Buku “Butuh Kampus Aman” untuk Menghalau Predator Seksual
Buku #ButuhKampusAman sebagai panduan bagi persma dalam menyikapi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampusnya. Posisi persma rentan menghadapi pembredelan.
Penulis Sherani Soraya Putri6 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Diskriminasi dan kriminalisasi kerap dialami oleh pers mahasiswa (persma) di Indonesia ketika mengusut kasus kekerasan seksual (KS). Kampus sebagai lingkungan akademik yang menjunjung tinggi moralitas dan kebebasan akademik, justru bersikap antikritik terhadap pemberitaan kasus kekerasan seksual yang dilakukan pers mahasiswa.
Di tengah maraknya kasus kekerasan seksual di satu sisi dan di sisi lain persma rentan mendapat serangan karena memberitakan kekerasan seksual di kampusnya, Project Multatuli dan Rutgers Indonesia berkolaborasi dengan 22 Persma di Indonesia. Kolaborasi ini melahirkan buku #ButuhKampusAman.
Terbitnya buku "Butuh Kampus Aman" diharapkan dapat membantu dalam mengantisipasi kekhawatiran dan ketakutan Persma jika berhadapan dengan kasus kekerasan seksual di kampusnya.
Direktur Eksekutif Project Multatuli Evi Mariani mengungkapkan dorongan menyusun "Butuh Kampus Aman" lahir dari keresahan para Persma sendri di mana mereka sering kali mengalami kebingungan dalam mekanisme peliputan isu kekerasan seksual di kampus.
Menurut Evi, buku panduan ini menjadi angin segar bagi tindak lanjut dalam mengatasi persoalan ini dalam ruang lingkup kampus. Buku memuat hal-hal prinsipil dan memberikan pilihan alternatif dalam penggarapan studi kasus, tanpa fokus pada jangkauan narasumber penyintas. Di mana pada kenyataannya, kondisi demikian cenderung membebani penyintas.
“Perjuangan untuk menghapuskan KS itu memang penting dengan penyintas, tetapi saya kira juga yang di luar penyintas harus lebih aktif agar bersama dengan penyintas,” ujar Evi Mariani, dalam acara peluncuran buku dan diskusi #ButuhKampusAman secara daring, Selasa (4/10/2022).
Charlenne Kayla selaku Tim Penulis mengungkapkan bahwa dalam buku ini dibahas secara komprehensif perihal KS, mulai dari kebutuhan jurnalis dalam liputan hingga kontak-kontak pihak yang kiranya dapat dijadikan narasumber terkait data pendukung.
Evi menambahkan, buku ini juga terbuka menerima kritik dan saran untuk penyempurnaan. Masukan ini bisa disampaikan ke Project Multatuli. “Karena ini bukan buku yang mati,” tegas Evi.
Lahirnya buku "Butuh Kampus Aman" mendapat sambutan hangat dari Pemred LPM Lintas IAIN Ambon, Yolanda Agne. Baginya Persma sebagai kontrol sosial memang menjadi pihak yang sangat rentan atas tindakan represif birokrat, karena kritik mereka yang sering kali dianggap menyerang instansi pendidikan.
Hal demikian sangat berpotensi untuk menghambat kerja-kerja jurnalistik yang bersifat progresif. Dengan adanya buku ini diharapkan dapat membantu dalam mengantisipasi kekhawatiran dan ketakutan Persma jika dihadapkan dengan kasus KS. “Buku ini menjadi satu hadiah besar bagi Persma,” tutur Yolanda Agne.
Memberitakan kasus kasus kekerasan seksual tentunya tidak mudah, walaupun pemberitaannya didasarkan pada perspektif korban. Bahkan risiko memberitakan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus bisa mengancam keberlangsungan organisasi maupun akademik mahasiswa.
Ini dialami sendiri para awak LPM Lintas IAIN Ambon. Sejak menerbitkan majalah berjudul IAIN Ambon Rawan Pelecehan, persma ini mengalami pembredelan oleh kampusnya. Dua awak redaksinya dipukuli, 9 orang yang terlibat dalam tim investigsai LPM Lintas dilaporkan ke polisi dengan tudingan melanggar pasal karet UU ITE.
”Saya sendiri sebagai Pemred (Pemimpin Redaksi) dan beberapa teman tidak bisa mengurus kuliah sampai urusan di Polda selesai, itu pun tidak dengan peraturan tertulis, hanya pemberitahuan secara lisan,” ungkap Yolanda.
Berdasarkan data LBH Pers, hingga menjelang akhir tahun 2022 tercatat 5 kasus Persma yang dipersekusi karena meliput isu KS di universitas. Pada akhirnya mereka diintimidasi UU ITE, takedown berita, bahkan penganiayaan.
“Jadi memang sangat penting buku panduan ini, yang dapat digunakan oleh teman-teman LPM dalam peliputan,” kata Mustafa Layong sebagai perwakilan LBH Pers.
Perlindungan Hukum Persma
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Permendikburistek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Akan tetapi jika kejadian pelecehan seksual melibatkan para pemangku kepentingan, baik itu oleh dosen maupun mahasiswa lainnya, maka Permendikbud sulit ditegakkan.
“Identitas yang sangat berlapis ini, sumber daya yang kuat ini, dihadapkan dengan orang yang biasa saja, maka sulit untuk mengusutnya, karena dia (pelaku) mendapatkan banyak perlindungan,” tambah Aktivis Kesetaraan Gender, Kalis Mardiasih.
Selanjutnya Layong menjelaskan bahwa secara konstitusional dalam UU Pers, posisi Persma sebenarnya tidak begitu tegas bisa mendapatkan perlindungan hukum. UU Pers menyatakan bahwa pers harus berbadan hukum. Sedangkan Persma serta media alternatif lainnya tidak memiliki badan hukum sehingga tidak termasuk dalam cakupan pers nasional arus utama.
Tetapi jika melihat dari ruang lingkup yang lebih luas, UU Pers menyatakan bahwa persma merupakan bagian dari wahana komunikasi, yakni melalui karya jurnalistik. Jadi secara substansial Persma berhak mendapatkan pengayaan akan perlindungan secara konstitusi, walaupun tidak masuk bagian dari pers nasional.
“Sehingga ketika terjadi serangan, agenda advokasi kita adalah pengaduan kepada Dewan Pers (DP),” katanya.
Dewan pers pun merekomendasikan agar penyelesaian persoalan Persma yang mendapatkan gugatan dari pembaca harus diselesaikan di Dewan Pers bersama dengan media arus utama lainnya. Mekanisme yang dipakai melibatkan lembaga-lembaga pengawas yang ada di Dewan Pers.
Sebagai antisipasi, Layong menyarankan kepada Persma agar mengedepankan implementasi Kode Etik Jurnalistik serta keberimbangan (cover both side) atau keseimbangan dalam pemberitaan. Jangan sampai karena terlalu semangat berpihak kepada korban, pers tidak memberikan ruang bagi pelaku untuk mengonfirmasi.
“Bahwa sebetulnya konfirmasi terhadap pelaku, bukan berarti kita memberikan ruang dan menghilangkan keberpihakan kita terhadap korban,” katanya.
Konfirmasi secara berimbang itu dilakukan untuk melindungi internal Persma. Karena jika tidak demikian, berpeluang besar akan dikatakan sebagai pelanggaran kode etik, bahkan bisa dijerat UU ITE atau UU karet lainnya.
Kebebasan berekspresi maupun kebebasan berekspresi sejatinya telah dijamin konstitusi. Namun jurnalis, termasuk persma, kini menghadapi sejumlah pasal karet. Selain dari UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi juga memiliki pasal yang berpotensi menjadi pasal karet. Keduanya bisa berdampak pada kebebasan pers dan berekspresi. “Namun sayangnya beberapa pasal berpotensi pasal karet juga,” tandas Layong.
Tetapi yang jelas, Layong menegaskan Persma nasional, Dewan Pers, AJI Indonesia maupun pihak terlibat lainnya terus mengupayakan advokasi untuk menetapkan kebijakan di mana keputusan tindakan tegas terhadap Persma cukup dilakukan melalui Dewan Pers, tidak harus sampai ke aparat kepolisian.
Baca Juga: Menagih Peran Negara Menangani Kekerasan Seksual
Suara Pendamping Korban Kekerasan Seksual
Data Korban Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia
Dilematika Satgas Kekerasan Seksual di Kampus
Kekerasan seksual adalah tindak kriminal yang sering tidak dilaporkan. Banyak tantangan yang dihadapi dari sisi korban, antara lain pandangan tabu pada kekerasan seksual dan stigma negatif yang melingkupinya.
Tantangan ini juga berlaku di kampus. Banyak korban yang memilih diam terhadap kasus kekerasan seksual yang dia hadapi.
Andayani, Plt Satgas PPKS UIN Sunan Kalijaga mengutarakan, tidak mudah bagi korban menaruh kepercayaan kepada pihak kampus. Karena khawatir jika namanya sebagai penyintas diketahui oleh pihak dosen akan mempengaruhi akademiknya. Maka perlu ditingkatkan upaya mengatasi tantangan breaking the silence.
Meskipun demikian, suatu hal yang pasti jika dari pihak kampus akan terjadi resistensi karena berkaitan dengan ketimpangan kuasa demi mempertahankan nama baik kampus.
“Saya tidak ingin melihat itu sebagai excuse,” tegas Andayani seraya menegaskan bahwa tim satuan tugas akan bertindak profesional dan berpihak kepada korban.
Sebagai satgas PPKS, Andayani memberikan pemahaman kepada para pemangku kebijakan untuk melindungi HAM setiap civitas akademika, khususnya mahasiswa. Terjadinya fenomena gunung es di kampus, dalam hal ini KS, sudah seharusnya kampus mengusut tuntas. Dengan itu, kampus terbukti memberikan rasa aman kepada korban.
Upaya sangat penting untuk terus melakukan kerjasama dari berbagai pihak mengenai penindakan kasus KS yang dialami, baik perempuan maupun laki-laki.
“Saya sangat mengapresiasi, semakin banyak mahasiswa dan jurnalis yang mengangkat kasus itu, kita terbantu,” ujarnya.
Selain itu ia menekankan agar diperlukan penekanan netralitas bagi para jurnalis dalam peliputan, agar tercipta keadilan.
Eni Simatupang dari Purple Code menyoriti bahwa keadilan itu tidak bisa disamaratakan, apalagi dengan kondisi kuasa yang tidak setara antara pelaku dan korban. Oleh karena itu jurnalis harus berperspektif korban, dan kampus menjadikan mahasiswa sebagai kawan bukan lawan.
Namun dirinya juga cukup pesimis terhadap kampus, karena siapa yang kuat dia yang aman. Dampaknya tidak hanya berimbas pada ranah akademik, namun juga mental penyintas.
Terlebih sedikitnya kasus yang dilaporkan, kemungkinan besar karena khawatir tidak mendapatkan validasi. “Prosesnya untuk dikatakan sebagai pelecehan itu cukup lama, butuh waktu, bahkan dianggap masalah kecil,” jelasnya.
Faktanya adanya Satgas PPKS di kampus sebetulnya tidak menjadi jaminan secara konkret dapat mengatasi permasalahan KS. Dengan demikian, apabila kita lihat Satgas di kampus cukup problematik, maka Eni berpendapat perlu dibentuk tim independen di luar kampus.