• Berita
  • Membaca Sastra Tiongkok Indonesia Bersama Asian African Reading Club

Membaca Sastra Tiongkok Indonesia Bersama Asian African Reading Club

Asian African Reading Club (AARC) membumikan dan menghujamkan semangat Bandung dengan tadarusan buku. Ada ikatan batin antara sastra Tionghoa dan Indonesia.

Wisatawan melihat display foto-foto suasana bagian dalam Musium Konferensi Asia Afrika, Bandung, 21 Oktober 2021. Komunitas Asian African Reading Club (AARC) menghidupi kegiatan di Museum KAA. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Sherani Soraya Putri8 Oktober 2022


BandungBergerak.idPara pegiat komunitas literasi Bandung, Asian African reading Club (AARC), membaca buku Kumpulan Puisi Tiongkok yang diterjemahkan sastrawan Bandung, Soeria Disastra. Pembaca diajak menyelami negeri tirai bambu di masa revolusi komunis. Sastra pun menjadi gerbang zaman.

“Kita bisa memasuki satu zaman, satu daerah, dengan pintunya sastra,” ucap kata Sekretaris Jenderal Asian African Reading Club, Adew Habtsa, di sela-sela tadarus buku rutin AARC, Rabu (5/10/2022).

Seperti tradisi tadarus AARC sebelum-sebelumnya, para pegiat dari berbagai latar belakang melakukan pembacaan buku puisi secara bergiliran. Pembacaan dimulai dari halaman kata pengantar buku Kumpulan Puisi Tiongkok yang sekilas menggambarkan dinamika puisi modern di Tiongkong tahun 1920-an.

Dari situ diketahui pergolakan politik ideologi komunis di Tiongkok berkaitan dengan upaya menghidupkan puisi. Walaupun realitanya, tonggak pemerintah yang berkuasa mempengaruhi wajah puisi yang dibuat dan diedarkan masyarakat. Politik cukup kuat memengaruhi sastra di Tiongkok.

Puisi-puisi Tiongkok di tahun itu tidak hanya berbicara tentang romantisme atau percintaan. Tetapi tema yang banyak diolah justru lebih didominasi isu-isu perjuangan, kondisi sosial politik, nasionalisme, dan komunisme.

Begitulah China yang memiliki karakter tersendiri tentang arti komunis. Tidak sama dengan komunisme Uni Soviet.

Di luar itu, diterangkan juga tugas menerjemahkan puisi ke dalam bahasa Indonesia. Soeria Disastra menunjukkan salah satu peran penting sastrawan melalui kerja penerjemahannya.

Lelaki pemilik nama nama Tiongkok, Bu Ru Liang, itu melakukan penelitian pada setiap huruf atau kata dengan segala aspeknya. Selama ini negeri panda sering kali dianggap membatasi diri dengan negara dan masyarakat luar.

Tapi buku tersebut menyatakan, bisa jadi bukan mereka yang menutup diri, namun kita yang telah membatasi untuk tidak mengenal dan mempelajari tentang Tiongkok.

Adew Habtsa berharap tadarusan buku AARC kali ini bisa membantu pembaca dan pendengar untuk mengenal persoalan sosial masyarakat. Karena puisi dalam hal ini menjadi cerminan masyarakat.

Musikus balada tersebut menambahkan, pembacaan buku Kumpulan Puisi Tiongkok oleh AARC akan menghabiskan waktu pembahasan hingga November mendatang.

Pegiat Sastra Tionghoa-Indonesia

Bu Ru Liang atau Soeria Disastra merupakakan pegiat sastra Tionghoa-Indonesia kelahiran Bandung. Ia aktif menulis puisi tetapi menolak disebut sastrawan. Baginya sebutan sastrawan terlalu berat dan megah. Dan ia lebih suka disebut pegiat dan pecinta sastra Tionghoa-Indonesia. Di samping itu, ia juga mencintai sastra Sunda.  

Pendiri Kelompok Pecinta Sastra (KPS) Bandung ini rajin menterjemahkan puisi-puisi penyair Tanah Air ke dalam bahasa Mandarin, dengan maksud mengenalkan penyair Tanah Air kepada warga Tionghoa.

Terjemahannya antara lain puisi-puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sitor Situmorang, Taufik Ismail, Subagyo, Saut Situmorang, Sapardi, Acep Zam-zam Noor. Malah di masa Orde Baru ketika warga Tionghoa dikekang, ia menterjemahkan sajak-sajak pilihan karya sastrawan Ramadan KH berjudul Priangan Si Jelita.

Sebaliknya, ia mengenalkan para penyair Tionghoa lewat buku terjemahan bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia. Di antaranya buku kumpulan puisi dengan judul Tirai Bambu tahun 2006. Buku ini berisi 100 puisi modern awal abad ke-20 hingga 1949.

Yang menarik, salah satu tokoh penyair yang karyanya ia terjemahkan adalah Mao Zedong atau Mao Tse-tung. Karya Mao masuk ke dalam kumpulan 65 puisi terjemahan tokoh revolusioner Republik Rakyat Tionghoa. Antologi puisi ini diberi judul “Salju dan Nyanyian Bunga Mei”.

Buku “Salju dan Nyanyian Bunga Mei” menampilkan sisi lain Mao Tse-tung. Menurut Soeria, puisi-puisi Mao begitu puitik dan romantis.

Tak hanya menerjemahkan. Soeria Disastra menulis karya sendiri, antara lain prosa Putra Putri Tionghoa di Nusantara, buku puisi Senja di Nusantara, Antologi Prosa dan Puisi yang terbit 2004. Karya-karya ini dimuat di berbagai harian, majalah sastra bahasa Tionghoa, dan beberapa buku antologi prosa dan puisi bahasa Tionghoa-Indonesia.

Melalui Kelompok Pecinta Sastra yang didirikannya ia berusaha memperkenalkan sastra Tionghoa-Indonesia maupun sastra Tionghoa-Sunda. Tujuan KPS Bandung sendiri mendalami dan mengenal kebudayaan Sunda dan Indonesia lewat sastra.

Pada 2002, KPS menggelar lomba cerita pendek bahasa Sunda yang hasilnya dibukukan lewat kumpulan cerpen Ti Pulpén Nepi ka Pajaratan Cinta.

Upaya Soeria yang memadukan budaya Tionghoa dan budaya Sunda terlihat dalam puisinya berjudul Saya Tidak Pernah Melihat Bulan Tiongkok. Lewat puisi ini ia memadukan mitos yang ada di negeri Tionghoa dan mitos yang ada di masyarakat Sunda.

“Di negeri Tiongkok ada mitos seorang dewi yang terbang ke bulan, yakni Dewi Chang E, yang kesepian karena di bulan sendirian. Sedangkan di Tatar Sunda ada mitos tentang Nini Anteh yang juga terbang ke bulan,” tuturnya.

Dalam puisi itu ia berharap Dewi Chang E yang kesepian bertemu dengan Nini Anteh. Sehingga mereka bisa saling menemani.

“Puisi itu saya buat karena saya memang belum pernah melihat bulan di Tiongkok. Puisi ini disebut-sebut (pengamat) memadukan budaya Tionghoa dan Sunda,” katanya.

Membumikan Semangat Bandung

Selama tiga belas tahun berdiri, Asian African Reading Club rutin menyelenggarakan aktivitas tadarus buku setiap hari Rabu sore selama dua jam, yang dihadiri oleh masyarakat dari berbagai latar belakang. Mulai dari kalangan buruh, mahasiswa hingga warga sekitar wilayah Museum Konferensi Asia Africa.

“Karena kita menjembatani temen-temen yang datang ke diskusi buku, tidak pernah membaca bukunya, lagian bukunya juga buku langka” kata Adew.

Membaca adalah kesabaran tiada tara. Buku “Dibawah Bendera Revolusi” yang menghimpun tulisan-tulisan Bung Karno adalah contoh buku yang dibahas AARC dalam jangka waktu cukup lama, tepatnya dari Februari-Oktober tahun 2013. “Kita bahas itu sampai selesai, dahsyat itu, sabar temen-temen bacanya,” ujar Adew.

Membaca buku berkaitan dengan mentalitas seseorang. Dibutuhkan tekad dan niat yang kuat untuk menamatkan satu buku. Namun dengan tadarusan bersama, membaca memiliki nilai lebih karena adanya interaksi yang sehat.

“Buku menjadi media, membaca itu bukan tujuan, yang penting mah ada kebahagiaan dan interaksi yang sehat,” tandasnya.

Walaupun begitu, ia tidak menafikan literasi pada hakikatnya salah satu cara untuk menggapai ilmu pengetahuan, mengeksplorasi kualitas diri, salah satunya berani mengutarakan pemikiran.

“Saya kepikiran beberapa waktu belakangan ini tentang perilaku yang asertif, dapat menyatakan pikiran dan perasaannya tentang suatu persoalan,” tutur Adew.

Apabila diklasifikasikan, perilaku seseorang dibagi menjadi tiga, yaitu asertif, submisif, dan agresif. Adew berharap bagi mereka yang mengikuti kegiatan AARC memiliki sikap asertif, yakni menyampaikan segala sesuatunya sesuai dengan fakta dan data. Turunannya, semua jadi berani untuk berpendapat dan tidak ada ketergantungan.

Pada beberapa tahun ke belakang, setiap pertemuan AARC selalu dihadiri pembahas yang membantu untuk memahami dan mendalami buku yang dibaca bersama. Namun hal tersebut memicu kecenderungan teman-teman terlalu bergantung kepada pembahas. Hal ini membuat berkurangnya keberanian untuk mengemukakan pendapat secara langsung.

Oleh karena itu, saat ini Adew menyampaikan bahwa pembahas buku hanya dihadirkan satu bulan sekali, yakni di minggu ke empat. Pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab di tadarus-tadarus sebelumnya dapat disampaikan langsung kepada pembahas. “Mudah-mudahan jadi pembelajaran,” ungkapnya.

Lebih dari itu, tadarusan AARC diharapkan mengasah pesertanya untuk berargumentasi. Terlebih fenomena sekarang di media sosial setiap orang begitu mudahnya berpendapat, namun tanpa pertimbangan yang matang. Padahal menulis di media sosial memerlukan perenungan yang matang. Hal ini sangat penting untuk dilakukan, agar tidak asal berbicara dan bertindak.

Dalam praktiknya, AARC selalu memilih buku-buku langka untuk dibaca bersama. Buku tersebut juga harus sesuai dengan poin-poin kesetaraan, perdamaian, dan kemanusiaan yang diusung semangat Konferensi Asia Afrika.

Tujuan utama tadarusan AARC adalah menghidupkan semangat Bandung hasil dari Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Buku yang dibaca pun harus dilengkapi latar belakang penulis dan pemikir yang berasal dari Asia Afrika.

“Membumikan dan menghujamkan semangat Bandung yang damai, intinya gotong royong,” jelas Adew.

Adapun buku yang menjadi bahan tadarus terbilang langka, misalnya “The Bandung Connection” yang menjadi buku bacaan wajib di komunitas tersebut. Untuk mendapatkan bahan bacaan, AARC memiliki jaringan toko buku, di antaranya LawangBuku, pelapak buku lawas di Jalan Dewi Sartika dan Cikapundung, dan lain-lain.

Baca Juga: Ernest Cecil Sparkes, Orang Inggris yang Membuka Usaha di Jalan Asia Afrika
Dua Belas Tahun Mendaras Asia Afrika
MEMORABILIA BUKU (7): Festival Buku Asia Afrika dan Komunitas Baca Asian African Reading Club

Kegiatan Asian African Reading Club yang dimulai 15 Agustus 2009, kini telah berusia 15 tahun. AARC rutin menggelar membaca buku bersama di Museum Asia Afrika setiap hari Rabu. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Kegiatan Asian African Reading Club yang dimulai 15 Agustus 2009, kini telah berusia 15 tahun. AARC rutin menggelar membaca buku bersama di Museum Asia Afrika setiap hari Rabu. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Mewariskan Dasasila Bandung

Dorongan untuk meningkatkan minat baca terus digaungkan oleh AARC. Sebelum pandemi, biasanya AARC memulai acara pukul 17.00 sampai pukul 20.00. Acara dibuka dengan pembukaan tadarus buku, diselingi salat magrib, sesi 2 dimulai dengan doa, lagu Indonesia Raya 3 stanza, ditutup dengan paparan dari narasumber. Akan tetapi sejak pandemi kegiatan di MKAA jadi terbatas dan tidak bisa sampai malam.

Seiring perjalanan waktu, minat terhadap kegiatan AARC mengalami pasang surut. Tadarusan AARC kebanyakan diminati mahasiswa.

“Kajian di AARC ini banyak membahas tentang kajian sejarah, politik luar negeri, jadi kalau banyak mahasiswa, kita jadi bersemangat kembali. Setelah itu, melempem lagi,” ucapnya.

Namun sejauh ini konsistensi AARC telah teruji. Besar atau kecil peminat telah dibuktikan setiap Rabu sore sejak 2009. Hal ini menambah semangat Adew dan pengurus lainnya untuk mempertahankan kegiatannya.

Kegiatan AARC dikemas sederhana, tidak ada struktur keanggotaan di dalamnya, semuanya serba longgar dan tanpa paksaan. Tetapi mereka berangkat dari kegelisahan yang sama, yaitu meramaikan literasi di Bandung.

Pihak AARC tidak mengarahkan secara langsung kepada kawan yang ikut kegiatan untuk menghasilkan output yang pasti. Namun nyatanya banyak dari mereka yang mengatakan dengan adanya aktivitas rutin AARC berguna bagi kehidupan akademik maupun nonakademik.

Ada yang memanfaatkan kegiatan AARC sebagai kebutuhan penelitiannya, ada pula yang menjadikannya sebagai motivasi dan inspirasi untuk berkarya secara bebas di bidangnya masing-masing, seperti melukis, membuat lagu, dan menulis buku.

“Saya jadi merinding, berarti apa yang kita lakukan itu ada gunanya,” syukurnya.

Salah satu kawan AARC yang menelurkan karya adalah Pramukti Adhi Bakti. Selama mengikuti kegiatan AARC, secara diam-diam Pram mengobservasi untuk bahan bukunya. Pram juga pernah membantu kawan-kawan lain agar lebih mudah memahami buku berbahasa asing, dengan menerjemahkan buku tersebut.

Model pembacaan yang dilakukan AARC menjadi daya tarik tersendiri. Selama satu jam mereka mendengarkan kawan yang membacakan saling bergantian, dan satu jam lagi digunakan untuk berdiskusi.

Ada keseruan tersendiri dari kegiatan membaca bersama itu yang tidak didapat dari membaca sendiri. AARC pernah kedatangan teman-teman tunanetra yang merasa terbantu dengan kegiatan tadarus ini, mereka serasa didongengi.

Lagi pula, tidak semua orang suka membaca. Terdapat orang yang terbiasa mendengarkan. Mungkin jika mengacu konteks saat ini, mereka akan lebih menggemari audiobook atau platform spotify.

“Bedanya, AARC menawarkan diskusi yang renyah tanpa penghakiman bagi siapapun yang mengutarakan pendapatnya,” katanya, Kamis (06/10/2022).

Pram tanpa sengaja bergabung dengan AARC sejak September 2014 atas ajakan dosennya, Mif Baihaqi. Awalnya Pram hanya untuk mendampingi Mif yang diminta Adew untuk jadi narasumber. Waktu itu buku yang dibaca yaitu Demokrasi Kita-nya Mohammad Hatta.

Selang satu bulan setelah mengikuti kegiatan itu, Pram dan Mif membuat kegiatan tadarus buku di ruang baca Departemen Psikologi UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) yang bernama Kawan Tadarus Psikologi (KTP) dan masih berjalan sampai hari ini.

“Insya Allah, dalam waktu dekat KTP akan menadaruskan buku Teten Masduki, Panglima Domba Melawan Korupsi,” ucapnya.

Baginya AARC adalah ruang hiburan satu minggu sekali. Ilmu yang didapat dari tadarus hanya bonus, sisanya pelepasan penat. Di luar itu, AARC juga membuka ruang jejaring yang luas baginya sejak tahun 2014 hingga hari ini, baik dalam bidang keilmuan, komunitas, dan pekerjaan.

Boleh dibilang, 75 persen karyanya di berbagai bidang terinspirasi oleh AARC dan buku-bukunya. “Kalau di luaran sana adalah tempat melakukan tindakan, bisa dibilang AARC itu laboratoriumnya,” jelas Pram.

Kunci AARC bertahan lama adalah dengan adanya konsistensi yang terus dirawat, hal yang paling sulit dilakukan oleh kebanyakan komunitas di Bandung. Akibatnya banyak komunitas yang bubar jalan tak lama setelah berdiri. Pram berkata AARC beruntung punya Sekjen seperti Adew yang konsisten menjaga kegiatan AARC setiap Rabu sejak 13 tahun sampai hari ini.

Di sisi lain titik terberat dari tiap komunitas atau organisasi adalah kaderisasi atau pewarisan kegiatan. Dengan keanggotaan yang tidak tetap akan sulit bagi AARC untuk diteruskan kepada generasi selanjutnya.

”Kalau suatu saat Kang Adew sudah tidak bisa melanjutkan,” ujar Pram.

Terlepas dari semua itu, berdasarkan pada nilai-nilai yang dianut oleh AARC yang bersumber dari Dasasila Bandung, pada hakikatnya memang tidak menuntut adanya pewarisan kegiatan, tapi lebih pada pewarisan nilai-nilainya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//