PERANG DINGIN DI RUMPUT HIJAU #2: Dari Gelanggang Politik Indonesia Lahirlah Ganefo
Ganefo sebagai event olahraga negara-negara Non-Blok dan puncak amarah Sukarno. Ganefo pertama dan terakhir digelar tahun 1963.
Andika Yudhistira Pratama
Penulis tinggal di Padalarang
21 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Tanggal 17 Agustus 1945 adalah waktu yang sakral dan menjadi tanggal lahir bagi negara bernama Indonesia, setelah sebelumnya dihantam kejamnya kolonialisme dari bangsa kulit putih yang tinggal di tanah rendahan dan bangsa kulit kuning di timur jauh. Sebagai negara yang baru lahir Indonesia tentu mengalami berbagai permasalahan baik yang berupa ancaman terhadap keutuhan persatuan yang berasal dari dalam dirinya sendiri ataupun ancaman dari luar negeri.
Indonesia yang beralamat di antara 2 samudera dan 2 benua pun tidak luput dari perhatian dua negara adidaya yang sedang bersaing melebarkan pengaruhnya dalam periode Perang Dingin. Meskipun terbilang belia saat itu, Indonesia mampu menunjukan keberaniannya di tengah persaingan sengit antara Blok Barat dengan Blok Timur dengan menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung 18 April 1955. Konferensi ini menghasilkan Dasasila Bandung yang merupakan landasan persaudaraan dan solidaritas negara-negara Asia-Afrika yang pada kelanjutannya mendorong lahirnya Gerakan Non-Blok pada tahun 1961 di mana Indonesia terlibat sebagai inisiator bersama dengan Yugoslavia, India, Ghana, dan Mesir yang waktu itu bernama Republik Persatuan Arab.
Sengitnya persaingan politik dan IPTEK dalam masa Perang Dingin juga terjadi dalam gelanggan olahraga, terutama dalam cabang olahraga sepak bola.
Solidaritas Indonesia untuk Asia Afrika Melalui Sepak Bola
C. Ricklefs berujar dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, konferensi Asia-Afrika memberikan perhatian yang besar, “Perhatian rakyat untuk sementara dialihkan dari masalah-masalah dalam negeri oleh sebuah peristiwa diplomatik yang besar, Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Dalam Konferensi itu, hadir 29 negara. Di antara negara-negara besar Afrika dan Asia, hanya Korea Utara, Korea Selatan, Israel, Afrika Selatan, dan Mongolia Luar yang tidak diundang” (2010, hlm. 515-516). Konferensi yang diikuti negara-negara Asia Afrika pada 18 April 1955 di Bandung menghasilkan Dasasila Bandung di samping solidaritas di antara negara-negara Asia Afrika.
Penerapan solidaritas negara-negara Asia Afrika diuji dalam ajang olahraga, khususnya dalam ajang Kualifikasi Piala Dunia tahun 1958. Seperti yang kita ketahui dari peserta Asia Afrika terdapat negara-negara Arab yang menetang keberadaan Israel seperti yang dilakukan juga oleh Indonesia. Dalam polemik tersebut, Indonesia yang juga menjalin persabatan dengan negara-negara Arab terutama dengan mereka yang ikut serta dalam Konferensi Asia-Afrika tentu memegang teguh persaudaraan dan persahabatan dibandingkan menanggalkan persahabatan yang dilahirkan dari Konferensi Asia-Afrika hanya karena bertanding dengan Israel dalam kualifikasi Piala Dunia 1958.
Pertandingan kualifikasi Piala Dunia antara Indonesia melawan Israel yang awalnya akan terjadi pada September 1957 tidak terlaksana, hal ini tentu hasil dari ujian solidaritas Indonesia dengan negara-negara Arab, seperti dalam Politik Nasionalisme Sepak Bola Indonesia Era Soekarno 1950-1965:
“Pemerintah Indonesia dinilai ragu dalam memberikan izin dilangsungkannya pertandingan lawan Israel di Indonesia, di Israel ataupun di tempat netral. Indonesia khawatir terhadap sokongan yang diberikan oleh negara-negara Arab dalam sidang politik PBB. Apabila tetap bertanding dengan Israel, maka pemerintah takut tidak mendapat dukungan dari negara-negara Arab. Oleh sebab itu, pemerintah menyatakan PSSI untuk mengusahakan rencana pertandingan yang tepat sehingga tidak berpengaruh buruk terhadap hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah. PSSI sendiri bahkan sudah menerima ancaman yang menyatakan bahwa 14 negara Arab tidak akan bersedia mengadakan pertandingan sepak bola melawan Indonesia untuk selama-lamanya kalau Indonesia bermain dengan Israel. Akhirnya Indonesia memutuskan untuk tidak bertanding dan menganggap dukungan negara-negara Arab dalam sidang PBB lebih penting daripada sepak bola melawan Israel karena tidak memiliki hubungan diplomatik. Israel yang kemudian lolos ke piala dunia 1958” (2022, hlm. 1969-171).
Baca Juga: Perang Dingin di Rumput Hijau #1: dari Berlin ke Chili
SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #1: Melahirkan Perlawanan pada Penjajahan
SEPAK BOLA SEBAGAI ALAT PERJUANGAN BANGSA #2: PSSI Menentang Penjajahan Belanda
Ganefo: Event Olahraga Negara-negara Non-Blok dan Puncak Amarah Soekarno
Enam tahun setelah Konferensi Asia-Afrika terlaksana muncul satu organisasi internasional yang bernama Gerakan Non-Blok, yang diprakarsai oleh Indonesia, Yugoslavia, Mesir, India dan Ghana. Gerakan Non-Blok ini sedianya bertujuan sebagai penyeimbang Blok Barat dan Blok Timur yang persaingannya kian sengit serta menetang setiap tindak dari neoimperialisme dan neokolonialisme.
Dalam kancah politik pada tanggal 25 September 1963, Sukarno mengumandangkan “Ganyang Malaysia” sebagai respons rencana pembentukan negara Federasi Malaysia yang dinilai sebagai praktek neokolonialisme mengingat Inggris terlibat dalam rencana pembentukan negara Federasi Malaysia tersebut. Menurut M. C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, “Pada bulan Januari 1963, Sukarno menyatakan bahwa usulan Malaysia itu tidak dapat diterima oleh Indonesia, dan Subandrio menegaskan sikap Indonesia sebagai sikap ‘Konfrontasi’. 17 September, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dan, dalam waktu empat hari, Indonesia memutuskan semua hubungan dengan Malaya dan Singapura, yang menyangkut hampir separuh dari ekspor Indonesia” (2010, hlm. 565-567).
Dalam lensa politik Sukarno, pembentukan Federasi Malaysia tak lebih dari sekedar negara boneka Inggris yang merupakan bagian dari Blok Barat dan merupakan ancaman nyata bagi Indonesia. Memasuki tahun 1965, PBB memberi kedudukan bagi Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan, hal tersebut membuat amarah Sukarno memuncak hingga membawa Indonesia keluar dari PBB pada Januari 1965 sebab PBB tak ubahnya hanya sekadar alat dari Blok Barat yang sedang melakukan manuver politik neoimperialisme dan neokolonialisme, hingga Sukarno merencanakan pembentukan PBB tandingan bernama NEFO yang sedianya akan berpusat di gedung DPR/MPR sekarang.
Masih di tahun 1963, selain mengumandang “Ganyang Malaysia”, Sukarno membuat gebrakan dalam gelanggang olahraga dengan mendirikan Ganefo (Games of the New Emerging Force) sebagai respons terhadap skorsing yang diberikan IOC (International Olympic Committe) seperti dalam R.N. Bayu Aji (2022). Skorsing IOC terhadap Indonesia disebabkan “Indonesia tidak menyertakan Taiwan dan Israel pada Asian Games IV Jakarta tahun 1962”, sebab hal ini bertentangan dengan nilai-nilai persahabatan dan perdamaian dalam olahraga yang menjadi landasan awal ihwal pelaksanaan pesta olahraga Oliampiade.
Padahal sebelum Indonesia tidak menyertakan Isreal dan Taiwan, IOC (International Olympic Committe) selaku otoritas tertinggi olahraga dunia pernah “bermain politik” dengan menolak usulan Vietnam, RRC, Korea Utara untuk bergabung dalam Olimpiade, yang berkaitan dengan ideologi negara yang dianaut ketiga negara tersebut adalah komunisme. Sehingga Sukarno berpandangan bahwa IOC dan Olimpiade tidak lebih dari kepanjangan tangan Blok Barat yang liberal melalui gelanggang olahraga.
Sukarno sangat yakin bahwa olahraga, sepak bola, dan politik dapat berjalan beriringan. Masih dalam R.N. Bayu Aji (2022), “Pandangan Sukarno dengan tegas menyiratkan olahraga tidak bisa dilepaskan dari politik karena keberhasilan di bidang olahraga dapat membuka jalan bagi Indonesia untuk dapat diperhitungkan di dunia internasional. Ganefo juga menjadi alat dan media politik mercusuar presiden Sukarno untuk mempublikasikan dan mempopulerkan kemampuan politik Indonesia dalam ranah olahraga di mata dunia, khususnya di negara-negara Asia Afrika”.
Dan sepak bola menjadi salah satu cabang olahraga yang dipertandingakan dan diikuti oleh 13 negara, walaupun langkah Timnas Indonesia dalam Ganefo ini harus terhenti di babak perempat final setelah dikalahkan Korea Utara dengan skor 1-5. Terlepas dari negara yang ikut serta dalam Ganefo hanya diikuti atlet-atlet “kelas dua” di negaranya, tetapi pesta olahraga ini merupakan bukti bahwa negara-negara yang baru lahir mampu menunjukan diri dalam perhelatan internasional.
Ganefo yang terlaksana pada tahun 1963 merupakan Ganefo pertama dan terakhir. Sebab Ganefo II yang sedianya akan dihelat di Mesir tahun 1966 gagal karena didahului dengan huru-hara politik tahun 1965 di Indonesia yang berpengaruh langsung terhadap pembatalan Ganefo II dan disertai dengan bergabungnya kembali Indonesia ke PBB pada September 1966. Gelora politik Indonesia dan Gerakan Non-Blok dalam menentang neoimperialisme dan neokolonialisme yang didukung tangan-tangan kuat tidak terlihat selama Perang Dingin dalam gelanggang olahraga pun ikut terbenam hingga Perang Dingin usai.
Sepak bola Indonesia di masa sekarang dirasa mengalami khilaf yang kolektif, sepak bola Indonesia seakan lupa bahwa dirinya adalah alat perjuangan bangsa, bahwa dirinya alat persatuan juga alat menyebarkan eksistensi bangsanya ke seantero dunia. Kini dalam masa kapitalisasi, sepak bola terasa hanya sekadar pasar. Selesai.