegahan dan respons lainnya yang relevan sudah, sedang, dan akan kami lakukan. Kami meminta pihak-pihak terkait, termasuk provider dan platform, bersedia membantu kami untuk menelisik rentetan kejadian ini,” lanjut Zen.

Baca Juga: AJI Mengecam Serangan Peretasan dan Disinformasi terhadap Sasmito Madrim
Mengkritik Pemblokiran PSE Berujung Serangan Digital
Yang Harus Dilakukan Jika Terjadi Pencurian Data

Melawan Teror Peretasan terhadap Awak Media Narasi TV

Pada Senin (27/9/2022), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menggelar konferensi pers virtual bertemakan ‘Melawan Teror Peretasan terhadap Awak Media Narasi TV’. Hadir pula Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Komite Keselamatan Kerja Jurnalis (KKJ), dan Tim Reaksi Cepat (TRACE).

Mereka mengecam serangan digital pada awak redaksi Narasi TV. Serangan ini harus dilawan karena sudah termasuk teror terhadap kebebasan pers.

Empat organisasi tersebut mendesak agar aparat penegak hukum khususnya Polri secara aktif menyelidiki pelaku di balik serangan digital ini. Serangan ini jelas menghambat kebebasan pers yang dijamin Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Kepolisian harus melakukan penyelidikan dan penyidikan secara tuntas kasus peretasan terhadap sekitar 24 awak redaksi Narasi. Pembiaran atas serangan kepada jurnalis dan perusahaan, akan semakin menguatkan pemerintah memiliki keterkaitan dengan serangan ini,” ungkap Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito Madrim.

Sasmito meminta Dewan Pers untuk mendesak aparat kepolisian untuk mencari bukti dan mengungkapkan fakta kasus peretasan terhadap Narasi TV. Dewan Pers juga perlu mengingatkan masyarakat agar menempuh mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Pers seperti meminta hak jawab dan hak koreksi terkait keberatan terhadap pemberitaan oleh pers.

Pengacara publik sekaligus peneliti pada LBH Pers, Ahmad Fathanah mendesak agar kepolisian segera melakukan pemeriksaan terkait kasus yang menimpa awak redaksi Narasi TV. LBH Pers sendiri sudah menyusun tindakan-tindakan apa saja yang akan dilakukan.

“Kita lagi menyusun apakah langkah hukum ke depannya itu, baik pidana atau perdata kita lagi menyusun sama-sama terkait hal itu. Karena kitakan harus mencari tahu siapa aktornya, siapa yang berwenang dalam hal itu, bagaimana sirkulasi terkait upaya peretasan ini,” tutur Fathanah.

Perwakilan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Nenden Sekar Arum mendesak hal serupa kepada polisi. Apalagi, kasus serangan digital bukan hal baru di Indonesia. KKJ menilai peretasan terhadap awak media Narasi TV sebagai tren yang marak belakangan terjadi saat media bersikap kritis dalam laporan jurnalistiknya.

“KKJ juga melihat bahwa ada korelasi antara isu ataupun pemberitaan yang sangat sensitif dengan maraknya serangan digital,” tutur Nenden.

Mengenai laporan hukum dalam kasus Narasi, Fathanah mengungkapkan, pihaknya masih berkoordinasi dan melihat langkah hukum yang tepat. Dia juga merujuk pada kasus peretasan situs yang dialami Tirto.id dan Tempo sebelumnya.

“Dua laporan itu belum ada tindak lanjutnya (dari polisi),” tuturnya.

Menurutnya, di dalam Undang-Undang Pasal 30 adanya delik yang dapat dikaitkan dengan peretasan dan Undang-Undang Pers Pasal 18 yang menjelaskan tentang tindakan menghalangi kerja jurnalistik.

“Apa yang dilakukan oleh peretas ini terhadap teman-teman Narasi itu merupakan satu tindakan yang menghalang-halangi kerja-kerja jurnalistik. Dua pasal Undang-Undang itu sebenarnya bisa menjadi dasar untuk melakukan tindak lanjut terhadap dugaan adanya upaya peretasan dan penghalang-halangan kerja jurnalistik,” katanya.

Sementara itu, Teguh Aprianto dari Tim Reaksi Cepat mengidentifikasi peretasan yang terjadi menggunakan pola pembajakan akun dengan mencegat OTP (one time password) berupa SMS. Kondisi ini mirip dengan aksi-aksi peretasan atau pengambilalihan akun oleh pihak lain dengan pola duplikasi SIM card.

“Misal pada kasus kawan-kawan eks KPK,” ujar Teguh.

Dia mengingatkan jurnalis untuk tidak lupa melakukan mitigasi dengan mengaktifkan verifikasi dua langkah pada aplikasi percakapan serta media sosialnya masing-masing. Untuk verifikasi dua langkah pada aplikasi WA, pengguna diminta mengaktifkan PIN alih-alih SMS. Pada akun Telegram, pengguna bisa menggunakan password.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//