Antara Kata dan Senjata dalam Buku Blues untuk Marcos
Blues untuk Marcos merupakan buku kumpulan esai Zaky Yamani. Menceritakan dunia jurnalis hingga pemberontakan Marcos bersama Zapatista.
Penulis Sherani Soraya Putri8 Desember 2022
BandungBergerak.id - Blues untuk Marcos berasal dari kumpulan tulisan lepas cerita personal penulis Zaky Yamani, yang merujuk kekagumannya pada sosok seorang akademikus sekaligus gerilyawan revolusi Subcomandante Marcos, pelopor Tentara Pembebasan Nasional Zapatista di Chiapas, Meksiko.
Tulisan dan pemikiran yang ditulis Subcomandante Marcos selama memimpin pemberontakan diakui Zaky mempengaruhi kehidupannya. Marcos dikenal sebagai pejuang revolusioner yang gemar membaca. Ia melahirkan peribahasa kata adalah senjata untuk melawan tirani sekaligus membela kepentingan masyarakat adat dan kaum marginal.
“Tulisan (karya Marcos) itu begitu berpengaruh terhadap cara saya berpikir, cara saya bertindak,” ujar Zaky Yamani yang mengisi Obrolan Patjar bertajuk “Blues untuk Marcos” di pasar buku keliling Patjar Merah dan Bandung Readers Festival, Senin (05/12/2022) di Gedung PPAG Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Bagi Zaky, karakter Marcos memiliki keunikan tersendiri. Sebagai aktivis gerakan perlawanan, Marcos bisa menunjukkan sisi-sisi humor dalam tulisan cerita keseharian seorang gerilyawan, berlainan dengan pemimpin-pemimpin lainnya yang sangat berkobar-kobar dan heroik.
Bagi Marcos, yang terpenting adalah membangkitkan perasaaan empati terhadap gerakan revolusi yang dia pimpin.
Salah satu tulisan Marcos yang paling berkesan bagi Zaky yaitu Kisah Segumpal Awan Kecil. “Itu rasanya tidak mungkin tulisan seindah dan semurni itu ditulis oleh seorang yang mengangkat senjata di hutan,” ungkap Zaky.
Tulisan yang bersifat dongeng itu menceritakan segumpal awan kecil yang melayang-layang di langit, berkeliling dunia mencari kawan untuk bergabung dengan awan yang lebih besar. Namun selalu mengalami penolakan awan-awan yang besar.
Sampai akhirnya di satu titik, dari ketinggian, awan kecil ini merasa melihat padang pasir, terdapat bibit-bibit tumbuhan yang bergeliat di bawahnya.
Kemudian ia merasa harus menghidupi bibit-bibit tumbuhan yang menggeliat di bawah tanah itu. Lalu ia remas dirinya, sampai menjadi setitik air. Lantas setitik air ini jatuh di atas batu di padang pasir tersebut dan menimbulkan suara berdebam, hingga membuat bibit-bibit tumbuhan di bawah tanah bertanya-tanya dari mana sumber air tersebut.
Awan kecil terus menggeliat untuk menarik perhatian air. Karena makin menggeliat, awan-awan besar mengira terdapat tumbuhan di padang pasir itu. Alhasil awan-awan besar berkumpul di atasnya dan menurunkan hujan. Tidak berselang lama, padang pasir tersebut berubah menjadi hutan.
“Ketika hutan itu tumbuh, tidak ada satu pun di hutan itu ingat tentang awan kecil, kecuali batu tempat dia jatuh. Itu buat saya cerita yang sangat gila. Ada seorang gerilyawan bisa menulis seperti itu,” tandas Zaky.
Sosok Subcomandante Marcos bisa dibilang antitesis dari tentara umumnya. Dia memilih menjadi menjadi seorang gerilyawan misterius dengan penampilan menggunakan masker yang menutupi seluruh wajahnya, kecuali di bagian mata. Sebuah cangklong menghiasi mulutnya.
Penampilan tersebut melengkapi latar belakangnya yang ganjil karena ia awalnya seorang akademikus kampus. Setelah Marcos menurut Zaky tampak romantic, alih-alih garang sebagai pria yang dicap pemberontak.
Kata Zaky bayangkan saja, seorang akademikus yang lama terjun di kampus, berangkat ke hutan membawa seransel buku dan belajar dari masyarakat lokal setempat. Marcos mempelajari cara mempertahankan tanah, hutan, air dengan melawan seluruh negara.
Hal yang paling berkesan lainnya, adalah pemberontakan Marcos bersama Zapatista di Chiapas. Di mana biasanya misi pemberontakan adalah memisahkan diri dari wilayahnya, tapi Marcos kala itu membentangkan bendera Mexico dan menegaskan melakukan pemberontakan tersebut untuk Mexico. Karena ia ingat semangat negaranya adalah semangat melawan bentuk kesewenang-wenangan pemerintah yang tidak adil.
Namun, akhirnya Marcos mengundurkan diri dari Zapatista. Hal itu menimbulkan kekecewaan tersendiri bagi Zaky yang mengagumi Marcos sejak usia muda.
Dalam kaitannya, Blues untuk Marcos sebagai bentuk ode perpisahan Zaky pada sosok Subcomandante Marcos yang telah meninggal, bukan secara fisik, tapi perannya dalam organisasi yang telah ia geluti sejak lama.
Kata Blues dipilih dari pengalaman personal Zaky sendiri. Suatu hari ia diajak menonton musik Blues. Sebelum pergi nonton, ia membuka link yang berisi berita Marcos mengundurkan diri dari Zapatista.
“Itu rasanya kayak menghancurkan seluruh imajinasi saya terhadap sosok yang revolusioner. Itu kayak patah hati imajinasi saya tentang Marcos, bahwa dia akan mati ditembak, hilang, seperti Che Guevara, atau mati dengan dibunuh oleh CIA (Central Intelligence Agency) atau Badan Intelelijen Amerika Serikat,” tandas Zaky.
Namun terlepas dari semua itu, kekaguman Zaky pada Marcos tetap terawat. Apalagi dibantu tulisan Marcos yang diterjemahkan Ronny Agustinus yang membuat rasa bahasanya tetap hidup.
Secara intelektual tokoh Marcos dalam kacamata Zaky mengajarkan kita untuk berpikir dan mendengar. Dengan ransel yang dibawanya, ia mengajarkan kepada orang-orang Chiapas tentang revolusi yang berujung pada pemberontakan tanpa peluru pada 1 Januari 1994.
“Dan itu menurut saya suatu pencapaian, sebuah revolusi, banyak sekali kaum perempuan yang terlibat atau memimpin pasukan-pasukan petani ini. Dan mereka mencoba mempertahankan hak adat mereka, dari penggerusan korporasi, negara, dan segala macam,” ulasnya.
Zaky berpikir intelektual seperti Marcos dibutuhkan bagi ruang hidup dunia ini. Di mana mereka bisa mendengar, menggerakan, sekaligus menjadi juru bicara kepada dunia untuk menginspirasi banyak orang untuk berani mempertahankan hak hidup mereka.
Baca Juga: Membedah Belum Maksimalnya Implementasi UU TPKS di Kampus-kampus
Kritik Organisasi Masyarakat Sipil Melalui Orasi Gegap Gempita G20
Sekutu Jurnalis Menangkal Kabar Palsu
Dari Jale hingga Seksualitas
Buku “Blues untuk Marcos” merupakan kumpulan esai yang pada acara Obrolan Patjar, buku ini dibedah bersama budayawan Hawe Setiawan dengan moderator Deni Rachman alias Deni Lawang.
“Blues untuk Marcos” bukan semata-mata mengulas tentang Marcos saja. Berdasar pada rentang waktu sangat lebar dan beragam, pelbagai topik pembahasan turut diceritakan lebih jauh, mulai dari dunia politik, sosial, budaya, musik, sastra serta obituari.
Buku “Blues untuk Marcos” terdiri dari empat bagian. Bagian pertama menyoal Tentang Beberapa Urusan Manusia yang tak Pernah Selesai, salah satunya tentang perempuan dan seksualitas. Di sini dijelaskan bagaimana penulis menelisik kasus-kasus kekerasan seksual.
Kedua, Tentang Jurnalis, Media, dan Jurnalisme. Ketiga, Sedikit Catatan dari Perjalanan. Keempat, yakni Catatan Tentang Perpisahan.
“Saya berbicara tentang sejarah seksualitas perempuan, nusantara, pengalaman tentang dikejar-kejar tentara, banyak hal,” terang Zaky.
Dengan mengumpulkan tulisan yang menyangkut isu-isu tersebut, harapannya dapat menjadi pengingat untuk diri sendiri, guna berpikir tentang hal tertentu atau mengalami hal tertentu. Barangkali dapat dijadikan juga medium yang berisi manfaat maupun hiburan bagi para pembaca.
Mantan jurnalis Pikiran Rakyat juga menceritakan pengalaman uniknya selama menjadi jurnalis, antara lain tentang jale atau amplop alias suap. Zaky mengenal kata jale itu sejak dirinya bertugas di Jakarta.
Jale merupakan sogokan yang diberikan kepada para jurnalis sebagai ujian bagi idealismenya. Karena sejatinya memang sebagai jurnalis, menurut mantan ketua AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung, dalam kode etiknya tidak boleh menerima apa pun yang dapat merubah pendiriannya terkait tugas jurnalistiknya.
“Ini kan pertarungan idealisme, karena jebakan itu bukan hanya dari uang cash, tapi hal lainnya. Itu menjadi keprihatinan saya dan kami di AJI. Bagaimana kita tetap berjalan dengan idealisme dengan menghindari jale, tapi harus bisa bertahan dengan gaji yang minim, itu pertarungan yang cukup keras,” tandasnya.
Menurutnya, ada jurnalis yang tidak kuat dengan godaan jale. Ada juga yang tetap bertahan dengan idealismenya.
Merayakan Membaca dan Menulis
Budayawan Hawe Setiawan turut senang dengan diterbitkannya buku “Blues untuk Marcos”. Manakala Zaky mendedikasikan buku Blues untuk Marcos, Hawe ingin membuat Blues untuk Zaky.
Di dalam salah satu esai yang dibuat oleh Zaky untuk Marcos, Hawe merasa ada kesedihan di hati penulis, karena keputusan akhirnya meninggalkan Zapatista. Namun di lain sisi terdapat semacam pujian terhadap Subcomandante Marcos, karena dia tidak hanya seorang pemimpin gerilyawan yang bisa memimpin pemberontakan, tapi ia juga penulis esai.
Di bagian Catatan tentang Perpisahan, Zaky juga menulis salam perpisahan untuk tokoh-tokoh lain yang berkesan baik selama perjalanan hidupnya, salah satunya musikus balada Mukti-Mukti. Hawe yang turut mengenal tokoh musisi Bandung tersebut juga turut merasakan kesedihan seperti Zaky, manakala harus menerima fakta kehilangan Mukti-Mukti untuk selamanya.
Zaky dikenal Hawe sebagai pria yang bergelut dalam wilayah fiksi dan non-fiksi, mulai dari novel, cerita pendek, puisi, laporan perjalanan, obituari, hingga laporan jurnalistik, dan belakangan ini esai. Koleksi esai Blues untuk Marcos inilah yang disebutnya sebagai tulisan yang tak lekang oleh waktu karena membuat sesuatu yang abadi.
Dalam fiksi biasanya sebagai pembaca akan fokus pada perhatian-perhatian manusia konkret yang dijadikan sebagai contoh, guna diceritakan dalam pusaran gelimpangan nasib rekaan si pengarang. Tapi di dalam esai Zaky, manusia konkretnya adalah penulis itu sendiri. Artinya para pembaca buku ini, bisa berkenalan atau berupaya mengenal lebih dekat, seorang penulis, memiliki ayah yang kuat naik sepeda, namun harus berakhir dengan diabetes.
Pun ia juga memiliki rekan wartawan dan aktivis, musisi, mengidolakan Marcos. Selanjutnya, pribadi dia yang berisi kegelisahan memikirkan kebijakan negara Indonesia, negeri yang konon adil dan makmur.
Zaky merasa gelisah pula soal mentalitas kota Bandung yang masih dianggap meneruskan sisa-sisa kolonialismenya. Bandung yang masih dipandang dua wajah, mewakili utara dan selatan, dengan segala ketimpangan di dalamnya.
“Saya senang di tulisan Zaky, menemukan satu contoh yang berkenaan dengan esai, terutama esai sebagai tulisan yang menyuguhkan perspektif yang personal, cair dan tidak berdebat dalam formalisme,” ungkap Hawe.
Terus juga tidak menawarkan jawaban akhir terhadap satu persoalan, sebagaimana konteks dari para pakar. Melainkan mengajak pembacanya menghadapi masalah yang dihadapi oleh penulisnya sendiri. Setelah membaca esai, alhasil pembaca akan bisa memahami masalahnya secara gamblang dan lebih baik.
Pada intinya beberapa esai Zaky memang kelihatannnya ditulis dari ingatan, terutama esai yang membahas tentang sosok-sosok yang hadir ke dunia sehari-harinya. Tetapi sebagian besar, esainya menunjukkan ciri umum, yaitu kebiasaan Zaky melakukan riset dan penelitian. Apalagi saat ini ia aktif di organisasi non-pemerintah Amnesty Internasional.
Selain itu, Hawe juga merasakan suka citanya karena dapat membaca tulisan seorang temannya sendiri, yang tinggal di kota yang sama dan hidup di zaman yang sama, meskipun generasinya berbeda.
“Buat saya setelah membaca buku ini bahwa di luar rumah saya masih ada satu dua teman yang tetap anteng dalam pergulatan pikirannya, dan mencoba mengekspresikan pergualatn pikirannya ke dalam tulisan yang bisa dibaca oleh semua manusia,” ujar Hawe.
Dosen sastra Unpas itu berharap di Bandung masih ada juga yang merayakan kegiatan membaca dan menulis, seperti dilakukan Zaky.
Sebelum menulis “Blues untuk Marcos”, Zaky Yamani menerbitkan dua novel: Pusaran Amuk dan Bandar; kumpulan cerita pendek Waktu Helena, Bertarung dengan Nasib, Berdamai dengan Kehidupan, Jhony Mushroom, dan Kepada Assad Aku Menitip Diri. Serta kumpulan reportase mendalam Komedi Sepahit Kopi. Fiksi terbaru Zaky, Kereta Semar Lembu, mendapatkan anugerah Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 2021.