Semalam Suntuk Larut dalam Tarawangsa Rancakalong
Warga menari mengikuti petikan kecapi dan sayatan rebab seni tarawangsa. Malam peringatan maulid Nabi Muhammad SAW itu semakin syahdu.
Penulis Reza Khoerul Iman12 Oktober 2022
BandungBergerak.id – Alunan musik tarawangsa memecah keheningan malam Dusun Rancakalong, Kabupaten Sumedang, Senin (10/10/2022) malam. Warga menari mengikuti petik kecapi dan sayatan rebab. Malam peringatan maulid Nabi Muhammad SAW itu semakin syahdu.
Saya berkesempatan mengikuti acara bertajuk Seni Ormatan Tarawangsa yang merupakan acara tahunan. Acara digelar di rumah Emih Entin. Sejak pukul 20.00 WIB warga dusun Rancakalong telah berkumpul untuk bersiap mengikuti tradisi ini. Pukul 20.30 WIB ibu-ibu telah menyiapkan segala kebutuhan tarawangsa. Sesajen dihidangkan, dupa dinyalakan, sekar dibakar, wangi kemenyan menyeruak.
Namun sebelum acara inti dimulai, mereka melakukan prosesi doa bersama untuk mendoakan warga sendiri dan leluhur. Baru selepas doa, saehu pameget (pemimpin acara laki-laki) maju ke tengah ruangan sambil membawa atribut ritual. Ia duduk bersimpuh menghadap ke arah sesajen, berdoa, dan mulai ngibing (menari) khusyuk diiringi alunan musik tarawangsa yang bersumber dari rebab dan kecapi.
Gerakan ngibing saehu pameget seirama dan senada dengan iringan musik tarawangsa yang dimainkan oleh Seni Ormatan Tarawangsa Sasaka Bangun Jaya. Saking khusyuknya, sesekali sang saehu pameget tak kuasa membendung isak tangisnya. Tak lama kemudian, prosesi acara bergantian dengan para saehu istri (pemimpin acara perempuan).
Baik saehu pameget atau saehu istri, sedari awal mereka tampil menggunakan empat selendang yang berwarna-warni: merah, putih, kuning, dan hijau. Warna-warna pada selendang memiliki makna tersendiri yang menjadi spirit atas praktik ketubuhan ritual doa. Bukan hanya selendang saja, seluruh atribut, gerakan, hingga penataan yang ditampilkan pada acara tersebut sarat akan makna.
Jam dinding di kediaman Emih Entin telah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Warga semakin larut dalam pertunjukan tarawangsa. Salah seorang warga yang duduk di sebelah saya berkata, acara ini biasanya digelar semalam suntuk hingga menjelang subuh.
“Makin malam malah semakin seru, Jang,” ucapnya.
Bergiliran
Selepas saehu pameget dan saehu istri menampilkan prosesi ngibing gerakan adat lainnya, kini giliran ibu-ibu diberi kesempatan ngibing bersama. Sedari awal ibu-ibu telah diberikan selendang satu per satu untuk dikenakan pada saat ngibing.
Asap dupa, sekar, dan rokok semakin mengepul dan bersatu menjadi satu. Tidak saya hitung lagu keberapa yang mereka mainkan hingga pukul 23.00 WIB. Namun musik yang dimainkan semakin riang dan memiliki tempo yang cepat, berbeda dengan pada saat awal-awal musik dimainkan.
Hal tersebut membuat ibu-ibu yang melakukan ngibing semakin mempercepat temponya, menyesuaikan dengan irama musik yang dimainkan. Bahkan ada sejumlah ibu-ibu yang terlihat menitikkan air mata, ada juga yang tidak terkendali hingga tak sadarkan diri.
Tak ada gerakan khusus untuk melakukan ngibing tarawangsa. Setiap orang melakukannya senyaman dan sebisa mungkin yang ia lakukan. Asalkan gerakannya seirama dengan alunan musik tradisi tersebut. Seorang ibu mengatakan, bagi yang pertama kali ngibing mungkin akan sedikit kesusahan melakukannya. Namun seiring waktu tarian akan mengikuti alunan musiknya. Terlebih irama musik tarawangsa cenderung monoton.
“Gak ada gerakan khusus kalau ngibing mah. Senyamannya aja sama ikuti musik tarawangsa yang dimainkan. Mungkin buat yang awal-awal mah bakal agak susah, tapi ga apa-apa nanti coba saja sendiri ke depan pas giliran bapak-bapak,” ungkapnya.
Lewat tengah malam, pemain alat musik tarawangsa berganti. Kini giliran bapak-bapak yang diberi kesempatan untuk melakukan ngibing bersama. Secara teknis, tak ada yang berbeda dengan prosesi ngibing pada sebelumnya.
Ada hal lain yang istimewa pada sesi ini. Alat musik tarawangsa diambil alih oleh Pupung Supena. Ia dikenal sebagai salah satu maestro dan perajin tarawangsa di Rancakalong. Sejumlah rekaman Pupung Supena diterbitkan oleh Radio France Internatinale (RFI) yang merupakan bagian dari Radio France, Prancis, yang melayani siaran untuk Afrika Khatulistiwa Prancis.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB dini hari. Tetapi warga Rancakalong tetap setia mengikuti seluruh rangkaian acara. Sayang saya tidak bisa mengkuti acara tersebut hingga usai. Pukul 02.30 WIB dini hari, saya memutuskan untuk pulang menuju Kota Bandung.
Baca Juga: Merawat Tradisi Ngadulag, Mengokohkan Harmoni Islam dan Kearifan Lokal
Seni Tradisi dan Fotografi dalam Pusaran Arus Waktu
Tradisi Pemimpin Perempuan di Kampus ISBI Bandung
Kesan Pengunjung
Saya hadir di Emih Entin bersama sejumlah pegiat Komunitas Aleut, Bandung. Komunitas Aleut memang merupakan komunitas yang menaruh perhatian pada kegiatan-kegiatan sejarah dan budaya, di antaranya seni Tarawangsa.
Komunitas Aleut sudah cukup sering menghadiri kegiatan tarawangsa. Tahun-tahun sebelumnya mereka pernah menghadiri tarawangsa di Kabupaten Bandung dan Sumedang. Namun kali ini, anggota Aleut yang hadir kebanyakan baru pertama kalinya menyaksikan tarawangsa.
Misalnya Annisa Almunfahannah yang turut menari bersama ibu-ibu. Meski baru pertama kali mengikuti tarawangsa, namun ia mengaku tidak kesulitan untuk larut ke dalam emosi lagu.
“Kalau tadi aku mah ngerasanya ketika sudah nemu ritmenya mah jadi lebih mudah buat mengalir ngikutin beat musik pengiringnya. Terus jadi fokus ke satu hal. Musik dan gerakannya juga cenderung monoton, jadi tadi emang ngerasa akan mudah larut ke emosi tertentu,” tuturnya.
Pegiat Aleut lainnya, Rani, mengatakan tarawangsa membawa setiap orang yang mengikutinya untuk mengeluarkan emosi-emosi tertentu, baik itu riang, sedih, hingga tak sadarkan diri. Menurutnya, tarawangsa bisa menjadi media untuk menyalurkan emosi.
“Tarawangsa seperti jadi media penyaluran ekspresi. Ada yang riang gembira, fokus menikmati alunan musik, yang sedih, dan yang tidak sadarkan diri,” ungkap Rani.