Kritik Organisasi Masyarakat Sipil Melalui Orasi Gegap Gempita G20
Organisasi masyarakat sipil menggelar orasi Gegap Gempita G20: Pembungkaman Ruang Demokrasi, Solusi Palsu, dan Pengkhianatan Konstitusi!
Penulis Sherani Soraya Putri17 November 2022
BandungBergerak.id - Organisasi masyarakat sipil menganggap perhelatan G20 di Bali tidak terbuka terhadap kritik dan saran masyarakat. Beberapa bentuk ekspresi masyarakat yang merespons G20 disikapi represif oleh aparat. Sejumlah aktivis yang datang langsung ke Bali, mendapatkan intimidasi.
“Jika Indonesia menyatakan demokrasi baik-baik saja, itu bohong. Kami mendapatkan perlakukan represif saat melakukan diskusi di Bali oleh aparat setempat,” jelas Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Organisasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Pratiwi Febry, dalam orasi “Gegap Gempita G20: Pembungkaman Ruang Demokrasi, Solusi Palsu, dan Pengkhianatan Konstitusi!”, Rabu (16/11/2022).
Orasi yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube tersebut diikuti aktivis dari organisasi masyarakat sipil seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, YLBHI, GreenPeace, Aksi, 350.org, Trend Asia, Solidaritas Perempuan, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers.
Melalui orasi virtual ini, mereka menyatakan bahwa Indonesia sebagai tuan rumah tidak perlu merespons secara berlebih acara G20 dengan mempersempit kebebasan ruang-ruang demokrasi. Respons berlebihan demi mengamankan investasi yang didominasi oleh kepentingan para elite oligarki global membuat rakyat tidak nyaman di rumah sendiri.
“Pemerintahan saat ini adalah wajah Orde Baru yang menghambat kebebasan masyarakat, berkedok wajah pembangunan,” tandas Pratiwi Febry.
G20 dinyatakan melahirkan lembaga-lembaga multilateral yang akan menentukan perputaran modal besar. Forum ekonomi eksklusif ini hanya mendiskusikan kepentingan nasionalnya masing-masing agar dapat mencokolkan kekuatan ekonominya ke wilayah-wilayah lain.
G20 beranggotakan Amerika Serikat (AS), Afrika Selatan, Perancis, Indonesia, Inggris, Rusia, Argentina, Arab, Saudi, Australia, India, Brasil, Italia, Jepang, Jerman, Meksiko, Kanada, Republik Korea, Perancis, Rusia, Tiongkok, Uni Eropa, dan Turki. Negara-negara tersebut memiliki posisi strategis yang mendominasi perekonomian dunia. Mereka merepresentasikan 75 persen perdagangan global, 80 persen produk domestik bruto (PDB) dan 60 persen atau dua per tiga populasi bumi.
Direktur Eksekutif Aksi Titi Soentoro memandang latar belakang Indonesia dijadikan sebagai anggota G20 untuk dimanfaatkan dalam lingkar penanaman modal dunia yang selanjutnya akan dieksploitasi secara besar-besaran.
“Indonesia seharusnya tidak berbangga dan pemerintah sepertinya takut bahwa masyarakat menyadari telah dieksploitasi dan membayar pajak besar-besaran,” ungkap Titi Soentoro.
Titi mengingatkan bahwa rakyat memiliki kekuatan besar untuk melawan ketidakadilan. Pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pusat pembangunan dalam sistem ekonomi maupun politik.
Baca Juga: Warga Terdampak Kereta Cepat di Bandung Merespons KTT G20 di Bali
SUARA SETARA: Mbak Maudy, G20, dan Arah Pendidikan Kita
Walhi Jabar: Selamatkan Lingkungan dan Rakyat, bukan Proyek Kereta Cepat
Transisi Energi untuk Keadilan
Orasi “Gegap Gempita G20: Pembungkaman Ruang Demokrasi, Solusi Palsu, dan Pengkhianatan Konstitusi!” juga menyoroti transisi energi. Dalam hal ini, Walhi Indonesia menekankan pentingnya dilakukan transisi energi untuk meraih lingkungan hidup yang sehat dan berkeadilan. Pembangunan sektor energi saat ini dinilai telah mendorong kerusakan lingkungan hidup.
Pada dasarnya G20 telah membuat suatu working group EDM-CSWG (Environment Deputies Meeting- Climate Sustainability Working Group) yang terdiri dari para ahli dan para menteri menganalisis isu energi. Secara khusus, EDM-CSWG ini memiliki fokus terhadap transisi energi, lingkungan berkelanjutan, dan ekonomi hijau.
Tujuan utamanya di antaranya mengurangi emisi; menyelesaikan isu keanekaragaman hayati; memperbaiki kualitas udara; meningkatkan efisiensi energi. Dari tujuan ini diharapkan dapat menciptakan kesejahteraan dan kesehatan bagi masyarakat global.
Namun model pembangunan negara-negara global yang rakus menjadikan pertemuan G20 sebagai kompromi politik dengan dalih mengatasi krisis iklim melalui pembangunan berkelanjutan maupun transisi energi baru terbarukan, tanpa mengubah model ekonomi yang kapitalistik.
Perwakilan dari 350.id Firdaus Cahyadi menambahkan bahwa persoalan transisi energi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Jika tidak, maka transisi energi akan dibajak oleh para elite politik atau oligarki.
“Jika negara tetap berada di tangan oligarki, maka kita harus mulai berpikir mengambil alih negara, mencoba mengendalikan negara, dibandingkan terus menerus dibajak oleh kepentingan para oligarki,” tutupnya.