Mengubah Stigma Matematika dengan Pendekatan Realistik
Timbul stigma pada matematika dikarenakan kebanyakan guru matematika di Indonesia tidak menggunakan pendekatan realistik ketika mengajar.
Penulis Iman Herdiana3 November 2022
BandungBergerak.id - Matematika masih menjadi mata pelajaran yang dianggap sulit dan tidak disukai oleh siswa. Pengenalan matematika yang banyak dipraktikkan selama ini justru meningkatkan stigma bahwa ilmu hitung ini kian kurang disukai.
Dosen FKIP Universitas Pasundan (Unpas) Siti Maryam Rohimah mengatakan menerapkan konsep matematika tidak efektif jika hanya mengandalkan teori dan pembelajaran abstrak. Butuh alat bantu atau contoh sederhana untuk mencapai tujuan materi yang diajarkan.
Siti menilai, timbulnya mindset tersebut dikarenakan kebanyakan guru matematika di Indonesia tidak menggunakan pendekatan realistik ketika mengajar.
Siswa langsung diajarkan teori dari hasil matematikawan, tanpa diberi contoh yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Padahal, guru bisa memanfaatkan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) yang lebih mudah di mengerti.
“RME bertolak dari hal-hal yang real dan menekankan keterampilan process of doing mathematics, sehingga siswa tidak memandang matematika sebagai sesuatu yang abstrak, melainkan berhubungan erat dengan keseharian mereka,” jelasnya, dikutip dari laman Unpas, Kamis (3/11/2022).
Dari hasil penelitian disertasi dan short study di Utrecht University Netherlands, ia melihat RME bisa mengubah stigma matematika sulit karena siswa memahami akar dan prosesnya, tidak langsung pada hasil dan teori.
Baca Juga: Integrasi Ilmu Keislaman dan Kesundaan di Fakultas Kedokteran Unpas
Unpar Membuka Beasiswa Tanpa Tes bagi Mahasiswa Baru 2023
Jaksa Agung: Hukum Haruslah Mengabdi pada Masyarakat
RME dan Kehidupan Sehari-hari
Secara umum, RME terdiri dari lima karakteristik, yaitu penggunaan konteks real sebagai titik tolak belajar matematika, menekankan penyelesaian secara informal sebelum cara formal atau rumus, mengaitkan topik dalam matematika, penggunaan metode interaktif, dan menghargai ragam jawaban siswa.
“RME memiliki empat konsep, yaitu matematisasi horizontal, didaktikal fenomenologi, model, dan reinvention,” katanya.
Matematisasi horizontal mengubah masalah kontekstual menjadi masalah matematika. Misalnya, konsep 2x+2y pada persamaan linear 2 variabel bisa diibaratkan dengan 2 benda yang berbeda.
“Kedua, didaktikal fenomenologi, jadi fenomena yang kita lakukan dikaitkan ke dalam matematika. Contoh, untuk menaiki tangga, berapa waktu tempuh atau anak tangga yang harus dilewati. Di matematika, fenomena ini ternyata berkaitan dengan deret,” tambahnya.
Begitu juga dengan konsep model dan reinvention. Reinvention membantu siswa untuk menerapkan dan menyelesaikan proses matematika. Siswa dibantu memaksimalkan kemampuannya, sehingga mencapai pemahaman yang maksimal.
“Sepulang dari Belanda, saya mencoba menerangkan tentang RME ke guru SD dan mereka sangat tertarik karena sifatnya kontekstual, saya ajak menghitung jumlah paving block tanpa harus dihitung satu persatu,” jelasnya.
Kendati demikian, sebelum mengombinasikan ilmu dengan kenyataan di lapangan, guru perlu mengetahui karakteristik siswa terlebih dahulu.
“Saya ingin mengembangkan bahan ajar RME, karena bahan ajar yang kemarin saya buat terbukti meningkatkan hasil, motivasi, dan minat belajar siswa. Saya memadukan konteks dan materi, lalu dibuat bahan ajarnya untuk diajarkan kepada siswa supaya mereka enjoy dan tidak menganggap matematika itu sulit,” tandasnya