RIWAYAT INDISCHE PARTIJ #1: Cikal Bakal Kemunculannya di Bandung
Indische Partij sudah radikal sejak awal kelahirannya di Bandung. Mendapatkan pengawasan ketat dari pemerintah kolonial Belanda.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
29 November 2022
BandungBergerak.id - Pada tahun 1901 pemeritah Hindia Belanda mulai menerapkan sistem Politik Etis, tepat tiga tahun setelah Wilhelmina yang masih berumur 18 tahun dinobatkan sebagai Ratu Belanda. Penobatan ini dirasakan oleh berbagai pihak sebagai datangnya zaman peralihan yang baru dan dinilai akan membawa angin segar oleh kalangan pembaru.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina berpidato di hadapan masayarakat Belanda untuk menyambut usulan-usulan yang disampaikan oleh kaum pembaru. Dia menekankan bahwa pihak Belanda wajb mendorong munculnya kesadaran warga Hindia Belanda sebagai cerminan dalam semua kebijakan pemerintah. Bahkan Sang Ratu menambahkan, dirinya akan memberikan perhatian yang lebih terhadap kesengsaraan rakyat Bumiputera di Jawa, dengan harapan agar dilakukan berbagai penelitian mengenai sebab-sebabnya.
Pidato Ratu Wilhelmina secara resmi dianggap sebagai permulaan sistem Politik Etis (Simbolon, 1995: 179-180), sehingga memungkinkan di masa-masa selanjutnya lahir perubahan-perubahan signifikan di tanah Hindia Belanda. Di antaranya, kehadiran berbagai organisasi dari kalangan Bumiputera maupun Indo seperti Sarekat Dagang Islamiyyah (1905), Budi Utomo (1908), dan termasuk juga Indische Partij yang didirikan tahun 1912 oleh tiga orang dari kalangan terdidik yakni Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Cipto Mangunkusumo. Mereka dikenal juga dengan sebutan Tiga Serangkai.
Didirikan di Bandung pada 25 Desember 1912, Indische Partij (IP) merupakan partai politik pertama di Hindia Belanda yang terbuka untuk semua golongan, baik Bumiputera, Indo, maupun Tionghoa. Dengan mengacu pada prinsip itu Indische Partij juga tidak memilah-milah anggota berdasarkan kelas sosial maupun gendernya (Pronggodigdo, 1960: 23-24).
Konon, hadirnya Indische Partij disebut-sebut sebagai kepanjangan tangan atas terbitnya surat kabar De expres. Surat kabar berbahasa Belanda ini awalnya dibentuk oleh Douwes Dekker pada 1 Maret 1912, sepulang dari Eropa. Dua orang pendiri IP yang lain, yaitu Suwardi dan Tjipto, ikut juga bergabung dalam koran yang berdomisili di Bandung itu, sebelum Indische Partij akhirnya dibentuk.
Kesadaran untuk mendirikan Indische Partij sejatinya telah direncanakan secara matang oleh Douwes Dekker sebelum harian De express terbit pertama kalinya. Pada pertemuan Indische Bond di Bandung, Douwes Dekker mengemukakan gagasannya melalui pidato yang dimuat di Het Tijdschrift edisi 15 Januari 1912, sebagaimana dilaporkan juga oleh A. Brouwer dalam Bescheiden Betreffende de Vereeniging de Indische Partij yang terbit tahun 1913.
Sebagai Jaksa Agung dalam Mahkamah Tertinggi di Hindia Belanda, A. Brouwer menguraikan suatu pengamatan secara rahasia terhadap cita-cita Douwes Dekker dalam usahanya membentuk Indische Partij, termasuk tulisan-tulisannya dalam Het Tijdschrift. Hal pertama yang ia jelaskan ialah bahwa dirinya diberikan tugas untuk mengawasi Douwes Dekker. Dengan merujuk pada Regering Reglement (RR) pasal 111, A. Brouwer ingin membuktikan kesalahan-kesalahan Douwes Dekker yang dianggap sebagai halangan bagi para elite penguasa Belanda. Pasal itu berisi tentang larangan diadakannya rapat dan pembentukan organisasi tanpa perizinan khusus dari pemerintah kolonial.
Berdasarkan penemuannya, Brouwer memperoleh beberapa keterangan mengenai upaya kuat Douwes Dekker untuk membebaskan bangsa Hindia Belanda dari kungkungan kolonialisme Belanda. Upaya Douwes Dekker tersebut, menurut Brouwer, bisa saja dilakukan dengan jalan damai, atau jalan kekerasan bila tidak memungkinkan. Bahkan dari keterangan ini pula dapat diketahui tujuan Douwes Dekker untuk membentuk Indsiche Partij di antaranya, untuk “menyatukan semua elemen masyarakat Hindia Belanda yang mempunyai kepentingan politik yang sama dalam menghadapi sistem pemerintahan yang buruk”. (Bescheiden Betreffende de Vereeniging de Indische Partij)
Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (1): Bermula dari Studieclub Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (2): Dari Rumah Tjipto Mangoenkoesoemo ke Regentsweg 22
Hindia Merdeka
Pembentukan Indische Partij yang diumumkan pada tanggal 25 Desember 1912 digelar dengan rangkaian acara yang cukup menonjol. Setelah gelaran pawai, massa berkumpul dengan membawa bendera berwarna hitam sebagai atribut Indische Partij (Simbolon, 1995: 247). Bendera itu pun diberi warna lain bergaris, yakni hijau, merah, dan biru. Hijau untuk melambangkan harapan yang baik di masa mendatang, merah sebagai lambang keberanian, sedangan biru untuk kesetiaan (Pringgodigdo, 1960: 26).
Di sela-sela kemeriahan itu, Douwes Dekker berorasi. Ia menegaskan bahwa Indische Partij siap berperang melawan kegelapan dari dunia yang terang (Simbolon, 1995: 247). Hal ini tentu dimaksudkan terhadap segala bentuk penjajahan, terutama yang dilakukan oleh elite penguasa Belanda. Tak ayal, pemerintah kolonial bergerak cepat menindaklanjuti perkembangan Indische Partij selanjutnya.
Di awal kemunculannya, Indische Partij memiliki jumlah anggota yang terbilang masih sedikit dibandingkan organisasi lain seperti Sarekat Islam atau Budi Utomo. Menurut catatan Pringgodigdo, lebih dari 5.000 orang tergabung menjadi anggota Indische Partij dari empat kawasan yang berbeda. Yakni Semarang 13.00 orang, Surabaya 850 orang, Bandung 700 orang, dan Jakarta 645 orang.
Pada saat diresmikan menjadi partai politik, Indische Partij sudah memiliki asas dan tujuan yang hampir selaras dengan tujuan yang diungkapkan oleh Douwes Dekker sebelumnya. Asas tersebut yaitu Nationaal Indisch (Bangsa Hindia), sedangkan tujuannya ialah Hindia merdeka, dengan semboyan Indie voor Indiers (Hindia untuk orang Hindia) (Pringgodigdo, 1960: 26).
Di edisi 4 April 1913, harian umum De expres memuat berita tentang kemunculan Indische Partij pada akhir tahun 1912. Berita itu sekaligus menyebutkan rintangan-rintangan yang dialami oleh para pengurus partai politik tersebut. Juga dicantumkan susunan kepengurusan intinya, setelah ditentukan anggaran dasar dan pemilihan ketua. Dalam kepengurusan tersebut, Douwes Dekker tercatat menjabat sebagai ketua, diikuti oleh Tjipto Mangunkusumo sebagai wakil ketua, J. G. van Ham sebagai sekretaris, G. P. Carli sebagai bendahara, serta J. D. Brunsveld van Hulten dan J. R. Agerbeek sebagai anggota.
Sekalipun susunan organisasi IP telah terbentuk, pemerintah tidak mengakui dan bahkan menolak pengajuan badan hukum oleh para pengurus partai ini. Apalagi banyak media Belanda menyerang dan memusuhi Indische Partij karena konon kelompok Douwes Dekker itu memiliki tujuan yang bertentangan dengan kepentingan publik. Alasan ini sebetulnya berasal dari kekhawatiran Gubernul Jenderal, lantaran menurutnya sikap Indische Partij sangat menantang dan menebar perselisihan di Hindia Belanda (De expres 4 April 1913).