• Narasi
  • PERANG DINGIN DI RUMPUT HIJAU #1: Dari Berlin ke Chili

PERANG DINGIN DI RUMPUT HIJAU #1: Dari Berlin ke Chili

Pertempuran selama periode Perang Dingin merembet ke wilayah sepak bola atau olahraga. Mulai dari Chile hingga Indonesia.

Andika Yudhistira Pratama

Penulis tinggal di Padalarang

Stadion Gelora Bandung Lautan Api di Gedebage, Bandung, Jawa Barat, 15 Desember 2021. Sepak bola selain ajang olahraga juga menjadi wahana mengungkapkan ekspresi politik. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

19 Oktober 2022


BandungBergerak.idJika kita menengok sekilas pada masa Perang Dingin yang terjadi pasca-Perang Dunia II hingga 1991, kita disuguhkan persaingan antara Blok Barat di mana Amerika Serikat sebagai negara yang paling sentral dari blok ini (sekutu) yang mengusung ideologi kapitalisme dan Uni Soviet dari Blok Timur yang mengusung ideologi sosialisme-komunisme. Ketengangan dari kedua blok pemenang dalam Perang Dunia II diawali di Jerman, tepatnya di kota Berlin.

Terhitung sejak tahun 1945 Berlin yang beralamatkan di Jerman bagian timur sebagai zona dari Uni Soviet harus terbagi-bagi menjadi empat zona, di mana sekutu atau Blok Barat mendapat pembagian wilayah Berlin, sehingga Berlin terbagi menjadi Berlin Barat dan Berlin Timur. Berlin Barat yang mengalami kemajuan ekonomi yang signifikan berbanding terbalik dengan tetangganya yang “ekonominya mandeg”, banyak warga Berlin Timur yang melarikan diri ke arah Berlin Barat. Hal ini menimbulkan reaksi dari pemerintahan Jerman Timur yang didukung Uni Soviet untuk melaksanakan Blokade Berlin di tahun 1948 kemudian dipertegas dengan didirikannya Tembok Berlin 1961. Pembangun tembok Berlin inilah yang semakin memanaskan persaingan politik dari kedua blok yang mengusung ideologi air dan minyak, sulit bertemu.

Ketika persaingan kedua blok kian memanas, mereka berlomba-lomba menyebarkan pengaruh politik dan ideologinya ke dunia melalui berbagai aspek kehidupan masyarakat dunia. Kita mungkin sering melihat narasi mengenai keberhasilan Uni Soviet menciptakan satelit pertama yang bernama Sputnik pada tahun 1957 dan Yuri Gagarin yang berhasil mengorbit ke luar angkasa tahun 1961; pun kita sering menyaksikan tampilan potongan video dokumenter pencapaian dari Neil Amstrong yang berjalan juga melompat-lompat di bulan dengan dengan Apollo 11 pada tahun 1969.

Di luar itu semua ada persaingan yang panas dalam rumput hijau sepak bola dari negara yang memihak kedua blok tersebut. Persaingan ditampilkan oleh salah satu pemain sebagai individu yang menganut salah satu ideologi yang sedang bersitegang ataupun dalam bentuk sebuah tim/klub. Segala hal dilakukan sebagai upaya melegitimasi kehebatan dari kedua blok yang bersitegang dalam Perang Dingin, khususnya Amerika Serikat dengan Uni Soviet.

Baca Juga: SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #1: Melahirkan Perlawanan pada Penjajahan
SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #2: PSSI Menentang Penjajahan Belanda
PROFIL RIVERSIDE FOREST: Membangun Sepak Bola Rakyat di Tangga Batu Tamansari

“Perang Dingin” sekitar Lapangan Bola di Chili

Bagi negara-negara yang sudah terpengaruh kedua ideologi tersebut, sepak bola menjadi ajang pertempuran selama periode Perang Dingin. Hungaria yang menjadi negara satelit dari Uni Soviet memiliki pelatih tim nasional sepak bola yang kuat kepercayaanya kepada komunisme. Dalam buku Ketika Tuhan Meninggalkan Kita, Kisah Tidak Biasa Dari Lapangan Bola (2021, hlm, 80) Gustav Sebes berujar, “Perjuangan sengit antara Kapitalisme dan Komunisme terjadi tidak hanya di antara masyarakat kita, tetapi juga di lapangan sepak bola”.

Ucapan Gustav Sebes tidak berlebihan, terutama jika kita menengok apa yang terjadi di Chili medio 1970-1990. Di rentang waktu tersebut terjadi intrik perebutan kekuasaan pucuk pimpinan Chili. Tahun 1970 Presiden Chili yang bernama Salvador Allende dicintai rakyat Chili terutama bagi kalangan buruh dan tani, dikenal sebagai simbol sosialis di Chili. Hal ini tentu bikin Amerika Serikat tidak nyaman. Untuk mengusir rasa tidak nyaman tersebut Amerika Serikat menggelar suatu Operasi Condor yang mempertemukan kediktatoran militer Amerika Selatan untuk merumuskan plan kerja sama yang lebih sistematis. Kerja sama ini ditunjukan untuk “melenyepakan subversi Marxis”.

Dan Chili di bawah pimpinan Allende menjadi benteng terakhir sosialisme di Amerika Selatan tidak luput dari Operasi Condor. Tahun 1973 ketika Allende jatuh oleh junta militer dan digantikan oleh Pinochet, Chili mengalami fase kediktatoran militer hingga tahun 1990. Selama fase kediktatoran militer Chili tersebut, sepak bola menjadi arena untuk perlawanan politis bagi musuh-musuh Pinochet yang satu napas ideologinya dengan Allende, yang paling terkenal sosok pemain tersebut ialah Carlos Caszely. 

“Sewaktu Chili yang lolos ke Piala Dunia 1974 akan berangkat ke Jerman dan Pinochet berminat melepasnya. Seluruh pemain berbaris untuk berjabat tangan dengan sang jenderal. Ketika gilirannya tiba, Caszely malah menyembunyikan tangan. Katanya dia melihat melihat sosok Hitler dengan jubah panjang, berkacamata hitam, mengenakan topi dan lima orang berdiri di belakangnya. Peristiwa itu mungkin merupakan penolakan terbuka pertama kepada Pinochet. Sebelas tahun kemudian Caszely kembali bersua Pincohet. Kali ini Pinochet menyinggung warna dasi Caszely. Warnanya merah. Bagi penguasa saat itu merah merupakan warna komunis. Pinochet pun membuat gerakan seolah akan memotong dasi tersebut. Tetapi Caszely adalah Caszely. Mulutnya berseloroh, “kamu boleh melakukannya, namun hatiku akan tetap merah selamanya”,” [Ketika Tuhan Meninggalkan Kita, Kisah Tidak Biasa Dari Lapangan Bola (2021, hlm.139-140)].  

Begitulah sepenggal kisah dalam sepak bola yang di dalamnya persaingan antarideologi terjadi di Chili sebagai benteng terakhir sosialisme di Amerika Latin. Sepak bola yang melibatkan banyak manusia dalam pergelarannya memiliki daya tarik yang luar biasa bagi kepentingan politis bagi kedua blok yang bersitegang dalam masa perang dingin.

Indonesia sekalipun menentang keterlibatannya ke dalam salah satu blok yang bersitegang, memanifestasikan sikapnya tersebut dalam Gerakan Non-Blok. Puncaknya tahun 1963, sebagai bentuk penentangan terhadap Komite Olimpiade Internasional, presiden Sukarno menggagas bentuk pesta olahraga tandingan terhadap Olimpiade yang dikenal dengan nama GANEFO. Bersambung ....

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//