• Berita
  • Layanan Kesehatan Mental di Jawa Barat Belum Maksimal

Layanan Kesehatan Mental di Jawa Barat Belum Maksimal

Di Jawa Barat terdapat ada 1.100 Puskesmas. Namun semua layanan ini tidak bisa memberikan intervensi lengkap untuk kasus kesehatan jiwa.

Aksi pengemudi ojek online yang terdampak kenaikan harga BBM, di Bandung, 21 September 2022. Masalah sosial seperti kenaikan harga BBM memberikan tekanan psikis pada masyarakat. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Sherani Soraya Putri11 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Dunia sudah lama menyuarakan darurat kesehatan mental. Tetapi upaya penanganan masalah kejiwaan ini jauh tertinggal dibandingkan sarana dan prasarana kesehatan fisik. Sebagai gambaran, provinsi Jawa Barat selalu mengalami kekurangan anggaran untuk menangani masalah-masalah kejiwaan.

Masalah tersebut mengemuka dalam peringatan World Mental Health Day: Make Mental Health & Well Being For All A Global Priority secara hybrid, Senin (10/10/2022).

Menurut Dinas Kesehatan Jawa Barat, saat ini pihaknya sedang menghadapi tantangan dalam pemanfaatan anggaran untuk kesehatan jiwa. Anggaran yang kecil tersebut bahkan sering kali dipotong hingga sekitar 40 persen. Hal ini berdampak terhadap sulitnya untuk memonitor kinerja tim kesehatan di kabupaten atau kota di Jawa Barat.

Selain itu, akses bagi perbaikan kesehatan jiwa dipengaruhi juga jumlah tenaga ahli, misalnya persoalan klasik pemindahan atau pergantian dokter. Hal ini mempengaruhi pada berjalannnya program layanan.

Di Jawa Barat terdapat 1.100 Puskesmas. Namun semua layanan ini tidak bisa memberikan intervensi lengkap untuk kasus kesehatan jiwa. Pelayanannya masih mengandalkan praktik dokter umum, bukan ahli kesehatan jiwa.

Pandemi Covid-19 yang berlangsung dua tahun ke belakang memperparah layanan kesehatan jiwa di Jawa Barat. Di sisi lain, kondisi sosial masyarakat juga turut mempengaruhi akses layanan. Banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang pentingnya kesehatan jiwa. Mereka juga mengalami keterbatasan akses karena faktor ekonomi.

Tedi Hidayat, pakar kesehatan mengajak kepada para pemangku kepentingan, akademikus, dan peneliti untuk mengatasi secara lebih lanjut penanganan kesehatan jiwa. Menurutnya, Indonesia mengalami darurat kesehatan mental, mulai dari depresi hingga kecemasan karena masalah sosial.

Gangguan kesehatan mental pada akhirnya akan mengganggu produktivitas manusia. Faktanya, satu dari empat orang mengalami masalah kejiwaan. Kemenkes (Kementerian Kesehatan) mencatat sepanjang tahun 2022,  6,1 persen (11.315.500 orang) mengalami depresi, celakanya hanya 9 persen yang baru mendapatkan pengobatan, sedangan 91 persen tidak terakses oleh pengobatan.

“Setiap 40 detik terdapat individu yang memutuskan untuk bunuh diri,” kata Tedi Hidayat.

Tedi menyatakan, salah satu langkah mengurangi masalah kesehatan jiwa dengan gencar melakukan edukasi yang meningkatkan kemampuan daya tahan hidup. Sebab bagaimanapun faktor-faktor penyebab stres tidak bisa dihilangkan.

Baca Juga: Kesehatan Mental di Indonesia belum Mendapat Perhatian Layak
Menanti Terobosan untuk Segudang Masalah Kesehatan Mental di Indonesia
Pagebluk Picu Naiknya Kasus Gangguan Jiwa pada Mahasiswa

Kesehatan Mental pada Anak Sekolah

Pukulan pandemi yang berlangsung dua tahun lalu amat dirasakan pada anak-anak sekolah. Dinas Pendidikan Jabar menggambarkan bahwa stres akibat pandemi ini muncul di saat dan setelah pandemi.

Di masa awal adaptasi pandemi, anak-anak sekolah mereka mengalami stres karena pembelajaran yang dilakukan secara daring. Sementara guru juga memiliki tanggung jawab untuk mengejar kurikulum. Hal ini menimbulkan situasi penggunaan waktu yang berlebih bagi anak-anak dalam mengerjakan pelbagai tugas sekolah.

Selanjutnya situasi pascapandemi di mana kasus Covid-19 mulai mereda, aktivitas kegiatan belajar mengajar telah kembali normal seperti biasa. Para murid datang langsung ke sekolah. Hal itu tidak menghentikan stres mereka. Anak-anak tetap menghadapi stres dengan konteks yang berbeda. Terlebih mereka sudah terbiasa dengan rutinitas baru sejak pandemi yang mengandalkan kegiatan daring.

Masalah lain yang dihadapi Jawa Barat adalah meningkatnya Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), seperti disampaikan perwakilan dari Dinas Sosial Jawa Barat, Supri. Ia mengaku cukup kelabakan menangani ODGJ yang terlantar di lapangan.

Belum lagi dengan masalah kesehatan jiwa yang dialami para penyandang disabilitas, sebagaimana dipaparkan Bandung Independent Living Center (BILIC). BILIC menyatakan beberapa penyandang disabilitas mereka mengalami disabilitas ganda. Mereka menghadapi masalah fisik dan mental. Namun hingga saat ini, akses, dana, sarana, dan prasarana masih sulit di dapatkan oleh mereka.

Dari paparan peringatan World Mental Health Day: Make Mental Health & Well Being For All A Global Priority itu terlihat bahwa fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat masih berada di tataran normatif, belum secara substansial menyentuh akar permasalahan.

Para ahli merekomendasikan agar Jawa Barat meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan kesehatan jiwa khususnya di Puskesmas-puskesmas di Jawa Barat. Sehingga masyarakat yang mengalami masalah psikologi bisa terjangkau dan terlayani. Hal ini perlu didukung oleh biaya dan akses yang terjangkau oleh berbagai kalangan masyarakat.

Beban Ekonomi Masyarakat

Terjadinya pandemi mempengaruhi keadaan mental yang semakin buruk. Saat ini, kehidupan berangsur normal. Sektor kehidupan sudah berjalan kembali. Namun, tetap saja, masalah mental tidaklah mereda.

Yang perlu dikhawatirkan saat ini justru situasi di sekitar kehidupan masyarakat yang berpotensi memicu masalah kesehatan mental terus memburuk. Contohnya, dinamika ketegangan politik internasional yang terjadi antara Russia dan Ukraina, inflasi, perubahan iklim, serta krisis pangan dan energi, hingga naiknya harga BBM.

Dampak lain dari pandemi adalah timbulnya ketidakamanan kerja, lingkungan kerja yang merugikan, eksploitasi hak kerja, dan lain-lain. “Semua krisis yang terjadi saat ini belum tahu kapan akhirnya, tidak jelas,” ungkap ahli ekonomi kesehatan, Adiatma YM Siregar.

Masalah berat terutama dihadapi oleh orang yang telah berkeluarga. Itu semua akan menyumbu keadaan semakin panas lagi.

Adiatama mengungkapkan posisi paling rentan dihadapi pekerja tidak tetap. Mereka berpotensi kehilangan pekerjaan. Maka diperlukan lebih massif lagi ruang-ruang untuk melatih kemampuan masyarakat.

Adiatama memaparkan hasil riset dengan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), bahwa pekerja yang diberikan pelatihan-pelatihan, seperti program Kartu Pra-Kerja, turut membantu pembentukan diri yang mandiri dan memberikan rasa tenang, walaupun bersifat sementara.

“Pelatihan itu yang setidaknya menimbulkan sedikit ketenangan,” katanya.

Menurut Adiatma sebetulnya manusia memiliki kemampuan resiliensi yang tinggi. Karena di saat yang bersamaan, saat pandemi Covid-19 ternyata manusia bisa bertahan. Ia juga berharap ada penguatan-penguatan masyarakat berbasiskan komunitas.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//