• Kolom
  • SUARA SETARA: Kasus KDRT Dibuat Konten Prank, Matinya Nalar Berpikir Demi Adsense

SUARA SETARA: Kasus KDRT Dibuat Konten Prank, Matinya Nalar Berpikir Demi Adsense

Pelapor kasus KDRT memerlukan dukungan semua pihak. Diperlukan kampanye luas untuk melindungi korban.

Agida Hafsyah dan Rizal Bayhaqi

Pegiat di Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (Great UPI).

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

25 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa seorang penyanyi, Lesti Kejora. KDRT diduga dilakukan oleh suami Lesti, yakni Rizky Billar. Bagimanapun, sebuah bentuk kekerasan tidak dapat dibenarkan apa pun alasannya.

Akan tetapi memasuki bulan Oktober, lagi-lagi masyarakat Indonesia harus menyaksikan kembali peristiwa kelam dengan tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Kota Malang dan ditambah dengan peristiwa matinya nalar berpikir seorang Youtuber terkenal di Indonesia.

Hingga Minggu, 10 Oktober 2022 warganet terus meramaikan persoalan konten video yang diunggah oleh pasangan suami istri Baim Wong dan Paula Verhoeven. Walaupun kini kontennya sudah dihapus, namun tidak menyurutkan diskusi yang tengah dibangun oleh masyarakat. Menariknya konten tersebut dianggap tidak memiliki rasa kemanusiaan dan hilangnya nalar berpikir seseorang.

Bagaimana bisa di tengah berita salah satu artis terkenal yang sudah berani bersuara dan melaporkan sang suami dengan kasus KDRT, sang youtuber justru mebuat konten prank KDRT hingga melaporkannya kepada polisi. Banyak persepsi yang kemudian muncul di antaranya, sang Youtuber dinilai tidak etis dan menganggap seolah kasus KDRT adalah hal yang dinilai sepele apalagi kasus tersebut menimpa salah satu korban yang tidak lain teman mereka sendiri.

KDRT sebagai Kasus Berbasis Gender

Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau domestic violence merupakan kasus kekerasan berbasis gender yang terjadi karena adanya suatu hubungan personal, seperti suami kepada istri, ayah kepada anak, kakek kepada cucunya, dan sebagainya. Menurut data dari Kemen PPA (2022), jumlah kasus kekerasan berdasarkan tempat kejadian yakni di rumah tangga sebesar 11.255 kasus, dan pelaku berdasarkan hubungan suami-istri sebanyak 3.328 kasus.

Pengaruh negatif dari KDRT pun beraneka ragam dan bukan hanya bersifat hubungan keluarga, tetapi juga terhadap anggota dalam keluarga yang ada di dalamnya. Dalam hal luka serius fisik dan psikologis yang langsung diderita oleh korban perempuan, keberlangsungan dan sifat endemis dari KDRT akhirnya membatasi kesempatan perempuan untuk memperoleh persamaan hak bidang hukum, sosial, politik, dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat.

Terlepas dari viktimisasi perempuan, KDRT juga mengakibatkan retaknya hubungan keluarga dan anak-anak yang kemudian dapat menjadi sumber masalah sosial. Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga merupakan masalah sosial yang serius, akan tetapi kurang mendapat tanggapan dari masyarakat dan para penegak hukum karena berbagai alasan.

Menurut Hasbianto (1996) terdapat 4 alasan KDRT kerap diabaikan oleh masyarakat dan para penegak hukum, di antaranya: (1) Ketiadaan statistik kriminal yang akurat; (2) Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup sangat pribadi dan terjaga privasinya berkaitan dengan kesucian dan keharmonisan rumah tangga (sanctity of the home); (3) Tindak kekerasan pada istri dianggap wajar karena hak suami sebagai pemimpin dan kepala keluarga; dan (4) Tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga terjadi dalam lembaga legal yaitu perkawinan. Hal tersebut menjadi faktor di mana korban KDRT enggan dan takut untuk melapor.

Mengingat budaya patriarki di Indonesia masih begitu kental, maka kasus KDRT terkadang diabaikan dan dianggap sebagai hal sepele. Lewat video konten yang diunggah oleh salah satu Youtuber Indonesia tersebut mencerminkan bahwa masih banyak manusia di sekitar kita yang tabu memandang KDRT ataupun kekerasan berbasis gender lainnya.

Menurut Aulya (dalam Shopiani, Willodati, & Supriadi, 2021) sikap tersebut juga memperlihatkan budaya victim blaming yang masih melekat kepada korban, dikarenakan tidak adanya rasa simpati dan empati masyarakat dalam menyikapi sebuah kejadian yang berhubungan dengan kasus kekerasan seksualitas ataupun gender, kerap menganggap korban atau kasus kekerasan sebelah mata, dan menyalahkan korban dengan berbagai macam alasan. Alih-alih membuat konten yang edukatif mengenai kasus KDRT agar memberikan informasi kepada masyarakat luas, justru dijadikan bahan aji mumpung di tengah suasana duka.

Baca Juga: SUARA SETARA: Menanamkan Nilai Sensitivitas Gender pada Laki-Laki
SUARA SETARA: Penindasan Ganda Buruh Perempuan
SUARA SETARA: Kenapa Perempuan Harus Rapi?

Melindungi Saksi dan Korban KDRT

Padahal menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 pasal 13-15, masyarakat memiliki peran yang begitu penting dalam melakukan upaya pencegahan adanya tindak pidana KDRT. Selain itu, memiliki kewajiban memberikan perlindungan, pertolongan, serta membantu proses pengajuan permohonan perlindungan sang korban.

Mengingat hal tersebut sudah saatnya masyarakat, terutama influencer atau orang yang berpengaruh di era teknologi ini memberikan nilai-nilai edukatif. Sudah saatnya kita memberikan kekuatan kepada korban KDRT ataupun korban kekerasan berbasis gender lainnya. Memberikan ruang yang aman juga turut mengkampanyekan secara luas untuk tidak takut melaporkan kasus KDRT adalah tugas kita bersama. Apalah artinya meraup pundi-pundi jika nalar berpikir juga rasa empati sesama manusia itu mati.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//